Pasal
29 UUD 1945 berbunyi :
“ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu “
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang besar. Dimana secara defacto bangsa Indonesia telah memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamirkan oleh Dwi
Tunggal Soekarno-Hatta. Bagaimana pergulatan serta perjuangan untuk menuju
sebuah kemerdekaan membutuhkan pengorbanan yang cukup banyak dari para pejuang
kita terdahulu.
Sejarah perjuangan bangsa kita banyak diwarnai pergulatan
juga dialektika, perjuangan para pejuang bangsa telah tertoreh dalam lembaran
emas. Setelah kemerdekaan itu kita peroleh, sendi-sendi dasar terbentuknya
suatu Negara juga dibuat. Undang-Undang Dasar Negara atau yang kita kenal
sebagai Undang-Undang Dasar Negara 1945 dan Pancasila menjadi pedoman hidup
tata pelaksana pergaulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agaknya kemerdekaan sesuatu yang amat mahal harganya, kini
kita dihadapkan pada realitas kehidupan bahwa masih banyak dari kita yang masih
saja berprilaku tidak baik tatkala kita berbeda. Kemajemukan adat istiadat,
suku, agama yang mewarnai bumi Nusantara ini harusnya bisa menjadi kekayaan tak
ternilai karena Tuhan memberi anugrah pada bumi tercinta ini untuk menjadi
kebaikan bagi semua umat bukan untuk pribadi sendiri ataupun sekelompok orang.
Indahnya perbedaan itu seperti taman bunga yang
warna-warni,bukan untuk dikoyak ataupun sampai ada tetesan darah yang keluar.
Ungkapan judul di atas rasanya pas untuk menggambarkan situasi dan kondisi Indonesia
saat ini. Merdeka berarti bebas, dalam konteks kebangsaan bebas dapat
diinterpretasikan dengan bebas dari rasa takut, bebas untuk berbicara dan
menyatakan pendapat, bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing
yang diyakini dll. Karena itu merupakan Hak Asasi kita. Tetapi memang,
kenyataannya jauh api dari panggang bahwa kita belum bisa “ bebas “ dalam
artian yang sesungguhnya terutama dalam kebebasan memeluk agama dan
kepercayaannya.
Hak untuk bebas memeluk agama dan kepercayaannya saat ini
telah terdegradasi oleh sikap arogansi orang-orang yg tidak bertanggung jawab.
Diskriminasi, intimidasi, serta bermacam perlakuan tidak baik masih diterima
minoritas. Mayoritas menggencet minoritas, tentunya sikap ini telah melanggar
Hak Asasi kita sebagai umat manusia, padahal jelas-jelas dalam konstitusi kita
Negara menjamin kebebasan yang dimaksud seperti yang termaktub dalam Pasal 29
UUD 1945.
Itulah kenapa “ founding father “ kita meletakkan dasar
Negara kita yaitu Pancasila bukan berdasarkan pada satu agama. Sila pertama
Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berdasar agama tertentu karena
sebagai satu bangsa kita terdiri dari berbagai macam agama juga kepercayaan. Jangan
sampai akibat yang ditimbulkan dari perbedaan itu memicu konflik yang lebih
besar yang bisa saja memecah persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai “
Bhineka Tunggal Ika “. Kita kehilangan “ Jati Diri “ sebagai entitas suatu
bangsa.
Tengoklah sejarah dulu saat Soekarno membacakan pidatonya di
depan siding BPUPKI tentang Dasar Negara daripada Indonesia beliau mentamzilkan
bahwa kemerdekaan itu adalah “ jembatan Emas “ diseberangnya “jembatan emas “
itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Kini kita sudah meniti “ jembatan Emas “ itu tapi kita tidak
mampu mengisi kemerdekaan itu dengan baik malah sesama anak bangsa kita
bertikai. Bolehkah dalam alam negeri ini kita menghakimi bahkan memaksakan
agama dan kepercayaan kita terhadap orang lain, mengucilkan minoritas,mencaci,
padahal Tuhan menciptakan kita pun berbeda-beda. Tapi bukan kah perbedaan itu
sesungguhnya bisa menghasilkan harmonisasi apabila kita bisa mengemasnya jika
saling menghormati juga menghargai satu sama lai
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap
dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk memeluk agama
tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud
adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di luar keenam
agama tersebut, bolehkah kita menganutnya? Lebih tegas lagi, bolehkah agama
yang lain itu disebutkan di dalam kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk)
kita? Bahkan yang ekstrim, bolehkah kita menjadi warga negara yang tidak
menganut suatu agama alias ateis?
Apakah di Indonesia kebebasan beribadah setiap warga
negara dijamin secara hukum? UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu.
Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk
beribadah menurut agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”.
Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan
Konghucu. Jika kita beribadah menurut ajaran agama di luar keenam agama
tersebut, bolehkah? Fakta bicara, seiring waktu, akan ada pihak-pihak yang
melaporkannya kepada penguasa atau pemimpin umat yang dominan sehingga kelak
kelompok agama yang lain itu dicap”sesat” dan akhirnya dilarang beraktivitas
atau bahkan dibubarkan eksistensinya.
Berdasarkan itu, maka secara logis dapatlah kita katakan
bahwa kebebasan beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia bukanlah kebebasan yang
sejati sebagaimana yang dimaksud oleh teori maupun konsep tentang Hak Asasi
Manusia (HAM). Sebab, dalam perspektif HAM, kebebasan harus berdimensi dua: 1)
kebebasan dari tekanan, belenggu, paksaan, dan yang sejenisnya; 2) kebebasan
untuk berpikir, berekspresi, berkumpul, dan yang sejenisnya Berdasarkan
pikiran-pikiran di atas, maka janganlah heran jika di Indonesia terdapat
fakta-fakta berikut:
Pertama,
sejak 1945 hingga kini sudah lebih dari 1000 gedung gereja yang ditutup paksa
atau dihancurkan, baik oleh kelompok umat non-Kristen maupun oleh aparat
pemerintah sendiri.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Keempat,
berkaitan dengan fakta pertama, sangat sedikit dari orang-orang yang melakukan
penutupan paksa dan atau perusakan terhadap rumah ibadah tersebut yang dijatuhi
hukuman oleh negara.
Terkait kebebasan beragama dan kebebasan beribadah, umat
Islam adalah komunitas agama yang paling banyak mendapatkan privilese di negara
ini. Wajar saja, karena Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk
di negara ini (meskipun di sejumlah daerah bisa saja umat Islam terkategori
minoritas). Tetapi, menjadi tidak wajar jika negara dalam banyak hal cenderung
menjadikan Islam sebagai “primadona”. Karena, sejatinya negara, apalagi yang
berbentuk republik dan berlandaskan sistem demokrasi, harus berdiri di atas
semua golongan.
Aspirasi pelbagai kelompok untuk memasukkan Islam ke dalam
produk-produk hukum positif tak pernah pupus sejak 1945 sampai sekarang. Pantas
saja, karena negara pun tidak pernah secara tegas menyatakan bahwa “semua
produk hukum di negara hukum (rechstaat) ini tidak boleh bernuansa agama
tertentu, baik implisit apalagi eksplisit”. Pantas saja, karena faktanya sejak
dulu terdapat produk-produk hukum positif yang bernuansa agama tertentu namun
dibiarkan saja oleh negara. Maka, pantas jugalah jika faktanya terdapat
beberapa partai politik yang salah satu impiannya adalah membuat semakin banyak
produk hukum yang bernuansa agama tertentu, cukup banyak elit politik yang
salah satu agenda perjuangannya adalah memasukkan aspirasi agamanya ke dalam
produk-produk hukum positif, cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak
paham tentang prinsip-prinsip pembuatan hukum di daerah sebagaimana seharusnya,
dan cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak mampu memerankan dirinya
sebagai negarawan sejati atau pemimpin yang nasionalis.
Selama ini aparat kepolisian kerap ragu dalam bersikap dan
bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok massa berlabel agama yang melakukan aksi-aksi
brutal terhadap komunitas-komunitas agama lain disebabkan minimnya pemahaman
para aparat tersebut terhadap hukum dan HAM. Inilah yang mestinya dijadikan
salah satu agenda mendesak oleh negara: membekali terus-menerus setiap aparat
kepolisian dengan pemahaman yang benar tentang hukum dan HAM. Dalam rangka itu
pula negara seharusnya terus-menerus mendorong setiap aparat kepolisian untuk
berani bersikap dan bertindak tegas. Selain itu negara juga harus memberikan
jaminan perlindungan hukum bagi aparat kepolisian yang mungkin dipermasalahkan
secara hukum serta dukungan finansial bagi aparat kepolisian yang mengalami
kerugian.
Sebenarnya masih ada beberapa pokok pikiran lain yang ingin
saya kemukakan terkait diskusi kita tentang kebebasan beragama dan kebebasan
beribadah ini. Namun, disebabkan keterbatasan waktu, maka izinkan saya
mengakhirnya dengan beberapa usulan yang kiranya dapat diartikulasikan secara
bersama menjadi isu-isu politik di masa-masa mendatang.
Pertama,
adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk menegaskan dirinya
sebagai “negara sekuler” atau “negara yang bukan sekuler tapi juga bukan negara
agama”. Jika yang pertama tercapai, niscayalah kebebasan beragama dan kebebasan
beribadah tidak menjadi masalah besar kita di masa-masa mendatang.
Kedua,
adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia yang telah semakin modern secara
politik ini untuk membuat konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan
beragama” dan bahkan merumuskannya di dalam sebuah perundang-undangan (sebutlah
namanya UU Kebebasan Beragama).
Ketiga,
adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk mewujudkan
supremasi hukum di dalam pelbagai aspek kehidupan dan di seluruh wilayah
hukumnya. Artinya, biarlah hanya hukum negara yang menjadi pedoman setiap warga
negara dalam mereka bertindak di ruang-ruang publik yang formal – alih-alih
berpedoman pada syariat atau aturan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru