Senin, 19 Desember 2011

Kebebasan Beragama atau Kemerdekaan Beragama ?


Pasal 29 UUD 1945 berbunyi :
“ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu “
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Dimana secara defacto bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamirkan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Bagaimana pergulatan serta perjuangan untuk menuju sebuah kemerdekaan membutuhkan pengorbanan yang cukup banyak dari para pejuang kita terdahulu.
Sejarah perjuangan bangsa kita banyak diwarnai pergulatan juga dialektika, perjuangan para pejuang bangsa telah tertoreh dalam lembaran emas. Setelah kemerdekaan itu kita peroleh, sendi-sendi dasar terbentuknya suatu Negara juga dibuat. Undang-Undang Dasar Negara atau yang kita kenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara 1945 dan Pancasila menjadi pedoman hidup tata pelaksana pergaulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agaknya kemerdekaan sesuatu yang amat mahal harganya, kini kita dihadapkan pada realitas kehidupan bahwa masih banyak dari kita yang masih saja berprilaku tidak baik tatkala kita berbeda. Kemajemukan adat istiadat, suku, agama yang mewarnai bumi Nusantara ini harusnya bisa menjadi kekayaan tak ternilai karena Tuhan memberi anugrah pada bumi tercinta ini untuk menjadi kebaikan bagi semua umat bukan untuk pribadi sendiri ataupun sekelompok orang.
Indahnya perbedaan itu seperti taman bunga yang warna-warni,bukan untuk dikoyak ataupun sampai ada tetesan darah yang keluar. Ungkapan judul di atas rasanya pas untuk menggambarkan situasi dan kondisi Indonesia saat ini. Merdeka berarti bebas, dalam konteks kebangsaan bebas dapat diinterpretasikan dengan bebas dari rasa takut, bebas untuk berbicara dan menyatakan pendapat, bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing yang diyakini dll. Karena itu merupakan Hak Asasi kita. Tetapi memang, kenyataannya jauh api dari panggang bahwa kita belum bisa “ bebas “ dalam artian yang sesungguhnya terutama dalam kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya.
Hak untuk bebas memeluk agama dan kepercayaannya saat ini telah terdegradasi oleh sikap arogansi orang-orang yg tidak bertanggung jawab. Diskriminasi, intimidasi, serta bermacam perlakuan tidak baik masih diterima minoritas. Mayoritas menggencet minoritas, tentunya sikap ini telah melanggar Hak Asasi kita sebagai umat manusia, padahal jelas-jelas dalam konstitusi kita Negara menjamin kebebasan yang dimaksud seperti yang termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945.
Itulah kenapa “ founding father “ kita meletakkan dasar Negara kita yaitu Pancasila bukan berdasarkan pada satu agama. Sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berdasar agama tertentu karena sebagai satu bangsa kita terdiri dari berbagai macam agama juga kepercayaan. Jangan sampai akibat yang ditimbulkan dari perbedaan itu memicu konflik yang lebih besar yang bisa saja memecah persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai “ Bhineka Tunggal Ika “. Kita kehilangan “ Jati Diri “ sebagai entitas suatu bangsa.
Tengoklah sejarah dulu saat Soekarno membacakan pidatonya di depan siding BPUPKI tentang Dasar Negara daripada Indonesia beliau mentamzilkan bahwa kemerdekaan itu adalah “ jembatan Emas “ diseberangnya “jembatan emas “ itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Kini kita sudah meniti “ jembatan Emas “ itu tapi kita tidak mampu mengisi kemerdekaan itu dengan baik malah sesama anak bangsa kita bertikai. Bolehkah dalam alam negeri ini kita menghakimi bahkan memaksakan agama dan kepercayaan kita terhadap orang lain, mengucilkan minoritas,mencaci, padahal Tuhan menciptakan kita pun berbeda-beda. Tapi bukan kah perbedaan itu sesungguhnya bisa menghasilkan harmonisasi apabila kita bisa mengemasnya jika saling menghormati juga menghargai satu sama lai
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk memeluk agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di luar keenam agama tersebut, bolehkah kita menganutnya? Lebih tegas lagi, bolehkah agama yang lain itu disebutkan di dalam kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) kita? Bahkan yang ekstrim, bolehkah kita menjadi warga negara yang tidak menganut suatu agama alias ateis?
Apakah di Indonesia kebebasan beribadah setiap warga negara dijamin secara hukum? UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk beribadah menurut agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Jika kita beribadah menurut ajaran agama di luar keenam agama tersebut, bolehkah? Fakta bicara, seiring waktu, akan ada pihak-pihak yang melaporkannya kepada penguasa atau pemimpin umat yang dominan sehingga kelak kelompok agama yang lain itu dicap”sesat” dan akhirnya dilarang beraktivitas atau bahkan dibubarkan eksistensinya.
Berdasarkan itu, maka secara logis dapatlah kita katakan bahwa kebebasan beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia bukanlah kebebasan yang sejati sebagaimana yang dimaksud oleh teori maupun konsep tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, dalam perspektif HAM, kebebasan harus berdimensi dua: 1) kebebasan dari tekanan, belenggu, paksaan, dan yang sejenisnya; 2) kebebasan untuk berpikir, berekspresi, berkumpul, dan yang sejenisnya Berdasarkan pikiran-pikiran di atas, maka janganlah heran jika di Indonesia terdapat fakta-fakta berikut:
Pertama, sejak 1945 hingga kini sudah lebih dari 1000 gedung gereja yang ditutup paksa atau dihancurkan, baik oleh kelompok umat non-Kristen maupun oleh aparat pemerintah sendiri.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Keempat, berkaitan dengan fakta pertama, sangat sedikit dari orang-orang yang melakukan penutupan paksa dan atau perusakan terhadap rumah ibadah tersebut yang dijatuhi hukuman oleh negara.
Terkait kebebasan beragama dan kebebasan beribadah, umat Islam adalah komunitas agama yang paling banyak mendapatkan privilese di negara ini. Wajar saja, karena Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di negara ini (meskipun di sejumlah daerah bisa saja umat Islam terkategori minoritas). Tetapi, menjadi tidak wajar jika negara dalam banyak hal cenderung menjadikan Islam sebagai “primadona”. Karena, sejatinya negara, apalagi yang berbentuk republik dan berlandaskan sistem demokrasi, harus berdiri di atas semua golongan.
Aspirasi pelbagai kelompok untuk memasukkan Islam ke dalam produk-produk hukum positif tak pernah pupus sejak 1945 sampai sekarang. Pantas saja, karena negara pun tidak pernah secara tegas menyatakan bahwa “semua produk hukum di negara hukum (rechstaat) ini tidak boleh bernuansa agama tertentu, baik implisit apalagi eksplisit”. Pantas saja, karena faktanya sejak dulu terdapat produk-produk hukum positif yang bernuansa agama tertentu namun dibiarkan saja oleh negara. Maka, pantas jugalah jika faktanya terdapat beberapa partai politik yang salah satu impiannya adalah membuat semakin banyak produk hukum yang bernuansa agama tertentu, cukup banyak elit politik yang salah satu agenda perjuangannya adalah memasukkan aspirasi agamanya ke dalam produk-produk hukum positif, cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak paham tentang prinsip-prinsip pembuatan hukum di daerah sebagaimana seharusnya, dan cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak mampu memerankan dirinya sebagai negarawan sejati atau pemimpin yang nasionalis.  
Selama ini aparat kepolisian kerap ragu dalam bersikap dan bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok massa berlabel agama yang melakukan aksi-aksi brutal terhadap komunitas-komunitas agama lain disebabkan minimnya pemahaman para aparat tersebut terhadap hukum dan HAM. Inilah yang mestinya dijadikan salah satu agenda mendesak oleh negara: membekali terus-menerus setiap aparat kepolisian dengan pemahaman yang benar tentang hukum dan HAM. Dalam rangka itu pula negara seharusnya terus-menerus mendorong setiap aparat kepolisian untuk berani bersikap dan bertindak tegas. Selain itu negara juga harus memberikan jaminan perlindungan hukum bagi aparat kepolisian yang mungkin dipermasalahkan secara hukum serta dukungan finansial bagi aparat kepolisian yang mengalami kerugian.
Sebenarnya masih ada beberapa pokok pikiran lain yang ingin saya kemukakan terkait diskusi kita tentang kebebasan beragama dan kebebasan beribadah ini. Namun, disebabkan keterbatasan waktu, maka izinkan saya mengakhirnya dengan beberapa usulan yang kiranya dapat diartikulasikan secara bersama menjadi isu-isu politik di masa-masa mendatang.
Pertama, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk menegaskan dirinya sebagai “negara sekuler” atau “negara yang bukan sekuler tapi juga bukan negara agama”. Jika yang pertama tercapai, niscayalah kebebasan beragama dan kebebasan beribadah tidak menjadi masalah besar kita di masa-masa mendatang.
Kedua, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia yang telah semakin modern secara politik ini untuk membuat konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan beragama” dan bahkan merumuskannya di dalam sebuah perundang-undangan (sebutlah namanya UU Kebebasan Beragama).
Ketiga, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk mewujudkan supremasi hukum di dalam pelbagai aspek kehidupan dan di seluruh wilayah hukumnya. Artinya, biarlah hanya hukum negara yang menjadi pedoman setiap warga negara dalam mereka bertindak di ruang-ruang publik yang formal – alih-alih berpedoman pada syariat atau aturan agama.

Rabu, 07 Desember 2011

Teori Pembangunan Organski


Sebelum terjadinya sebuah negara utuh, ada golongan-golongan kecil yang belum tersatukan. Maka peran pemerintah mulai menyatukan negara-negara bagian tersebut, pemerintah mulai menyatukan suku-suku kecil tersebut yang tujuannya tidak lain untuk menuju satu kesatuan negara yang utuh. Untuk menyatukan suatu masyarakat yang luas perlu adanya upaya yang besar dan sungguh-sungguh yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Seperti menyatukan pandangan, membuat konstitusi dasar, unifikasi hukum peraturan perundang-undangan, dll. Namun dalam tahap seperti ini, ada beberapa kendala atau permasalahan serius yang dihadapi seperti :
1.      Stabilitas keamanan yang belum memadai
2.      Stabilitas politik yang masih bergemuruh
3.      Banyaknya paradigma dan cara berfikir masyarakat tentang tujuan negara sehingga melahirkan konflik-konflik kecil
Negara-negara yang terbentuk sekarang merupakan hasil dari proses panjang sehingga terbentuk mejadi suatu negara yang benar-benar diakui secara de facto dan de jure. Proses panjang ini hampir ditempuh oleh semua bangsa dan negara yang mulai dari kumpulan masyarakat yang sifatnya kecil, komunal dan hanya ada beberapa orang saja, yang biasanya mereka hanya tinggal di suatu tempat yang berhubungan langsung dengan mata pencaharian mereka. Di mana kehidupan mereka sudah merupakan gambaran miniatur sebuah negara, komunal-komunal ini dipimpin oleh kepala yang kalau dalam suatu suku maka dia akan dipimpin oleh kepala suku yang akhirnya kehidupan manusia akan berkembang seiring dengan bertambahnya jumlahnya manusia dan semakin kompleknya permasalahan kehidupan manusia yang akhirnya melahirkan kesepakatan-kesepakatan baru di antara mereka tentang kehidupan mereka.
Kehidupan yang dulu sifatnya kesukuan, kemudian berkembang menjadi kehidupan yang lebih kompleks menjadi kerajaan-kerajaan dan dinasti-dinasti yang mengatur kehidupan yang lebih kompeks dan wilayah yang lebih luas dan kemudian pada tahap perkembangan selanjutnya ada yang tetap menjadi menjadi negara kerajaan dan dinasti dan tetap memegang aturan-aturan yang sifatnya memegang tradisi kalaupun dalam lingkungan yang terbatas seperti kerajaan Inggris dan dinasti di Jepang dan Cina.
Kehidupan yang dijalani semua bangsa dalam proses pembentukannya mengalami kesulitan mulai dari proses yang primitif sampai menjadi negara yang modern seperti kebanyakan negara-negara pada abad 21 sekarang ini. Kesulitan itu adalah mempersatukan rakyat yang belum terikat kuat. Dalam tahap ini, tugas pokok yang juga harus segera dimulai adalah melakukan modernisasi dalam banyak hal. Sistem yang lama, baik sosial, pertanian maupun ekonomi yang masih bersifat feodal (kuno) harus segera digantikan oleh sistem yang baru (modern). Organski tidak memberi anjuran secara detail bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang sedang muncul, kecuali melakukan modernisasi sesegera mungkin pada saat problem unifikasi diselesaikan. Organski ’’membiarkan’’ negara-negara yang baru merdeka untuk menentukan sendiri jalan apa yang terbaik.
Dalam proses menyatukan keutuhan negara banyak terjadi permasalahan internal seperti konflik dalam negeri, konflik antar partai politik sehingga stabilitas negara pun bergoyang. Peranan pemerintah pusat harus kuat dalam menstabilkan negara. Jika tidak kuat maka para investor asing pun enggan menanamkan modalnya di dalam sebuah negara. Dalam tahap ini segera mungkin pemerintah memodernisasi masyarakat sehingga akan menuju proses industrialisasi yang pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat, jika pemerintah lambat memodernisasi maka akan sulit pemerintah untuk menyatukan berbagai macam suku, negara- negara bagian untuk disatukan.
Proses moderniasi tentunya tidak terlepas dipersiapkannya sumber daya manusia yang unggul dengan cara melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan dll agar masyarakat tidak asing lagi menggunakann teknologi canggih pada yang akan datang demi kehidupan yang lebih baik.
Pada tahap unifikasi ini, stabilitas politik dan keamanan suatu negara harus kuat karena pada tahap pertama ini sangat berpengaruh untuk kelangsungan tahap perkembangan industrialisasi, jika pada tahap unifikasi ini masih terdapat konflik politik, bentrok keamanan antar warga dan suku, maka sulit untuk mewujudkan proses yang selanjutnya. Bagaimana seorang investor akan menanamkan modalnya jika suatu kondisi negara sedang tidak stabil. Perlu adanya pembelajaran bagi seluruh masyarakat tentang cara pandang dan hidup yang sama sehingga tidak menimbulkan paradigma yang berbeda dari yang sebenarnya. Permasalahan-permasalahan konflik politik dan konflik masyarakat harus segera diredam dan dicari jalan keluar agar menemukan win win solution di antara konflik tersebut sehingga tidak berkelanjutan.

Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang merubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi manusia dimana manusia merubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi). Ada faktor yang menjadi acuan modernisasi industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik dan hukum yang menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga dengan sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung rendah biaya, memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan pekerjaannya
Dalam tahap industrialisasi ini ada beberapa permasalahan yang dapat dikemukakakan, yaitu :
1.      Urbanisasi
Terpusatnya tenaga kerja pada pabrik – pabrik di suatu daerah, sehingga daerah tersebut berkembang menjadi kota besar.
2.      Eksploitasi tenaga kerja
Pekerja harus meninggalkan keluarga agar bisa bekerja di mana industri itu berada
3.      Lingkungan hidup
Industrialisasi menimbulkan banyak masalah penyakit. Mulai polusi udara, air, dan suara, masalah kemiskinan, alat alat berbahaya, kekurangan gizi. Masalah kesehatan di Negara industri disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial politik, budaya dan juga pathogen
Proses industrialisasi bisa dipahami melalui konsep pembangunan, karena arti pembangunan dan industrialisasi seringkali dianggap sama. Konsep pembangunan bersifat dinamik, karena konsep itu bisa berubah menurut lingkupnya. Apabila pembangunan itu dihubungkan pada setiap usaha pembangunan dunia, maka pembangunan akan merupakan usaha pembangunan dunia. Industrialisasi sebagai proses dan pembangunan industri berada pada satu jalur kegiatan, yaitu pada hakekatnya berfungsi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat. Industrialisasi tidaklah terlepas dari upaya peningkatan mutu sumber daya manusia, dan pemanfaatan sumber daya alam
Proses industrialisasi merupakan langkah awal menuju modernisasi sistem politik yang berorientasi pada interaksi antara negara dan masyarakat. Pembangunan ekonomi yang dilakukan guna meningkakan kesejahteraan masyarakat suatu negara, cepat akan mendorong negara tersebut mengembangkan sistem politiknya sebagai sebagai sebuah kebutuhan mengamankan aset-aset ekonomi.
Pada tahap ini pemerintahan berfungsi untuk mendorong tumbuhnya industri dan modernisasi ekonomi yang dilakukan salah satu dari tiga tipe ideologis di dalam negara: borjuis, stalinis, dan fasis. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan.
Organzki juga menyebutkan tahap selanjutnya setelah tahap unifikasi tradisional yaitu negara masuk pada tahap ndustrialisasi, di mana negara mulai membangun dan berupaya memperkuat perekonomian dengan industrialisasi, pola pembangunan lewat industrialisasi merupakan pilihan yang ideal yang harus ditempuh, terutama oleh negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa Barat. Perkembangan ini ditandai oleh proses industrialisasi di Inggris. Abad ke 18 merupakan titik kemajuan proses industrialisasi di Inggris di mana ditemukan berbagai inovasi terutama inovasi teknologi yang mendorong ditemukan mesin-mesin industri pabrik. Pilihan melakukan industrialisasi merupakan yang terbaik karena keunggulan komparatif negara-negara barat terletak pada produk-produk industri dan teknologi. Politik industrialisasi secara implisit masih terjadi di Indonesia, di mana proses industrialisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung industri terus dilakukan, terlebih krisis yang melanda Indonesia tahun 1998 membuat Indonesia bertahan lebih lama di fase ini.
Fungsi primer pemerintah pada tahap industrialisasi adalah melindungi pengusaha yang memiliki modal untuk mempercepat laju industri, sedangkan dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, di mana fokus pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan.
Secara ekonomis, terjadi peningkatan modal di atas pertumbuhan penduduk. Kesempatan-kesempatan baru mulai tercipta, investasi meningkat, terjadi pergeseran sektor pertanian ke industrilalisasi. Prasarana transportasi lebih terbuka dan menjadi kebutuhan untuk melakukan kegiatan perdagangan. Secara sosiologis, masyarakat lebih terbuka melakukan komunikasi dengan pihak lain. Terjadinya interaksi sosial yang lebih luas, yang pada akhirnya melahirkan tuntutan baru non ekonomis, yaitu politik
Dalam tahap ini pemerintah lebih mengedepankan hak hak pengusaha dibanding dengan hak-hak pekerja karena memiliki tujuan untuk mendapatkan margin yang tinggi guna pengusaha atau investor tersebut menanamkan modalnya di Indonesia. Aturan-aturan hukum lebih condong kepada kepentingan pengusaha dan bukan berarti haknya buruh diabaikan. Setelah ini, maka akan banyak dan berkembangnya industri-industri yang tumbuh yang akan membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat luas yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Jika terjadi permasalahan antara investor dan buruh kerja, perlu adanya usaha musyawarah agar menghasilkan keputusan yang sifatnya win win solution bagi kedua belah pihak, dan jika tidak ditemukan kesepakatan  akan permasalahan tersebut, maka dalam tahap ini akan tetap lebih diutamakan kepentingan investor. Dalam tahap ini margin atau modal bagi perkembangan industrialisasi di sebuah negara sangat diperlukan.
Selain permasalahan ketenagakerjaan, urbanisasi pun bisa menjadi hambatan bagi perkembangan industri karena masyarakat primitif akan pidah ke tempat di mana industri-industri itu menjamur. Peran pemerintah adalah menciptakan industri-industri baru secara merata di setiap wilayah agar tidak terjadi kepadatan penduduk di suatu wilayah tertentu. Jika tidak diatasi permasalahan ini maka besar kemungkinan akan timbul permasalahan baru akibat tingginya peningkatan penduduk akibat urbanisasi secara sosial
Dalam tahap mini pun ada permasalahan serius yakni, akibat proses industrialisasi yang tentunya melahirkan industri-industri, akan berakibat terhadap pencemaran lingkungan setempat. Pemerintah harus memperhatikan kondisi tersebut. Mulai dari pembangunan awal industri dengan analisis dampak lingkungannya setelah itu proses penyaluran limbahnya yang diperhatikan dan akibat kerusakan lingkungan dari industri-industri tersebut karena walau bagaimanapun proses industri yang besar tanpa adanya perhatian terhadap lingkungan sekitar dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru yang lain seperti kerusakan lingkungan seperti lumpur Lapindo Brantas
Dalam tahap industrialisai kepentingan investor lebih diutamakan daripada kepentingan buruh. Maka untuk kepentingan investor itu tidak abaikan dibuatlah aturan-aturan hukum yang sifatnya lebih mengutamakan kepentingan investor terbut. Sebaiknya dalam tahap ini perlu diperhatikan pula hak-hak buruh agar tidak terjadi diskriminasi yang nantinya akan menimbulakn konflik anatara investor dan buruh. Jika investor sudah nyaman dengan kondisi politik dan hukum yang pro akan kepentingannya maka diharapkan para investor-investor tersebut akan mengeluarkan margin yang lebih besar untuk pembangunan industri yang lainnya. Dan jika pada tahap ini aturan hukum dan politik tidak pro terhadap kepentingan investor maka besar kemungkinan investor tersebut enggan menanamkan modalnya di sebuah negara.
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju 

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Negara memiliki kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya. Kekuasaan, dalam arti kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain, dalam ilmu politik biasanya dianggap bahwa memiliki tujuan demi kepentingan seluruh warganya. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang berperan sebagai penyelenggara negara adalah semata-mata demi kesejahteraan warganya.
Negara merupakan aktor pertama dan utama yang bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama memainkan peran distribusi sosial (kebijakan sosial) dan investasi ekonomi (kebijakan ekonomi). Fungsi dasar negara adalah mengatur untuk menciptakan law and order dan mengurus untuk mencapai welfare/kesejahteraan. Ada beberapa permasalahan ,mengenai negara kesejahteraan yakni : 
1.      Dalam mencapai welfare state di suatu negara mencakup daya politik warga negara, sejauhmana warga negara dan partai politik memiliki imajinasi dan cita-cita yang mampu mengatasi kebijakan yang domina selama ini.
2.      Erat kaitannya dalam mengemborkan walfare staat dari suatu negara, namun proses ini terkadang masih jauh dari harapan dan janji-janji kesejahteraan
Negara kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak warga negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik dan hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi. Hal sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dipenuhi pada abad ke-18, hak politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20. Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikan hak setiap warga sebagai alasan utama kebijakan sebuah negara. Negara, dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasar atas dasar kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas
Negara Kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Negara kesejahteraan merupakan buah dari integrasi ekonomi kapitalistik yang mencapai masa emas sejak akhir abad ke-19 dengan industrialisasi sebagai faktor pemicunya. Awalnya, kebijakan negara kesejahteraan ini merupakan upaya untuk mengendalikan ancaman mobilisasi politik dan gerakan radikal dari kelas pekerja baru yang terbentuk setelah industrialisasi sekaligus mengukuhkan kesetiaan kelas baru tersebut pada negara (nation state building)
Negara kesejahteraan hadir bukanlah sebagai satu entitas yang berwajah tunggal. Luas cakupan dan ragam kebijakan sosial yang diterapkan oleh masing-masing Negara kesejahteraan (welfare state). Setidaknya ada dua tipologi Negara kesejahteraan, yaitu residual welfare state dan institutional welfare state. Residual welfare state mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan berlaku, jika dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marjinal serta mereka yang patut mendapatkan alokasi kesejahteraan dari negara. Sedangkan institutional welfare state bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta terlembagakan dalam basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat
Negara kesejahteraan amat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada masing-masing negara (welfare regims). Pengaruh ini terjadi terutama terhadap kemampuan negara tersebut memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan melalui kebijakan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola intraksi dan saling keterkaitan dalam produksi dan alokasi kesejahteraan antar negara, rezim pasar dan keluarga/rumah tangga. Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia kesejahteraan dan tempat individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko sosial. Namun, tidak selamanya negara menjadi aktor tunggal dalam penyediaan kesejahteraan
Negara memperlakukan kebijaan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the granting of sosial right) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasarkan basis kewargaan (citizenship), bukan atas dasar kinerja atau kelas.
Dalam hal ini, Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan dengan menjadikannya sebagai hak warga yang diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan negara.
Dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, di mana fokus pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan.
Desentralisasi (politik, administratif dan fiskal) adalah penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumberdaya, keuangan dan tanggungjawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia mempunyai “tanggungjawab” mengurus barang-barang publik untuk dan kepada rakyat. Secara teoretis tujuan antara desentralisasi adalah menciptakan pemerintahan yang efektif-efisien, membangun demokrasi lokal dan menghargai keragaman lokal. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dari perspektif governance, misalnya, desentralisasi menyajikan janji perbaikan pelayanan publik dan pengurangan kemiskinan. Desentralisasi memperbaiki governance dan penyelenggaraan pelayanan publik dengan meningkatkan: (a) Efisiensi alokasi (allocative efficiency) melalui penyesuaian secara lebih baik pelayanan publik terhadap preferensi lokal dan (b) efisiensi produksi (productive efficiency) melalui peningkatan akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal kepada warga negara, birokrasi yang lebih ramping
Keduanya bisa dicapai antara lain melalui beberapa saluran. Pertama, mekanisme partisipasi warga terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan anggaran. Kedua, rencana pengelolaan sektor publik dan anggaran daerah yang meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas, misalnya kebijakan kepegawaian yang berbasis manfaat, program-program aksi yang konkret, serta peraturan maupun perencanaan yang meningkatkan akuntabilitas dan membatasi korupsi.
Pengurangan kemiskinan memerlukan pengembangan institusi, dan perubahan struktur politik, perbaikan tata pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat miskin. Desentralisasi mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua pendekatan yang luas ini. Desentralisasi mungkin memfasilitasi yang lebih efektif, seperti mempermudah penargetan daerah, memperkuat akuntabilitas birokrasi, dan peningkatan pengelolaan program pengurangan kemiskinan. Desentralisasi juga dapat menawarkan kerangka kerja legal dan bertindak sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan kemiskinan., seperti halnya desentralisasi meningkatkan kekuasaan politik (empowerment) rakyat miskin melalui partisipasi yang meningkat. Dengan demikian pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif, sekaligus partisipasi rakyat, merupakan dua kata kunci desentralisasi yang memungkinkan terjadinya proses pengurangan kemiskinan, termasuk agenda promosi kesejahteraan rakyat 
Jalan menuju kesejahteraan bisa ditempuh melalui tiga rute yang berbeda. Pertama, rute pelembagaan negara kesejahteraan (welfare state) dari aras nasional. Ide negara kesejahteraan tentu merupakan sebuah keniscayaan bagi Indonesia, mengingat ide itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para founding fathers dalam konstitusi. Kini kita butuh pembukaan, pendalaman, perluasan dan sampai pelembagaan ide, wacana dan aksi negara kesejahteraan, misalnya menjadi welfare state papers seperti halnya federalist papers di USA. Namun jalan menuju negara kesejahteraan akan berhadapan dengan dua hal besar: ideologi dan institusional. Secara historis negara kesejahteraan berakar pada ideologi demokrasi sosial (jika bukan sosialisme) yang mempromosikan kapasitas negara (yang kuat, aktif dan protektif tetapi tidak otoritarian) untuk memainkan peran-peran redistribusi sosial kepada warga.
Kedua, rute kapitalisme melalui pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran rakyat. Para pendukung rute ini berargumen bahwa rakyat bisa sejahtera apabila mereka sudah makmur. Rakyat yang makmur akan dengan mudah memperoleh akses atau mengadakan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, komunikasi, dan seterusnya, tanpa harus menunggu uluran tangan dari negara. Kemakmuran bisa dicapai melalui pertumbuhan ekonomi oleh kekuatan swasta atau dengan gerakan ekonomi rakyat. Pada skala mikro kemakmuran bisa dicapai bila setiap individu atau rumah tangga bekerja keras, belajar rajin, mengembangkan usaha ekonomi, memacu mobilitas sosial menjadi orang-orang kelas menengah. Argumen ini memang betul, dan banyak individu yang terbukti sukses melewati rute pertumbuhan, mobilitas dan kemakmuran kemudian kesejahteraan. Tidak sedikit orang desa yang semula hidup pas-pasan tetapi mereka berhasil karena mengembangkan usaha ekonomi atau karena mengenyam pendidikan tinggi. Tetapi rute kapitalisme ini tidak mampu memotong “lingkaran kemiskinan”. Lebih banyak orang miskin yang terbukti tidak mampu mengakses atau menempuh rute kapitalisme secara mandiri, sebaliknya mereka justru menjadi korban dari rute ini. Negara tentu tidak bisa membiarkan begitu saja rute kapitalisme berjalan secara alamiah yang menciptakan penindasan terhadap kaum miskin
Ketiga, promosi kesejahteraan dari bawah (daerah) melalui rute desentralisasi dan otonomi daerah. Pengalaman tujuh tahun desentralisasi memang menyajikan banyak ironi sehingga lebih banyak daerah di Indonesia yang tidak membuat aksi-aksi konkret untuk mempromosikan kesejahteraan, meski pejabat dan birokrat daerah sangat sadar bahwa tujuan akhir desentralisasi adalah untuk meningkatkan kesjehteraan rakyat. Akan tetapi dari waktu ke waktu, satu demi satu daerah tengah mengawal perubahan sehingga semakin banyak daerah yang secara inkremental dan konsisten mempromosikan kesejahteraan. Semakin banyak daerah yang melancarkan kebijakan pengurangan kemiskinan, pengembangan ekonomi lokal, perbaikan pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, administrasi) dan alokasi dana desa (ADD) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meski belum radikal dan masih bersifat parsial, semakin banyak daerah yang mampu mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan rakyat, memperbaiki kualitas dan akses orang miskin pada pelayanan publik, serta meningkatkan kapasitas otonomi desa. Semua ini tentu tidak berjalan secara alamiah, tetapi membutuhkan komitmen elite lokal, reformasi birokrasi dan anggaran daerah, serta partisipasi masyarakat. Jika ketiga hal ini terus berkembang secara konsisten dan berkelanjutan, maka kesejahteraan rakyat akan tumbuh dengan menggembirakan di masa-masa yang akan datang.



           

Jumat, 02 Desember 2011

Konsep Khulu "Talak Tebus" Menurut Fiqih

A.          Pengertian Khulu dan Tujuannya
1.      Pengertian khulu
Sebelumnya datangnya Islam, Orang-orang Arab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka dikendalikan oleh kebiadaban, dinaungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada undang-undang yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi.[1] Perempuan yang berada di belahan bumi Arab dan yang lainnya tidak dapat meraih hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Bahkan mereka selalu disingkirkan, tidak ada satupun yang dapat menjaga kehormatan dan merasakan jeritan hati mereka. Padahal unsur tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan seorang perempuan, sehingga mereka dapat kehilangan kepribadiannya hanya karena hal tersebut. Hal ini disebabkan karena dalam masyarakat Arab yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi rendah.[2] Ketika Islam datang ke dunia ini, ia telah mengangkat posisi perempuan ke derajat yang lebih tinggi, memberikan kebebasan, kehormatan dan hak pribadinya secara merdeka.[3]
Pada zaman Jahiliyyah suami berhak menceraikan isterinya dengan tidak ada batasnya meskipun sudah menceraikannya seratus kali, selama si isteri berada pada masa iddah. Mereka tidak mengenal perikemanusiaan atau keadilan dalam memperlakukan isteri-isterinya. Sampai datangnya Nabi Muhammad SAW yang sama sekali tidak menyutujui kebiasaan perceraian tersebut. Beliau menghilangkan kebiasaan ini secara bertahap karena kebiasaan ini telah mendarah daging di zaman jahiliyah. Hukum Islam memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan isterinya dengan jalan talak.[4]
Khulu menurut bahasa, dari kata  خَلَعَ – يَخْلَعُ - خُلْعًا yang berarti melepaskan atau menanggalkan pakaian,[5] atau بِمَعْنَي خَلَعَ الشَيْءُ خَلَعًا yang berarti menanggalkan ia akan sesuatu.[6]
Sedangkan khulu menurut istilah, adalah menebus isteri akan dirinya kepada suaminya dengan hartanya maka tertalaklah dirinya[7]
Abu Zahrah mendefinisikan bahwa khulu mempunyai dua arti yaitu am dan khas. Khulu dalam arti umum adalah talak atas harta istri untuk menebus dirinya yang diserahkan kepada suaminya baik dengan lafazh khulu atau lafazh mubaro’ah atau dengan lafazh talak. Pengertian ini banyak digunakan oleh ulama kontemporer. Adapun khulu dalam arti khas adalah talak tebus dengan lafazh khulu, pendapat ini banyak digunakan oleh ulama salaf [8]
Khulu dapat juga berarti fida atau tebusan, karena isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan atau imbalan.[9] Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَاْخُذُوْا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْءً أَلاَّ أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلّّئكَ هُمُ الَظِلمُوْنَ
Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Menurut Al-Malibariy, khulu adalah perceraian dengan tebusan dari pihak isteri diberikan pada pihak suami, dengan memakai kata talak atau khuluk atau tebusan.[10]
Khulu adalah jalan keluar bagi isteri yang tidak menyukai suaminya dengan alasan selain yang biasa melahirkan fasakh, isteri memberikan semacam ganti rugi (iwadh) atas pemberian suami seperti mahar, nafkah, dll, agar suami bersedia dengan rela hati menjatuhkan talak kepadanya.[11]
Sedangkan menurut pasal 1 KHI poin i disebutkan bahwa khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan iwadh atau tebusan kepada dan atas persetujuan suami.[12]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa khulu adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
2.      Tujuan khulu
Al-Jurzawi[13] menuturkan: Khulu sendiri sebenarnya dibenci oleh syari’at yang mulia seperti halnya talak. Semua akal dan perasaan sehat menolak khulu, hanya Allah SWT saja Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hukum-hukum Allah SWT. Maksudnya Hikmah khulu untuk menghindari bahaya, yakni saat terjadinya pertengkaran hebat yang menimbulkan gejolak dalam hubungan suami isteri hingga keduanya tidak bisa disatukan lagi dalam ikatan rumah tangga maka khulu diperbolehkan. Hal ini agar keduanya tetap berjalan dalam kehidupan masing-masing dan menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah[14]
Penjelasannya, kalau terjadi perselisihan antara suami isteri, maka perselisihan itu menyebabkan masing-masing ingin berpisah dari yang lain. Mungkin isteri sudah tidak kuat lagi bergaul dengan suaminya dan ingin berpisah. Maka tiada jalan penyelamat kecuali dengan khulu, yaitu dengan membayar sejumlah uang agar suami mentalaknya sehingga dia selamat dari beban perkawinan, kalau suaminya mau mengabulkan permintaan isteri tersebut.
Karena isteri punya hak mas kawin dengan ganti menyerahkan dirinya kepada suami, maka sekarang haknya yang digunakan untuk menebus dirinya mengambil hak dari suami kepada suami. Allah mengingkari perbuatan itu dengan firmanNya Surat An-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَي بَعْضُكُمْ أِلَي بَعْضٍ وَأَخَذْ نَ مِنْكُمْ مِيْثَاقًا غَلِيْظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

            Hikmah yang terkandung didalamnya sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menolak bahaya yaitu apabila perpecahan suami isteri telah memuncak dan di khawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami isteri, maka khulu dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya pernusuhan dan untuk menegakan hukum-hukum Allah SWT. Oleh karena itu, Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 229:
÷ فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلّّئكَ هُمُ الَظِلمُوْنَ

Artinya:Kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.”

            Sejumlah besar ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu kecuali terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak isteri. Sedangkan Syafi’i berpandangan bahwa khulu itu boleh dalam kondisi perselisihan dan keharmonisan. Namun khulu dalam kondisi pertama adalah lebih utama dan sesuai dengan yang ia pilih.[15]
B.           Dasar Hukum Khulu
Adapun dasar diperbolehkannya khulu adalah
1.      Ayat Al-Qur’an
a.       Surat Al-Baqarah ayat 229:
فَأِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَ تْ بِهِ تِلْكَ حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَأُوْلّّئكَ هُمُ الَظِلمُوْنَ
Artinya: “jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

b.      Surat An-Nisa ayat 4:
وَءَاتُوْ النِّسَاءَ صَدَقَتِهِنَّ نِحْلَةً فَأِنْ تِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

c.       Surat An-Nisa ayat 19:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوْا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ فَأِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَي أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

d.      Surat An-Nisa ayat 21:
وَكَيْفَ تَأخُذُوْنَهُ وَقَدْ أَفْضَي بَعْضُكُمْ أِلَي بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيْثَاقاً غَلِيْظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”

2.      Hadits Nabi Muhammad SAW
a.       Dari Ibnu Abbas RA sesungguhnya Jamilah binti Salul datang kepada Nabi lalu berkata: “Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak ada cacat dalam ahklak dan agamanya, akan tetapi saya tidak mau kufur dalam Islam”. Maka bersabda Rasul: “Dapatkah kamu mengembalikan kebunnya?” maka menjawab wanita itu: “ya, maka memerintahkan Rasul untuk mengambil kebunnya[16]
b.      Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya isteri Tsabit datang kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mengumpulkan kembali antara kepalaku dan kepala suamiku untuk selama-selamanya. Sebab aku tahu bahwa dia adalah orang yang paling jelek kepribadiannya dan berkulit sangat hitam, sangat pendek dan wajahnya tidak menguntungkan sama sekali.”[17]
c.       “Sesungguhnya isteri Tsabit bin Qais melakukan khulu dari suaminya, dan Nabi memerintahkan isteri Tsabit tersebut untuk melaksanakan iddah dengan satu kali haid.” (H. R. Abu Dawud dan Tirmizi)[18]
d.      Dari Sahal bin Abi Hastmah, bahwa isteri Tsabit adalah orang yang pertama melakukan khulu di dalam Islam.[19]
e.       Isteri kedua dari Tsabit bernama Habibah binti Sahl Al-Anshariyah, pada suatu ketika dipukul oleh suaminya sehingga mengalami patah tulang. Oleh sebab itu Habibah menghadap kepada Rasulullah pada waktu beliau melakukan shalat subuh untuk mengadukan peristiwa yang dialaminya. Ia mengeluh kepada Nabi SAW dan beliau mengatakan kepada Tsabit untuk mengambil sebagian dari apa yang telah diberikannya kepada Habibah dan menceraikannya.[20]
f.       Khulu pun terjadi pada masa Umar bin Khattab, seorang wanita yang menentang suaminya, maka Umar memenjarakan wanita tersebut dalam tempat yang banyak kotorannya kemudian ia dipanggil dan ditanya “bagaimana keadaanmu?” jawab wanita itu “belum pernah aku senang sejak aku bertemu dengan dia (suaminya), kecuali semalam ini di tempat engkau penjarakan aku”. Maka khalifah Umar berkata kepada suaminya: ”Lepaskanlah dia walau hanya menebus dirinya dengan anting-antingnya”.[21]
g.      Dari Rubayyi binti Muawwidz, bahwa sesungguhnya ia pernah menebus dirinya (membayar khulu) di masa Nabi SAW. Kemudian Nabi menyuruh dia supaya beriddah sekali haidh. (HR. Tirmizi) dan ia berkata: hadis Rubayyi ini sah.[22]
bahwa khulu pernah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Shan’ani bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya. Firman Allah dan Hadits Rasulullah SAW tersebut diatas menjadi dalil disyari’atkannya khulu dan sahnya khulu terjadi dengan suami isteri.[23]
Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat, seperti suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan lain-lain. Dalam hal seorang wanita atau isteri meminta cerai tanpa alasan atau dicari-cari, maka diharamkan untuknya bau syurga. Sesuai dengan hadits Nabi SAW:
قَالَ رَسُوْْلُ اللهِ صَ مَ : اَيُّمَا امْرَءَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَلاقَ غَيْرُ مَا بَأْسَ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَاءِحَةُ الجَنَةِ[24]
Artinya: “Dari Tsauban, Rasul SAW bersabda: “Siapapun perempuan yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau syurga”.

Berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan pengadilan dalam menangani kasus khulu. Sehingga untuk melindungi hak wanita dalam perkawinan, pemberian hak khulu kepada wanita sangat diperlukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
C.           Rukun Dan Syarat-Syarat Khulu
Rukun secara bahasa, رُكْنٌ ج اَرْكَانٌ  artinya tiang, pihak yang kuat atau juzu’.[25]
Sedangkan rukun menurut istilah adalah bagian yang harus terpenuhi yang batal jika tidak terpenuhi.
Syarat menurut bahasa, شَرْطٌ ج شُرُوْطٌ yang berarti menentukan.[26]
Sedangkan syarat menurut istilah adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak ada syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.[27]
Adapun rukun  dan syarat khulu sebagai berikut:
1.      Harta atau Barang yang dipakai untuk khulu
Dalam hal ini, syarat khulu bisa dilihat dari segi:
a.       Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu
Imam Malik, Syafi’i dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa seorang isteri boleh melakukan khulu dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika kedurhakaan itu datang dari pihaknya, atau juga memberikan yang  sebanding dengan mahar atau lebih sedikit. Akan tetapi segolongan ulama di antaranya Imam Ahmad, Abu Ubaid dan Ishak bin Rawaih berpendapat bahwa tidak boleh suami menerima tebusan isteri (yang melakukan khuluk) lebih dari mahar yang diberikan dahulu. Yang demikian ini juga pendapat dari Sa’id bin Musayyab, Atha, Amar bin Syua’ib, Az Zuhri dan Rabi bin Anas.[28] Hal ini sesuai dengan hadits Nabi :
جَاءَتْ اِمْرَءَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ بْنِ شَمَّاسِ ِالَي رَسُوْلِ اللهِ صَ مَ. فَقَالَتْ :يَارَسُوْلَ اللهِ مَا اَعْتَبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ وَلَكِنْ اَكْرَهُ الكُفْرُ فِيْ اللاِسْلامِ. فَقَالَ رَسُوْلُ .اَتُرِدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ :نَعَمْ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : اِقْبَلِ الحَدِيْقَةَ وَ طَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً[29]
Artinya: “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi. Sambil berkata, “wahai Rasul! Aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tetapi aku tidak ingin mengingkari ajaran Islam. Maka jawab Rasul, “Maukah kamu kembalikan kebunnya” jawabnya, “mau. “Maka Rasul bersabda, “terimalah Tsabit kebun itu dan talak lah ia satu kali.”


Bagi para fuqaha yang mempersamakan kadar harta dalam khulu dengan semua pertukaran dalam mu’amalat, maka mereka berpendapat bahawa  kadar harta itu didasarkan atas kerelaan. Sedangkan fukaha yang memegang hadits secara zhahir di atas, maka mereka tidak membolehkan pengambilan harta yang lebih banyak dari pada mahar. Mereka seolah-olah menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan harta tanpa hak.[30]
Bentuk barang ganti rugi menurut imam mazhab, bahwa semua barang yang dapat dijadikan mas kawin, boleh pula dijadikan tebusan itu harus diketahui secara rinci manakala benda-benda tersebut cenderung biasa diketahui dengan mudah.[31] Jika isteri melakukan khulu tanpa iwadh maka khulunya tidak sah karena sesungguhnya suami tidak mempunyai hak fasakh tanpa alasan-alasan yang diperbolehkan atau isteri melakukan khulu dengan memberikan iwadh berupa barang-barang yang diharamkan dalam syariat Islam, seperti: khamar, babi atau barang ghasab ‘colongan’ maka khulu nya tidak sah.[32]
Dan tidak sah melakukan khulu tanpa menyebutkan iwadh.[33] Seperti kamu aku talak dengan uang 1000 maka bukan khulu tetapi talak raj’i sebab khulu perlu adanya qabul.
b.      Sifat harta pengganti
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah mensyaratkan bahwa harta tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan Imam Malik membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan wujudnya, serta harta yang belum ada. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya kemiripan harta pengganti (khulu) dengan harta pengganti dalam hal jual beli, barang hibah atau wasiat. Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu dengan jual beli dan harta pengganti dalam jual beli. Sedang bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu dengan hibah, mereka tidak menetapkan syarat-syarat tersebut. Tentang khulu yang dijatuhkan dengan barang-barang, seperti minuman keras, fuqaha berselisih pendapat: apakah isteri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sepakat bahwa talak itu dapat terjadi. Imam Malik menyatakan bahwa isteri tidak wajib menggantinya. Demikan juga pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i  berpendapat bahwa isteri wajib mengeluarkan mahar mitsil.[34]
c.       Keadaan yang dapat dan tidak dapat untuk menjatuhkan khulu
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami isteri, selama hal itu tidak merugikan pihak isteri. Berdasarkan fiman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 19:
 وَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضٍ مَّا ءَاتَيْتُمُوْهُنَّ أِلاَّ أَنْ يَأتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Artinya: “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”

Abu Qilabah dan Hasan Basri berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu atas isterinya, kecuali jika ia melihat isterinya berbuat zina. Karena mereka mengartikan bahwa “keji” dalam ayat diatas adalah zina[35]
Daud berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu kecuali bila ada kekhawatiran bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan ayat diatas tersebut secara zhahir. Adapun An-Nu’man mengatakan bahwa khulu dapat dijatuhkan meskipun merugikan. Berdasarkan aturan fikih, tebusan itu diberikan kepada isteri sebagai imbangan talak yang dimiliki suami. Oleh karena itu, talak diberikan kepada suami jika ia membenci isteri, maka khulu diberikan kepada isteri jika ia membenci suami. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara keduanya.[36]
2.      Isteri sebagai penuntut khulu
Para fuqaha sepakat bahwa isteri yang mengajukan khulu kepada suaminya itu  wajib sudah baligh dan berakal sehat. Mereka juga sepakat bahwa isteri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan khulu tanpa ijin walinya.[37] Sedangkan budak tidak boleh mengadakan khulu untuk dirinya kecuali dengan seizin tuannya.[38] Sedangkan menurut Imam Malik apabila isteri masih anak-anak maka boleh bagi sang ayah atau walinya meminta khulu dari suaminya. Sedangkan Imamiyyah menentukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu, hal-hal yang mereka syaratkan dalam talak, misalnya si wanita harus dalam keadaan suci dan tidak dicampuri menjelang khulu manakala dia sudah pernah dicampuri dan bukan wanita yang sedang memasuki masa monopause dan hamil atau berusia di bawah sembilan tahun. Mereka juga mensyaratkan adanya dua orang laki-laki yang adil.[39] Kemudian timbul perbedaan pendapat berkenaan dengan anak lelaki yang masih dibawah umur. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengadakan khulu atas namanya, karena itu seorang ayah tidak boleh menjatuhkan talak atas namanya juga.[40]
Selanjutnya Imam Syafi’i berkata khulu dalam keadaan sakit maupun sehat hukumnya boleh sebagaiamana jual beli dalam keadaan keduanya itu. Apabila isteri mengadakan khulu sebesar mahar mitsilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta tersebut diambil dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari mahar mitsil, maka tambahan tersebut harus dari sepertiga dari harta pokok.[41]
3.      Sighat khulu
Para ahli fikih berpendapat bahwa khulu harus diucapkan dengan kata khulu atau lafadz yang diambil dari kata dasar khulu atau kata lain yang mempunyai arti seperti itu, seperti mubara’ah (berlepas diri) atau fidyah(tebusan).[42] Contoh sighat khulu  “khuluklah aku dengan 10000” atau “lepaskan aku dengan uang 10000” maka suami berbuat dan kemudian mendapat 10000 dari isterinya. Namun jika tidak dengan kata khulu atau kata lain yang sama maksudnya, misalnya suami berkata kepada isterinya “engkau tertalak sebagai imbalan dari pada barang atau uang seharga sekian”, lalu isterinya mau menerimanya. Maka pernyatan ini adalah talak dengan imbalan harta bukan khulu.
Hanafi mengatakan khulu boleh dilakukan dengan menggunakan redaksi al-bai (jual beli), misalnya suami mengatakan kepada isterinya “saya jual dirimu kepadamu dengan harga sekian” lalu isterinya menjawab “saya beli itu” demikian pula Syafi’i berpendapat bahwa boleh melakukan khulu dengan redaksi al-bai (jual beli).[43]
khulu dan talak adalah sah tanpa lafazh bahasa Arab menurut kesepakatan ulama. Telah menjadi maklum bahwa tidak ada di dalam bahasa asing lafazh perceraian dengan tebusan antara khulu dan talak. Akan tetapi yang membedakan keduanya adalah yang khusus bagi khulu yaitu menyertakan tebusan dan permintaan perempuan untuk talak.[44]
Dan adapun khulu dapat terjadi dengan lafazh talak yang sharih atau kinayahnya. Adapun maksudnya talak di sini adalah talak bain karena isteri menyerahkan tebusan atau iwadh untuk memiliki dirinya sendiri. Dan jika terjadi khulu dengan lafazh khulu atau fasakh atau fida’ dan tidak berniat menalaknya maka jatuhlah fasakh terhadapnya yang tidak mengurangi bilangan talaknya.[45] Sebagaimana firman Allah SWT:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَأِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحُ بِأِحْسَانٍ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Ibnu Qayyim menyangkal pendapat tersebut, katanya:“ barangsiapa yang hendak memikirkan hakikat dan tujuan dari akad atau perjanjian bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja, tentu akan menganggap khulu sebagai fasakh, bila diucapkan dengan kata apapun, sekalipun dengan kata “talak.” Pendapat ini merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam Ahmad. Juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata “Barang siapa yang hanya melihat dan berpegang kepada lafal-lafal saja, dan   meperhatikannya pula bagaimana adanya dengan hukum akad, tentu ia akan menentukan lafal “talak untuk “talak” saja.[46]
Imam Malik berpendapat bahwa syarat sighat khulu itu ada 3 yaitu:
·         Harus diucapkan, menggunakan kalimat yang menunjukan atas talak baik kata-kata sharih atau kinayah, apabila hanya perbuatan yang menunjukan atas talak tanpa diucapkan maka tidak jatuh khulu atasnya.
·         Qabul dalam satu majelis
·         Mengucapkan ijab dan qabul harus sesuai dengan kadar hartanya, “aku talak kamu dengan 300” kemudian dijawab saya, “terima 300 itu.”[47]
D.          Akibat Hukum Khulu
1.      Dampak / akibat hukum khulu
Dalam hal akibat khulu, terdapat persoalan apakah perempuan yang menerima khulu dapat diikuti dengan talak ataun tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa khulu itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan dapat diikuti tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan dengan segera atau tidak. Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu ia tidak membolehkan seorang menikahi perempuan yang saudara perempuannya masih dalam iddah talak bain. Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, mereka berpendapat bahwa khulu tersebut dapat diikuti dengan talak. Sedang fukaha yang berpendapat demikian, mengatakan bahwa khulu tersebut tidak dapat diikuti dengan talak. [48]
Persoalan yang lain adalah jumhur fuqaha sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan isterinya yang di khulu pada masa iddah dengan persetujuannya. Sedangkan fuqaha mutaakhirin tidak membolehkan. Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang iddah wanita yang di khulu apabila terjadi persengketaan antara suami isteri berkenaan dengan dengan kadar harta yang dipakai untuk terjadinya khulu. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami jika tidak ada saksi. Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedua suami isteri saling bersumpah, dan atas isteri dikenakan mahar mitsil. Beliau mempersamakan persengketaan antara suami dengan persengketaan antara dua orang yang jual beli. Adapun Imam Malik memandang isteri sebagai pihak tergugat dan suami sebagai penggugat.[49]
2.      Kedudukan Khulu
Menurut mazhab Umar, Ustman dan Ali RA dan jumhur fuqaha, bahwa khulu termasuk talak, seperti halnya pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzanniy mempersamakan khulu dengan talak. Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa khulu termasuk fasakh di dalam qaul qadimnya.[50] Demikian juga pendapat Imam Ahmad dan Daud, serta Ibnu Abbas dari kalangan sahabat. Imam Syafi’i juga meriwayatkan bahwa khulu merupakan kata sindiran. Jadi jika dengan kata kinayah tersebut menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Akan tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khulu itu adalah talak.[51]
Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa khulu adalah terbagi dua lafazh yaitu Sharih dan kinayah. Lafaz sharih menjadikannya sebagai talak bain tanpa niat karena apabila suami dapat merujuk isterinya pada masa iddah maka penebusannya tidak berarti lagi, sedangkan kinayah  jatuh talak bain dengan disertai niat.[52] Abu Tsaur berpendapat, apabila khulu tidak menggunakan kata-kata talak, maka suami tidak dapat merujuk isterinya. Sedang apabila khulu menggunakan kata talak, maka suami dapat merujuk isterinya. Fuqaha yang menganggap khulu sebagai talak mengemukakan alasan bahwa fasakh itu merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendaknya. Sedang khulu ini berpangkal pada kehendak ikhtiyar. Oleh karena itu khulu bukan fasakh. Fuqaha yang tidak menganggap khulu sebagai talak mengemukakan alasan bahwa dalam Al-Qur’an mula-mula Allah SWT menyebutkan tentang talak, maka firmannya, “Talak yang dapat dirujuk dua kali”. Kemudian Allah menyebutkan tentang khulu dengan firmannya, “Jika si suami mentalaknya (sesudah taklak yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah lagi dengan suami yang lain.”(Al-Baqarah: 230). Jika tebusan tersebut adalah talak, berarti isteri tidak halal lagi bagi suami kecuali bila ia sudah menikah lagi dengan suami yang lain, menjadi talak yang keempat.[53]
Adapun fuqaha yang menentang pendapat ini mengatakan bahwa ayat di atas memuat kedudukan tebusan sebagai sesuatu yang dipersamakan dengan talak, bukan hal yang berbeda dengan talak.  Kesimpulannya Jadi perbedaan pendapat tersebut disebabkan, apakah berkaitannya harta pengganti pada pemutusan ikatan perkawinan karena talak kepada jenis pemutusan perkawinan karena fasakh, atau tidak dapat.[54]
Dalam kompilasi Pasal 119 disebutkan:[55]
1.      Talak bain sughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
2.      Talak bain sughraa sebagaimana tersebut pada ayat 1 adalah :
a.       Talak yang terjadi qabla dukhul
b.      Talak dengan tebusan atau khulu
c.       Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama


[1] Syekh Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 1996), h. 13.

[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 11.

[3] Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih perempuan, muslimah, (Jakarta: AMZAH, 2005), H. 109.

[4] Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 220.

[5] A. W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. 14, h. 361.

[6] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, (Surabaya: Hidayah, 2000), jilid. 1, h. 184.

[7] Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadist, 2003), jilid 3, h. 182

[8] Muhammad Abu Zahrah, Ahwal Syahkshiyyah, (Kairo: Daar el-Fikri, 2005), h. 329.

[9] H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), cet. 1, h. 95.

[10] Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibariy, Fathul Mu’in Syarah Qurrot el-Aini, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, 1997), h. 111.

[11] Abdul Wahhab Muhaimin, “Kajian Ayat-Ayat Hukum Wanita Dalam Perkawinan Dan Perceraian”,  Jurnal Ahkam, no 4 (Maret1998), h. 44.

[12] Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia, h. 113.

[13] Ali Ahmad Al-Jurzawi, Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuh, (Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo Dan Sabahus Surur, (Semarang: CV As-Syifa, 1992), h. 320.

[14] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2006), h. 379

[15] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, h. 376.
[16] Abu Abdullah Muhammad bi Yazid Al-Qazwaini ‘Ibnu Majah’, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Daar el-Fikri, tth, ), h. 663

[17] Ismail Kahlaniy, Subulus Salam, , (Mesir: Daar el-Salam, tth), H. 168. Liat juga : Abu Abdullah Muhammad bi Yazid Al-Qazwaini ‘Ibnu Majah’, Sunan Ibnu Majah, h. 222

[18] Isa Muhammad bin Isa bin Surah ‘Turmuji’, Sunan Tirmiji, (Beirut, Daar el-Fikri, tth), h, 401.

[19] Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Bulugul Maram, (Surabaya: Daar el-Ilmi, tth), h. 223.

[20] Ala’u Diin Ali bin Balban Al-Farisi, Shahih Ibnu Hibban, (Beirut: Ar-Risalah 1997), Juz 10, h. 110

[21] Ibnu Hajar Asqalani, Fath el-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Daar el-Kutub el-Islamiyyah, 2003), juz 9, h. 496

[22] Abu daud Sulaiman bin Asy’ats Al-Sajastani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar el-Fikri, tth), juz 2, h. 245
[23] Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, h. 221

[24] Zalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-suyuthi, Jamie el-Shagir Fi Ahadis Basyir el-Nazir, (Kairo: Darr el-Katib el-Arabi, 1967), h. 106.

[25] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, h. 248.

[26] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, h. 318.

[27] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 75.

[28] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), cet1, h. 310. Lihat juga Ibnu Arabi, Ahkamul Qur’an, (Beirut: Daar el-Fikri, tth), jilid 1, h. 265

[29] Abu Abdullah Muhammad bi Yazid Al-Qazwaini ‘Ibnu Majah’, Sunan Ibnu Majah,  h. 663

[30] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, (Beirut: Darr el-Fikri, tth), jilid 2, h. 51.

[31] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2008),  h. 457. lihat juga: Abdurrahman Al-Zajairy, Al-fiqh Ala Mazahib el-Arba’ah, (Beirut: Daar el-Fikri, 2003), jilid 4, h. 315.

[32] Syaikh Mansur Bin Yusuf Al-Bahutiy, Ar-Raudah el-Murabbah Syarah Zaadul Mustaqniy Fi Ihktishari el-Mukniy, (Beirut: Daar el-Fikri, 1990), h. 358.

[33] Abu Ishak Syairazi, At-Tanbih, (Beirut: Daar el-Fikri, 1996), h. 152.
[34] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, jilid 2, h. 51.

[35] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid,  jilid 2, h. 51.

[36] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid,  jilid 2, h. 51.

[37] Muhammad Jawad Mughniyyah , h. 460.

[38] Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 91.

[39] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, H. 462.

[40] Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, h. 92  lihat juga: Abu Ishak Syairazi, At-tanbih, h. 152.

[41] Imam Syafi’i, Al-umm, (Beirut, Daar el-Fikri, 2002), jilid 3, h. 222.

[42] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1978), jilid 7, h. 101.

[43] Muhammad Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Mazhab, h. 463.

[44] Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 262.

[45] Syaikh Mansur Bin Yusuf Al-Bahutiy, Ar-Raudoh el-Murabbah Syarah Zaadul Mustaqniy Fi Ihktishari el-Mukniy, h. 358.
 
[46] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 93.

[47] Abdurrahman Al-Zajairy, Al-fiqh Ala Mazahib el-Arba’ah, jilid 4, h. 325.
[48] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 95.

[49] Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, jilid 2, h. 52.

[50] Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi Fiqh Mazhab Imam Syafi’I, (Beirut: Daar el-Fikri, 2004), h. 276.

[51] Imam Syafi’i, Al-umm, jilid 3, h. 220.

[52] Abdurrahman Al-zajairy, Al-fiqh Ala Mazahib el-Arba’ah, jilid 4, h. 328.

[53] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 94.

[54] Slamet Abidin, Fikih Munakahat, h. 94.

[55] Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia, h. 142.