Jumat, 02 Desember 2011

Konsep Khulu "Talak Tebus" Menurut Fiqih

A.          Pengertian Khulu dan Tujuannya
1.      Pengertian khulu
Sebelumnya datangnya Islam, Orang-orang Arab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada undang-undang yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi.[1] Perempuan yang berada di belahan bumi Arab dan yang lainnya tidak dapat meraih hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Bahkan mereka selalu disingkirkan, tidak ada satupun yang dapat menjaga kehormatan dan merasakan jeritan hati mereka. Padahal unsur tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan seorang perempuan, sehingga mereka dapat kehilangan kepribadiannya hanya karena hal tersebut. Hal ini disebabkan karena dalam masyarakat Arab yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi rendah.[2] Ketika Islam datang ke dunia ini, ia telah mengangkat posisi perempuan ke derajat yang lebih tinggi, memberikan kebebasan, kehormatan dan hak pribadinya secara merdeka.[3]
Pada zaman Jahiliyyah suami berhak menceraikan isterinya dengan tidak ada batasnya meskipun sudah menceraikannya seratus kali, selama si isteri berada pada masa iddah. Mereka tidak mengenal perikemanusiaan atau keadilan dalam memperlakukan isteri-isterinya. Sampai datangnya Nabi Muhammad SAW yang sama sekali tidak menyutujui kebiasaan perceraian tersebut. Beliau menghilangkan kebiasaan ini secara bertahap karena kebiasaan ini telah mendarah daging di zaman jahiliyah. Hukum Islam memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan isterinya dengan jalan talak.[4]
Khulu menurut bahasa, dari kata  خَلَعَ – يَخْلَعُ - خُلْعًا yang berarti melepaskan atau menanggalkan pakaian,[5] atau بِمَعْنَي خَلَعَ الشَيْءُ خَلَعًا yang berarti menanggalkan ia akan sesuatu.[6]
Sedangkan khulu menurut istilah, adalah menebus isteri akan dirinya kepada suaminya dengan hartanya maka tertalaklah dirinya[7]
Abu Zahrah mendefinisikan bahwa khulu mempunyai dua arti yaitu am dan khas. Khulu dalam arti umum adalah talak atas harta istri untuk menebus dirinya yang diserahkan kepada suaminya baik dengan lafazh khulu atau lafazh mubaro’ah atau dengan lafazh talak. Pengertian ini banyak digunakan oleh ulama kontemporer. Adapun khulu dalam arti khas adalah talak tebus dengan lafazh khulu, pendapat ini banyak digunakan oleh ulama salaf [8]
Khulu dapat juga berarti fida atau tebusan, karena isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan atau imbalan.[9] Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَاْخُذُوْا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْءً أَلاَّ أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلّّئكَ هُمُ الَظِلمُوْنَ
Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Menurut Al-Malibariy, khulu adalah perceraian dengan tebusan dari pihak isteri diberikan pada pihak suami, dengan memakai kata talak atau khuluk atau tebusan.[10]
Khulu adalah jalan keluar bagi isteri yang tidak menyukai suaminya dengan alasan selain yang biasa melahirkan fasakh, isteri memberikan semacam ganti rugi (iwadh) atas pemberian suami seperti mahar, nafkah, dll, agar suami bersedia dengan rela hati menjatuhkan talak kepadanya.[11]
Sedangkan menurut pasal 1 KHI poin i disebutkan bahwa khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan iwadh atau tebusan kepada dan atas persetujuan suami.[12]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa khulu adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
2.      Tujuan khulu
Al-Jurzawi[13] menuturkan: Khulu sendiri sebenarnya dibenci oleh syari’at yang mulia seperti halnya talak. Semua akal dan perasaan sehat menolak khulu, hanya Allah SWT saja Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hukum-hukum Allah SWT. Maksudnya Hikmah khulu untuk menghindari bahaya, yakni saat terjadinya pertengkaran hebat yang menimbulkan gejolak dalam hubungan suami isteri hingga keduanya tidak bisa disatukan lagi dalam ikatan rumah tangga maka khulu diperbolehkan. Hal ini agar keduanya tetap berjalan dalam kehidupan masing-masing dan menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah[14]
Penjelasannya, kalau terjadi perselisihan antara suami isteri, maka perselisihan itu menyebabkan masing-masing ingin berpisah dari yang lain. Mungkin isteri sudah tidak kuat lagi bergaul dengan suaminya dan ingin berpisah. Maka tiada jalan penyelamat kecuali dengan khulu, yaitu dengan membayar sejumlah uang agar suami mentalaknya sehingga dia selamat dari beban perkawinan, kalau suaminya mau mengabulkan permintaan isteri tersebut.
Karena isteri punya hak mas kawin dengan ganti menyerahkan dirinya kepada suami, maka sekarang haknya yang digunakan untuk menebus dirinya mengambil hak dari suami kepada suami. Allah mengingkari perbuatan itu dengan firmanNya Surat An-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَي بَعْضُكُمْ أِلَي بَعْضٍ وَأَخَذْ نَ مِنْكُمْ مِيْثَاقًا غَلِيْظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

            Hikmah yang terkandung didalamnya sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menolak bahaya yaitu apabila perpecahan suami isteri telah memuncak dan di khawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami isteri, maka khulu dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya pernusuhan dan untuk menegakan hukum-hukum Allah SWT. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 229:
÷ فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلّّئكَ هُمُ الَظِلمُوْنَ

Artinya:Kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.”

            Sejumlah besar ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu kecuali terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak isteri. Sedangkan Syafi’i berpandangan bahwa khulu itu boleh dalam kondisi perselisihan dan keharmonisan. Namun khulu dalam kondisi pertama adalah lebih utama dan sesuai dengan yang ia pilih.[15]
B.           Dasar Hukum Khulu
Adapun dasar diperbolehkannya khulu adalah
1.      Ayat Al-Qur’an
a.       Surat Al-Baqarah ayat 229:
فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلّّئكَ هُمُ الَظِلمُوْنَ
Artinya: “jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

b.      Surat An-Nisa ayat 4:
وَءَاتُوْ النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً فَأِنْ تِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

c.       Surat An-Nisa ayat 19:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

d.      Surat An-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَي بَعْضُكُمْ أِلَي بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقاً غَلِيْظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”

2.      Hadits Nabi Muhammad SAW
a.       Dari Ibnu Abbas RA sesungguhnya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi lalu berkata: “Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak ada cacat dalam ahklak dan agamanya, akan tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam”. Maka bersabda Rasul: “Dapatkah kamu mengembalikan kebunnya?” maka menjawab wanita itu: “ya, maka memerintahkan Rasul untuk mengambil kebunnya[16]
b.      Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya isteri Tsabit datang kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mengumpulkan kembali antara kepalaku dan kepala suamiku untuk selama-selamanya. Sebab aku tahu bahwa dia adalah orang yang paling jelek kepribadiannya dan berkulit sangat hitam, sangat pendek dan wajahnya tidak menguntungkan sama sekali.”[17]
c.       “Sesungguhnya isteri Tsabit bin Qais melakukan khulu dari suaminya, dan Nabi memerintahkan isteri Tsabit tersebut untuk melaksanakan iddah dengan satu kali haid.” (H. R. Abu Dawud dan Tirmizi)[18]
d.      Dari Sahal bin Abi Hastmah, bahwa isteri Tsabit adalah orang yang pertama melakukan khulu di dalam Islam.[19]
e.       Isteri kedua dari Tsabit bernama Habibah binti Sahl Al-Anshariyah, pada suatu ketika dipukul oleh suaminya sehingga mengalami patah tulang. Oleh sebab itu Habibah menghadap kepada Rasulullah pada waktu beliau melakukan shalat subuh untuk mengadukan peristiwa yang dialaminya. Ia mengeluh kepada Nabi SAW dan beliau mengatakan kepada Tsabit untuk mengambil sebagian dari apa yang telah diberikannya kepada Habibah dan menceraikannya.[20]
f.       Khulu pun terjadi pada masa Umar bin Khattab, seorang wanita yang menentang suaminya, maka Umar memenjarakan wanita tersebut dalam tempat yang banyak kotorannya kemudian ia dipanggil dan ditanya “bagaimana keadaanmu?” jawab wanita itu “belum pernah aku senang sejak aku bertemu dengan dia (suaminya), kecuali semalam ini di tempat engkau penjarakan aku”. Maka khalifah Umar berkata kepada suaminya: ”Lepaskanlah dia walau hanya menebus dirinya dengan anting-antingnya”.[21]
g.      Dari Rubayyi binti Muawwidz, bahwa sesungguhnya ia pernah menebus dirinya (membayar khulu) di masa Nabi SAW. Kemudian Nabi menyuruh dia supaya beriddah sekali haidh. (HR. Tirmizi) dan ia berkata: hadis Rubayyi ini sah.[22]
bahwa khulu pernah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Shan’ani bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya. Firman Allah dan Hadits Rasulullah SAW tersebut diatas menjadi dalil disyari’atkannya khulu dan sahnya khulu terjadi dengan suami isteri.[23]
Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat, seperti suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan lain-lain. Dalam hal seorang wanita atau isteri meminta cerai tanpa alasan atau dicari-cari, maka diharamkan untuknya bau syurga. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:
قَالَ رَسُوْْلُ اللهِ صَ مَ : اَيُّمَا امْرَءَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَلاقَ غَيْرُ مَا بَأْسَ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَاءِحَةُ الجَنَةِ[24]
Artinya: “Dari Tsauban, Rasul SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau syurga”.

Berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan pengadilan dalam menangani kasus khulu. Sehingga untuk melindungi hak wanita dalam perkawinan, pemberian hak khulu kepada wanita sangat diperlukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
C.           Rukun Dan Syarat-Syarat Khulu
Rukun secara bahasa, رُكْنٌ ج اَرْكَانٌ  artinya tiang, pihak yang kuat atau juzu’.[25]
Sedangkan rukun menurut istilah adalah bagian yang harus terpenuhi yang batal jika tidak terpenuhi.
Syarat menurut bahasa, شَرْطٌ ج شُرُوْطٌ yang berarti menentukan.[26]
Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak ada syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.[27]
Adapun rukun  dan syarat khulu sebagai berikut:
1.      Harta atau Barang yang dipakai untuk khulu
Dalam hal ini, syarat khulu bisa dilihat dari segi:
a.       Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu
Imam Malik, Syafi’i dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa seorang isteri boleh melakukan khulu dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika kedurhakaan itu datang dari pihaknya, atau juga memberikan yang  sebanding dengan mahar atau lebih sedikit. Akan tetapi segolongan ulama di antaranya Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ishak bin Rawaih berpendapat bahwa tidak boleh suami menerima tebusan isteri (yang melakukan khuluk) lebih dari mahar yang diberikan dahulu. Yang demikian ini juga pendapat dari Sa’id bin Musayyab, Atha, Amar bin Syua’ib, Az Zuhri dan Rabi bin Anas.[28] Hal ini sesuai dengan hadits Nabi :
جَاءَتْ اِمْرَءَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ بْنِ شَمَّاسِ ِالَي رَسُوْلِ اللهِ صَ مَ. فَقَالَتْ :يَارَسُوْلَ اللهِ مَا اَعْتَبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ وَلَكِنْ اَكْرَهُ الكُفْرُ فِيْ اللاِسْلامِ. فَقَالَ رَسُوْلُ .اَتُرِدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ :نَعَمْ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : اِقْبَلِ الحَدِيْقَةَ وَ طَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً[29]
Artinya: “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi. Sambil berkata, “wahai Rasul! Aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasul, “Maukah kamu kembalikan kebunnya” jawabnya, “mau. “Maka Rasul bersabda, “terimalah Tsabit kebun itu dan talak lah ia satu kali.”


Bagi para fuqaha yang mempersamakan kadar harta dalam khulu dengan semua pertukaran dalam mu’amalat, maka mereka berpendapat bahawa  kadar harta itu didasarkan atas kerelaan. Sedangkan fukaha yang memegang hadits secara zhahir di atas, maka mereka tidak membolehkan pengambilan harta yang lebih banyak dari pada mahar. Mereka seolah-olah menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan harta tanpa hak.[30]
Bentuk barang ganti rugi menurut imam mazhab, bahwa semua barang yang dapat dijadikan mas kawin, boleh pula dijadikan tebusan itu harus diketahui secara rinci manakala benda-benda tersebut cenderung biasa diketahui dengan mudah.[31] Jika isteri melakukan khulu tanpa iwadh maka khulunya tidak sah karena sesungguhnya suami tidak mempunyai hak fasakh tanpa alasan-alasan yang diperbolehkan atau isteri melakukan khulu dengan memberikan iwadh berupa barang-barang yang diharamkan dalam syariat Islam, seperti: khamar, babi atau barang ghasab ‘colongan’ maka khulu nya tidak sah.[32]
Dan tidak sah melakukan khulu tanpa menyebutkan iwadh.[33] Seperti kamu aku talak dengan uang 1000 maka bukan khulu tetapi talak raj’i sebab khulu perlu adanya qabul.
b.      Sifat harta pengganti
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah mensyaratkan bahwa harta tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan Imam Malik membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan wujudnya, serta harta yang belum ada. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kemiripan harta pengganti (khulu) dengan harta pengganti dalam hal jual beli, barang hibah atau wasiat. Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu dengan jual beli dan harta pengganti dalam jual beli. Sedang bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu dengan hibah, mereka tidak menetapkan syarat-syarat tersebut. Tentang khulu yang dijatuhkan dengan barang-barang, seperti minuman keras, fuqaha berselisih pendapat: apakah isteri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sepakat bahwa talak itu dapat terjadi. Imam Malik menyatakan bahwa isteri tidak wajib menggantinya. Demikan juga pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i  berpendapat bahwa isteri wajib mengeluarkan mahar mitsil.[34]
c.       Keadaan yang dapat dan tidak dapat untuk menjatuhkan khulu
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami isteri, selama hal itu tidak merugikan pihak isteri. Berdasarkan fiman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 19:
 وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Artinya: “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”

Abu Qilabah dan Hasan Basri berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu atas isterinya, kecuali jika ia melihat isterinya berbuat zina. Karena mereka mengartikan bahwa “keji” dalam ayat diatas adalah zina[35]
Daud berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu kecuali bila ada kekhawatiran bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan ayat diatas tersebut secara zhahir. Adapun An-Nu’man mengatakan bahwa khulu dapat dijatuhkan meskipun merugikan. Berdasarkan aturan fikih, tebusan itu diberikan kepada isteri sebagai imbangan talak yang dimiliki suami. Oleh karena itu, talak diberikan kepada suami jika ia membenci isteri, maka khulu diberikan kepada isteri jika ia membenci suami. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara keduanya.[36]
2.      Isteri sebagai penuntut khulu
Para fuqaha sepakat bahwa isteri yang mengajukan khulu kepada suaminya itu  wajib sudah baligh dan berakal sehat. Mereka juga sepakat bahwa isteri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan khulu tanpa ijin walinya.[37] Sedangkan budak tidak boleh mengadakan khulu untuk dirinya kecuali dengan seizin tuannya.[38] Sedangkan menurut Imam Malik apabila isteri masih anak-anak maka boleh bagi sang ayah atau walinya meminta khulu dari suaminya. Sedangkan Imamiyyah menentukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu, hal-hal yang mereka syaratkan dalam talak, misalnya si wanita harus dalam keadaan suci dan tidak dicampuri menjelang khulu manakala dia sudah pernah dicampuri dan bukan wanita yang sedang memasuki masa monopause dan hamil atau berusia di bawah sembilan tahun. Mereka juga mensyaratkan adanya dua orang laki-laki yang adil.[39] Kemudian timbul perbedaan pendapat berkenaan dengan anak lelaki yang masih dibawah umur. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengadakan khulu atas namanya, karena itu seorang ayah tidak boleh menjatuhkan talak atas namanya juga.[40]
Selanjutnya Imam Syafi’i berkata khulu dalam keadaan sakit maupun sehat hukumnya boleh sebagaiamana jual beli dalam keadaan keduanya itu. Apabila isteri mengadakan khulu sebesar mahar mitsilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta tersebut diambil dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari mahar mitsil, maka tambahan tersebut harus dari sepertiga dari harta pokok.[41]
3.      Sighat khulu
Para ahli fikih berpendapat bahwa khulu harus diucapkan dengan kata khulu atau lafadz yang diambil dari kata dasar khulu atau kata lain yang mempunyai arti seperti itu, seperti mubara’ah (berlepas diri) atau fidyah(tebusan).[42] Contoh sighat khulu  “khuluklah aku dengan 10000” atau “lepaskan aku dengan uang 10000” maka suami berbuat dan kemudian mendapat 10000 dari isterinya. Namun jika tidak dengan kata khulu atau kata lain yang sama maksudnya, misalnya suami berkata kepada isterinya “engkau tertalak sebagai imbalan dari pada barang atau uang seharga sekian”, lalu isterinya mau menerimanya. Maka pernyatan ini adalah talak dengan imbalan harta bukan khulu.
Hanafi mengatakan khulu boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi al-bai (jual beli), misalnya suami mengatakan kepada isterinya “saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian” lalu isterinya menjawab “saya beli itu” demikian pula Syafi’i berpendapat bahwa boleh melakukan khulu dengan redaksi al-bai (jual beli).[43]
khulu dan talak adalah sah tanpa lafazh bahasa Arab menurut kesepakatan ulama. Telah menjadi maklum bahwa tidak ada di dalam bahasa asing lafazh perceraian dengan tebusan antara khulu dan talak. Akan tetapi yang membedakan keduanya adalah yang khusus bagi khulu yaitu menyertakan tebusan dan permintaan perempuan untuk talak.[44]
Dan adapun khulu dapat terjadi dengan lafazh talak yang sharih atau kinayahnya. Adapun maksudnya talak di sini adalah talak bain karena isteri menyerahkan tebusan atau iwadh untuk memiliki dirinya sendiri. Dan jika terjadi khulu dengan lafazh khulu atau fasakh atau fida’ dan tidak berniat menalaknya maka jatuhlah fasakh terhadapnya yang tidak mengurangi bilangan talaknya.[45] Sebagaimana firman Allah SWT:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَأِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحُ بِأِحْسَانٍ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Ibnu Qayyim menyangkal pendapat tersebut, katanya:“ barangsiapa yang hendak memikirkan hakikat dan tujuan dari akad atau perjanjian bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja, tentu akan menganggap khulu sebagai fasakh, bila diucapkan dengan kata apapun, sekalipun dengan kata “talak.” Pendapat ini merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam Ahmad. Juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata “Barang siapa yang hanya melihat dan berpegang kepada lafal-lafal saja, dan   meperhatikannya pula bagaimana adanya dengan hukum akad, tentu ia akan menentukan lafal “talak untuk “talak” saja.[46]
Imam Malik berpendapat bahwa syarat sighat khulu itu ada 3 yaitu:
·         Harus diucapkan, menggunakan kalimat yang menunjukan atas talak baik kata-kata sharih atau kinayah, apabila hanya perbuatan yang menunjukan atas talak tanpa diucapkan maka tidak jatuh khulu atasnya.
·         Qabul dalam satu majelis
·         Mengucapkan ijab dan qabul harus sesuai dengan kadar hartanya, “aku talak kamu dengan 300” kemudian dijawab saya, “terima 300 itu.”[47]
D.          Akibat Hukum Khulu
1.      Dampak / akibat hukum khulu
Dalam hal akibat khulu, terdapat persoalan apakah perempuan yang menerima khulu dapat diikuti dengan talak ataun tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa khulu itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan dapat diikuti tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak. Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu ia tidak membolehkan seorang menikahi perempuan yang saudara perempuannya masih dalam iddah talak bain. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, mereka berpendapat bahwa khulu tersebut dapat diikuti dengan talak. Sedang fukaha yang berpendapat demikian, mengatakan bahwa khulu tersebut tidak dapat diikuti dengan talak. [48]
Persoalan yang lain adalah jumhur fuqaha sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan isterinya yang di khulu pada masa iddah dengan persetujuannya. Sedangkan fuqaha mutaakhirin tidak membolehkan. Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang iddah wanita yang di khulu apabila terjadi persengketaan antara suami isteri berkenaan dengan dengan kadar harta yang dipakai untuk terjadinya khulu. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami jika tidak ada saksi. Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedua suami isteri saling bersumpah, dan atas isteri dikenakan mahar mitsil. Beliau mempersamakan persengketaan antara suami dengan persengketaan antara dua orang yang jual beli. Adapun Imam Malik memandang isteri sebagai pihak tergugat dan suami sebagai penggugat.[49]
2.      Kedudukan Khulu
Menurut mazhab Umar, Ustman dan Ali RA dan jumhur fuqaha, bahwa khulu termasuk talak, seperti halnya pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzanniy mempersamakan khulu dengan talak. Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa khulu termasuk fasakh di dalam qaul qadimnya.[50] Demikian juga pendapat Imam Ahmad dan Daud, serta Ibnu Abbas dari kalangan sahabat. Imam Syafi’i juga meriwayatkan bahwa khulu merupakan kata sindiran. Jadi jika dengan kata kinayah tersebut menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Akan tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khulu itu adalah talak.[51]
Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa khulu adalah terbagi dua lafazh yaitu Sharih dan kinayah. Lafaz sharih menjadikannya sebagai talak bain tanpa niat karena apabila suami dapat merujuk isterinya pada masa iddah maka penebusannya tidak berarti lagi, sedangkan kinayah  jatuh talak bain dengan disertai niat.[52] Abu Tsaur berpendapat, apabila khulu tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk isterinya. Sedang apabila khulu menggunakan kata talak, maka suami dapat merujuk isterinya. Fuqaha yang menganggap khulu sebagai talak mengemukakan alasan bahwa fasakh itu merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendaknya. Sedang khulu ini berpangkal pada kehendak ikhtiyar. Oleh karena itu khulu bukan fasakh. Fuqaha yang tidak menganggap khulu sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Allah SWT menyebutkan tentang talak, maka firmannya, “Talak yang dapat dirujuk dua kali”. Kemudian Allah menyebutkan tentang khulu dengan firmannya, “Jika si suami mentalaknya (sesudah taklak yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah lagi dengan suami yang lain.”(Al-Baqarah: 230). Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti isteri tidak halal lagi bagi suami kecuali bila ia sudah menikah lagi dengan suami yang lain, menjadi talak yang keempat.[53]
Adapun fuqaha yang menentang pendapat ini mengatakan bahwa ayat di atas memuat kedudukan tebusan sebagai sesuatu yang dipersamakan dengan talak, bukan hal yang berbeda dengan talak.  Kesimpulannya Jadi perbedaan pendapat tersebut disebabkan, apakah berkaitannya harta pengganti pada pemutusan ikatan perkawinan karena talak kepada jenis pemutusan perkawinan karena fasakh, atau tidak dapat.[54]
Dalam kompilasi Pasal 119 disebutkan:[55]
1.      Talak bain sughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
2.      Talak bain sughraa sebagaimana tersebut pada ayat 1 adalah :
a.       Talak yang terjadi qabla dukhul
b.      Talak dengan tebusan atau khulu
c.       Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama


[1] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1996), h. 13.

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 11.

[3] Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih perempuan, muslimah, (Jakarta: AMZAH, 2005), H. 109.

[4] Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 220.

[5] A. W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. 14, h. 361.

[6] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, (Surabaya: Hidayah, 2000), jilid. 1, h. 184.

[7] Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadist, 2003), jilid 3, h. 182

[8] Muhammad Abu Zahrah, Ahwal Syahkshiyyah, (Kairo: Daar el-Fikri, 2005), h. 329.

[9] H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), cet. 1, h. 95.

[10] Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibariy, Fathul Mu’in Syarah Qurrot el-Aini, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, 1997), h. 111.

[11] Abdul Wahhab Muhaimin, “Kajian Ayat-Ayat Hukum Wanita Dalam Perkawinan Dan Perceraian”,  Jurnal Ahkam, no 4 (Maret1998), h. 44.

[12] Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia, h. 113.

[13] Ali Ahmad Al-Jurzawi, Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuh, (Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo Dan Sabahus Surur, (Semarang: CV As-Syifa, 1992), h. 320.

[14] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2006), h. 379

[15] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, h. 376.
[16] Abu Abdullah Muhammad bi Yazid Al-Qazwaini ‘Ibnu Majah’, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Daar el-Fikri, tth, ), h. 663

[17] Ismail Kahlaniy, Subulus Salam, , (Mesir: Daar el-Salam, tth), H. 168. Liat juga : Abu Abdullah Muhammad bi Yazid Al-Qazwaini ‘Ibnu Majah’, Sunan Ibnu Majah, h. 222

[18] Isa Muhammad bin Isa bin Surah ‘Turmuji’, Sunan Tirmiji, (Beirut, Daar el-Fikri, tth), h, 401.

[19] Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Bulugul Maram, (Surabaya: Daar el-Ilmi, tth), h. 223.

[20] Ala’u Diin Ali bin Balban Al-Farisi, Shahih Ibnu Hibban, (Beirut: Ar-Risalah 1997), Juz 10, h. 110

[21] Ibnu Hajar Asqalani, Fath el-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Daar el-Kutub el-Islamiyyah, 2003), juz 9, h. 496

[22] Abu daud Sulaiman bin Asy’ats Al-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar el-Fikri, tth), juz 2, h. 245
[23] Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, h. 221

[24] Zalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-suyuthi, Jamie el-Shagir Fi Ahadis Basyir el-Nazir, (Kairo: Darr el-Katib el-Arabi, 1967), h. 106.

[25] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, h. 248.

[26] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, h. 318.

[27] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 75.

[28] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet1, h. 310. Lihat juga Ibnu Arabi, Ahkamul Qur’an, (Beirut: Daar el-Fikri, tth), jilid 1, h. 265

[29] Abu Abdullah Muhammad bi Yazid Al-Qazwaini ‘Ibnu Majah’, Sunan Ibnu Majah,  h. 663

[30] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, (Beirut: Darr el-Fikri, tth), jilid 2, h. 51.

[31] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008),  h. 457. lihat juga: Abdurrahman Al-Zajairy, Al-fiqh Ala Mazahib el-Arba’ah, (Beirut: Daar el-Fikri, 2003), jilid 4, h. 315.

[32] Syaikh Mansur Bin Yusuf Al-Bahutiy, Ar-Raudah el-Murabbah Syarah Zaadul Mustaqniy Fi Ihktishari el-Mukniy, (Beirut: Daar el-Fikri, 1990), h. 358.

[33] Abu Ishak Syairazi, At-Tanbih, (Beirut: Daar el-Fikri, 1996), h. 152.
[34] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, jilid 2, h. 51.

[35] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid,  jilid 2, h. 51.

[36] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid,  jilid 2, h. 51.

[37] Muhammad Jawad Mughniyyah , h. 460.

[38] Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 91.

[39] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, H. 462.

[40] Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, h. 92  lihat juga: Abu Ishak Syairazi, At-tanbih, h. 152.

[41] Imam Syafi’i, Al-umm, (Beirut, Daar el-Fikri, 2002), jilid 3, h. 222.

[42] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1978), jilid 7, h. 101.

[43] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, h. 463.

[44] Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 262.

[45] Syaikh Mansur Bin Yusuf Al-Bahutiy, Ar-Raudoh el-Murabbah Syarah Zaadul Mustaqniy Fi Ihktishari el-Mukniy, h. 358.
 
[46] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 93.

[47] Abdurrahman Al-Zajairy, Al-fiqh Ala Mazahib el-Arba’ah, jilid 4, h. 325.
[48] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 95.

[49] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, jilid 2, h. 52.

[50] Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi Fiqh Mazhab Imam Syafi’I, (Beirut: Daar el-Fikri, 2004), h. 276.

[51] Imam Syafi’i, Al-umm, jilid 3, h. 220.

[52] Abdurrahman Al-zajairy, Al-fiqh Ala Mazahib el-Arba’ah, jilid 4, h. 328.

[53] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 94.

[54] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 94.

[55] Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia, h. 142.

3 komentar:

  1. ane minta izin copy,,,thanks ya....

    BalasHapus
  2. terimakasih atas penjelasannya. Rinci banget disertai dengan referensi-referensi fuqoha.

    BalasHapus

ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru