Senin, 19 Desember 2011

Kebebasan Beragama atau Kemerdekaan Beragama ?


Pasal 29 UUD 1945 berbunyi :
“ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu “
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Dimana secara defacto bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamirkan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Bagaimana pergulatan serta perjuangan untuk menuju sebuah kemerdekaan membutuhkan pengorbanan yang cukup banyak dari para pejuang kita terdahulu.
Sejarah perjuangan bangsa kita banyak diwarnai pergulatan juga dialektika, perjuangan para pejuang bangsa telah tertoreh dalam lembaran emas. Setelah kemerdekaan itu kita peroleh, sendi-sendi dasar terbentuknya suatu Negara juga dibuat. Undang-Undang Dasar Negara atau yang kita kenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara 1945 dan Pancasila menjadi pedoman hidup tata pelaksana pergaulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agaknya kemerdekaan sesuatu yang amat mahal harganya, kini kita dihadapkan pada realitas kehidupan bahwa masih banyak dari kita yang masih saja berprilaku tidak baik tatkala kita berbeda. Kemajemukan adat istiadat, suku, agama yang mewarnai bumi Nusantara ini harusnya bisa menjadi kekayaan tak ternilai karena Tuhan memberi anugrah pada bumi tercinta ini untuk menjadi kebaikan bagi semua umat bukan untuk pribadi sendiri ataupun sekelompok orang.
Indahnya perbedaan itu seperti taman bunga yang warna-warni,bukan untuk dikoyak ataupun sampai ada tetesan darah yang keluar. Ungkapan judul di atas rasanya pas untuk menggambarkan situasi dan kondisi Indonesia saat ini. Merdeka berarti bebas, dalam konteks kebangsaan bebas dapat diinterpretasikan dengan bebas dari rasa takut, bebas untuk berbicara dan menyatakan pendapat, bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing yang diyakini dll. Karena itu merupakan Hak Asasi kita. Tetapi memang, kenyataannya jauh api dari panggang bahwa kita belum bisa “ bebas “ dalam artian yang sesungguhnya terutama dalam kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya.
Hak untuk bebas memeluk agama dan kepercayaannya saat ini telah terdegradasi oleh sikap arogansi orang-orang yg tidak bertanggung jawab. Diskriminasi, intimidasi, serta bermacam perlakuan tidak baik masih diterima minoritas. Mayoritas menggencet minoritas, tentunya sikap ini telah melanggar Hak Asasi kita sebagai umat manusia, padahal jelas-jelas dalam konstitusi kita Negara menjamin kebebasan yang dimaksud seperti yang termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945.
Itulah kenapa “ founding father “ kita meletakkan dasar Negara kita yaitu Pancasila bukan berdasarkan pada satu agama. Sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berdasar agama tertentu karena sebagai satu bangsa kita terdiri dari berbagai macam agama juga kepercayaan. Jangan sampai akibat yang ditimbulkan dari perbedaan itu memicu konflik yang lebih besar yang bisa saja memecah persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai “ Bhineka Tunggal Ika “. Kita kehilangan “ Jati Diri “ sebagai entitas suatu bangsa.
Tengoklah sejarah dulu saat Soekarno membacakan pidatonya di depan siding BPUPKI tentang Dasar Negara daripada Indonesia beliau mentamzilkan bahwa kemerdekaan itu adalah “ jembatan Emas “ diseberangnya “jembatan emas “ itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Kini kita sudah meniti “ jembatan Emas “ itu tapi kita tidak mampu mengisi kemerdekaan itu dengan baik malah sesama anak bangsa kita bertikai. Bolehkah dalam alam negeri ini kita menghakimi bahkan memaksakan agama dan kepercayaan kita terhadap orang lain, mengucilkan minoritas,mencaci, padahal Tuhan menciptakan kita pun berbeda-beda. Tapi bukan kah perbedaan itu sesungguhnya bisa menghasilkan harmonisasi apabila kita bisa mengemasnya jika saling menghormati juga menghargai satu sama lai
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk memeluk agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di luar keenam agama tersebut, bolehkah kita menganutnya? Lebih tegas lagi, bolehkah agama yang lain itu disebutkan di dalam kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) kita? Bahkan yang ekstrim, bolehkah kita menjadi warga negara yang tidak menganut suatu agama alias ateis?
Apakah di Indonesia kebebasan beribadah setiap warga negara dijamin secara hukum? UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk beribadah menurut agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Jika kita beribadah menurut ajaran agama di luar keenam agama tersebut, bolehkah? Fakta bicara, seiring waktu, akan ada pihak-pihak yang melaporkannya kepada penguasa atau pemimpin umat yang dominan sehingga kelak kelompok agama yang lain itu dicap”sesat” dan akhirnya dilarang beraktivitas atau bahkan dibubarkan eksistensinya.
Berdasarkan itu, maka secara logis dapatlah kita katakan bahwa kebebasan beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia bukanlah kebebasan yang sejati sebagaimana yang dimaksud oleh teori maupun konsep tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, dalam perspektif HAM, kebebasan harus berdimensi dua: 1) kebebasan dari tekanan, belenggu, paksaan, dan yang sejenisnya; 2) kebebasan untuk berpikir, berekspresi, berkumpul, dan yang sejenisnya Berdasarkan pikiran-pikiran di atas, maka janganlah heran jika di Indonesia terdapat fakta-fakta berikut:
Pertama, sejak 1945 hingga kini sudah lebih dari 1000 gedung gereja yang ditutup paksa atau dihancurkan, baik oleh kelompok umat non-Kristen maupun oleh aparat pemerintah sendiri.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Keempat, berkaitan dengan fakta pertama, sangat sedikit dari orang-orang yang melakukan penutupan paksa dan atau perusakan terhadap rumah ibadah tersebut yang dijatuhi hukuman oleh negara.
Terkait kebebasan beragama dan kebebasan beribadah, umat Islam adalah komunitas agama yang paling banyak mendapatkan privilese di negara ini. Wajar saja, karena Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di negara ini (meskipun di sejumlah daerah bisa saja umat Islam terkategori minoritas). Tetapi, menjadi tidak wajar jika negara dalam banyak hal cenderung menjadikan Islam sebagai “primadona”. Karena, sejatinya negara, apalagi yang berbentuk republik dan berlandaskan sistem demokrasi, harus berdiri di atas semua golongan.
Aspirasi pelbagai kelompok untuk memasukkan Islam ke dalam produk-produk hukum positif tak pernah pupus sejak 1945 sampai sekarang. Pantas saja, karena negara pun tidak pernah secara tegas menyatakan bahwa “semua produk hukum di negara hukum (rechstaat) ini tidak boleh bernuansa agama tertentu, baik implisit apalagi eksplisit”. Pantas saja, karena faktanya sejak dulu terdapat produk-produk hukum positif yang bernuansa agama tertentu namun dibiarkan saja oleh negara. Maka, pantas jugalah jika faktanya terdapat beberapa partai politik yang salah satu impiannya adalah membuat semakin banyak produk hukum yang bernuansa agama tertentu, cukup banyak elit politik yang salah satu agenda perjuangannya adalah memasukkan aspirasi agamanya ke dalam produk-produk hukum positif, cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak paham tentang prinsip-prinsip pembuatan hukum di daerah sebagaimana seharusnya, dan cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak mampu memerankan dirinya sebagai negarawan sejati atau pemimpin yang nasionalis.  
Selama ini aparat kepolisian kerap ragu dalam bersikap dan bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok massa berlabel agama yang melakukan aksi-aksi brutal terhadap komunitas-komunitas agama lain disebabkan minimnya pemahaman para aparat tersebut terhadap hukum dan HAM. Inilah yang mestinya dijadikan salah satu agenda mendesak oleh negara: membekali terus-menerus setiap aparat kepolisian dengan pemahaman yang benar tentang hukum dan HAM. Dalam rangka itu pula negara seharusnya terus-menerus mendorong setiap aparat kepolisian untuk berani bersikap dan bertindak tegas. Selain itu negara juga harus memberikan jaminan perlindungan hukum bagi aparat kepolisian yang mungkin dipermasalahkan secara hukum serta dukungan finansial bagi aparat kepolisian yang mengalami kerugian.
Sebenarnya masih ada beberapa pokok pikiran lain yang ingin saya kemukakan terkait diskusi kita tentang kebebasan beragama dan kebebasan beribadah ini. Namun, disebabkan keterbatasan waktu, maka izinkan saya mengakhirnya dengan beberapa usulan yang kiranya dapat diartikulasikan secara bersama menjadi isu-isu politik di masa-masa mendatang.
Pertama, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk menegaskan dirinya sebagai “negara sekuler” atau “negara yang bukan sekuler tapi juga bukan negara agama”. Jika yang pertama tercapai, niscayalah kebebasan beragama dan kebebasan beribadah tidak menjadi masalah besar kita di masa-masa mendatang.
Kedua, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia yang telah semakin modern secara politik ini untuk membuat konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan beragama” dan bahkan merumuskannya di dalam sebuah perundang-undangan (sebutlah namanya UU Kebebasan Beragama).
Ketiga, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk mewujudkan supremasi hukum di dalam pelbagai aspek kehidupan dan di seluruh wilayah hukumnya. Artinya, biarlah hanya hukum negara yang menjadi pedoman setiap warga negara dalam mereka bertindak di ruang-ruang publik yang formal – alih-alih berpedoman pada syariat atau aturan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru