ahmad syahrus sikti
ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru
Minggu, 22 Januari 2012
Membongkar Cadar Hukum Perjanjian Perkawinan di Indonesia
Membongkar cadar hukum perjanjian perkawinan merupakan salah satu buku hukum perkawinan yang telah terbit di pasaran. Buku ini dapat dijadikan referensi bagi akademisi maupun praktisi. buku karya Ahmad Syahrus Sikti,S.HI yang merupakan Calon Hakim Agama tahun 2010 ini merupakan buku perdana yang dtulisnya semoga buku perdana ini bermanfaat bagi masyarakat luas
Selasa, 17 Januari 2012
IHDAD "MASA BERKABUNG"
A. Pengertian Ihdad
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, ihdad berasal dari kata أَحَد َّّ dan biasa pula disebut الحِدَّةُ yang diambil dari kata حدُِّ Secara bahasa mereka mengartikan ihdad dengan المَنْعُ yang berarti cegahan atau larangan.
Secara bahasa Ihdad berasal dari kata حَدَّ- يَِحِدُّ بِمَعْنَي وَحَدَّ المَرْأَةُ yang berarti tidak bersolek atau tidak berhias karena kematian suami.
Ihdad berasal dari suku kata حِدَادٌ yang berarti menanggalkan berhias karena duka cita.
Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti larangan yang memberikan hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian menurut Ibnu Dusturiyah. sedangkan Al-Farra mengatakan “disebut juga sebagai besi karena kekuatan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah lain.
Ihdad dalam kamus Istilah Fiqih yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah: empat bulan sepuluh hari, dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa. Sedangkan menurut Ibnu Mansur, Ihdad adalah menanggalkan berhias dan bersolek untuk mempercantik diri. Ihdad artinya perkabungan perempuan yang kematian suami.
Dari definisi yang dikemukakan diatas terlihat bahwa pakaian yang dicelup warna baik pencelupan itu dilakukan ketika masih dalam bentuk kain, atau sudah menjadi pakaian, atau bahkan yang masih dalam bentuk benang sekalipun, tidak diperbolehkan dipakai dalam masa iddah kematian.
Dr. Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi ihdad:
تَرْكُ الطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ وَالكُحْلِ وَالدُهْنِ المُطِيْبِ وَغَيْرِ المُطِيْبِ
Artinya: Meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan ataupun tidak.
Selanjutnya Dr. Wahbah az-Zuhaili menegaskan yang dimaksud dengan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu wanita yang sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.
Sayid Sabiq juga memberikan definisi senada tentang ihdad. Menurutnya ihdad adalah:
تَرْكُ مَا تَزَيَّنَ بِهِ المَرْأَةُ مِنَ الحُلْيِ وَالكُحْلِ وَالحَرِيْرِ وَالطِّيْبِ وَالخِضَابِ
Artinya: Meninggalkan bersolek seperti memakai perhiasan, celak mata, pakaian sutra, wangi-wangian dan inai.
Al-Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa ihdad menurut istilah adalah
وَ عَلَي المُتَوَفَّي عَنْهَا زَوْجُهَا الحِدَادُ وَهُو الأمْتِنَاعُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالطِّيْب ِ
Artinya: ihdad adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.
Hal ini diwajibkan atas seorang istri yang ditinggal mati suaminya, selama masa iddah dengan maksud untuk menunjukan kesetiaan dan menjaga hak-hak suami.
Sekalipun rumusan redaksional beberapa definisi diatas berbeda, namun inti pokoknya sama, yaitu masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dalam masa itu ia tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya. Dan tidak boleh juga bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan. Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami.
Jika kita lihat arti kata berhias dalam kamus besar bahasa Indonesia, maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki, atau menjadikan baik (rapi). Ibnu Jarir At- Thabari, mengartikan perhiasan adalah wajah dan dua telapak tangan, juga termasuk yang ada pada keduanya seperti celak, cincin, gelang dan khidab (pewarna tangan).
Wajah dan dua telapak tangan merupakan bagian anggota tubuh wanita yang tidak tertutup yang dalam hal ini bukan termasuk aurat menurut sebagian ulama, yang pada kebanyakan wanita memperindah bagian tubuh tersebut dengan perhiasan seperti celak, cincin, gelang, dan sebagainya.
Sedangkan untuk kondisi zaman yang semakin modern dengan teknologi yang semakin canggih, dapat membuat seluruh tubuh wanita dari ujung rambut sampai ujung kaki merupakan bagian yang dapat diperindah, sehingga makna berhias dan bentuk perhiasan menjadi semakin luas.
B. Dasar Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi sepakat pendapatnya mengatakan bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita muslimah yang merdeka, selama masa iddah kematian suami. Adapun landasan hukum disyariatkannya ihdad adalah sebagai berikut:
1. Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 yang artinya
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Q.S (Al-Baqarah) :234
2. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ زَيْنَب بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ قَالَتْ : دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيْبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ، قَالَتْ زَيْنَبُ سَمِعْتُ أُمِّي أُمِّ سَلَمَةَ تَقُوْلُ : جَاءَتْ امرَأَةٌ إِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَّتْ عَيْنَاهَا أَفَتَكْتَحِلُهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ لاَ ( مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذلِكَ يَقُوْلُ لاَ ) ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا هِى أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (رواه مسلم )
Artinya: Dari Zainab binti Abi Salamah r.a. berkata: Dia datang ke rumah Ummu Habibah, Istri Nabi saw. Kata Zainab, aku mendengar Ummu Salamh menceritakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. Kemudian bertanya, wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karna sakit kedua matanya , bolehkah ia memakai celak untuk kedua matanya? Rasulullah menjawab, tidak boleh. Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. Setiap perkataannya tersebut dikatakannya tidak boleh. Kemudian beliau bersabda, sesungguhhnya ‘iddah wanita itu empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim).
3. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ حَبِيْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا أَرْبَعَةَ أَشَهُرٍ وَعَشْراً (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Ummu Habibah r.a. katanya: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak diperbolehkan berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari. HR. al- Bukhari dan Muslim)
4. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُحِدَّ إِمْرَأَةً عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَتَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا، إِلاَّ ثَوْبَ عَسْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلْ، وَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا إِلاَّ إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَو أَظْفَارٍ، متّفق عليه. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ. وَلأَبِي دَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ مِنَ الزِّيَادَةِ (وَلاَتَحْتَضِي) (رواه النسائ)
Artinya: Dari Ummu Athiyah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari, dan jangan ia pakai pakaian yang bercelup kecuali kain genggang dan jangan ia bercelak dan jangan memakai bau-bauan, kecuali kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar.
5. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ اُمِّ سَلَمَةِ قَالَتْ : جَعَلْتُ عَلَى عَيْنيِ صَبِِرًا بَعْدَ اَنِْ تُوَ فَّيَ اَبُو سَلمَةِ فَقَلَ رَسُوْلُ ا للهِ صَ مَ (اَِنَّهُ يَشِبُّ الوَجْهَ. فَلا تَجْعَلِيهِ اِلاّ بِااللَّيْلِ وَاَنْزَعِيْهِ بِالنَّهَارِ وَلاتمَتشِيطِي بِالطِّيْبِ، َولابِالحِنَّاءِ، فَانَّه خِضَابٌ) قُلْتُ بِأيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ ؟ قَالَ (بِالسِدْرِ) (رواه ابوداودوالنّسائيّ).
Artinya: Dari Ummu Salamah, ia berkata: sesudah wafat Abu Salamah saya pakai jadam dimata saya . maka Rasulullah saw. Bersabda :“Sesungguhnya ia itu mencantikan muka. Maka janganlah engkau pakai dia melainkan pada malam, dan buanglah dia pada siang, dan jangalah engkau bersisir dengan menggunakan barang wangi dan jangan dengan pacar, karena yang demikian itu celupan.” Saya bertanya : Dengan apa saya boleh bersisir ? Jawabnya : “Dengan bidara”.
6. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ حَفْصَةَ أَوْعَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : لَايَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَيَوْمِ الآخِرِ أَوْ تُؤمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ تَحِدَّ عَلَى مَيِتٍ فَوْقَ ثَلاثَةِ أيّامٍ إِلاّ عَلَى زَوْجِهَا (رواه النسائى)
Artinya: Dari Hafsah atau dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir atau beriman kepada Allah dan Rasulnya berkabung karena kematian seorang kebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya.(HR an-Nasa’i)
7. Hadis Nabi Muhammad SAW
كُنَّا نَنْهَي أَنْ تَحِدَّ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجٍ أَرْبَعَةََ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا َلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلاّ ثَوْبَ عُصْبٍ وَقَدْ رُخِصَ لَنَا عِنْدَ الطُهْرِ أَوْ أِغْتَسَلَتْ اَحَدٌ أنا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كِسْتِ أَظْفَارٍ (رواه أحمد و البخارى و مسلم و سنن اللأربعة )
Artinya: Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman, jangan memakai inai, dan menyisir rambut kecuali ia baru suci dari menstruasi, maka bolehlah ia mengambil sepotong kayu wangi. (HR: Ahmad, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)
8. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَ مَ قَالَ لَا تَحِدُّ أمْرَأَةٌ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجِ لِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا وَلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلّا ثَوْبَ عُصْرٍ وَلا تَكْتَحِلُ وَلا تَمَسُّ طِيْبًا أِلّا اِذَا طَهَرَتْ نُبْذَةٌ مِنْ قِسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ (رواه البخاري)
Artinya: Kami dilarang berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suami yaitu empat bulan sepuluh hari. Kami tidak memakai celak, tidak menggunakan pakaian yang diberi bahan pewarna, kecuali pakaian yaman dan tidak menggunakan wewangian. Sungguh kami diberi kemurahan ketika bersuci, yaitu jika salah seorang diantara kami mandi dan haid, maka diperbolehkan untuk menggunakan sedikit dari qust dan adhfar. (HR. Bukhari).
9. Hadis Nabi Muhammad SAW
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أِنَّ أبْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا، أَفَتَكْحِلُهَا؟ فَقَالَ: لاَ- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا،
Artinya : “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.”
Berdasarkan fakta sejarah bahwa pada jaman Rasul banyak wanita-wanita muslimah yang telah ditinggal mati suaminya yang melaksanakan masa ihdad atau berkabung selama masa iddah sebagai suatu ungkapan duka cita atas kematian suaminya dan beberapa hal hal yang berhubungan dengan ihdad seperti perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan selama masa berkabung dan hal-hal yang dilarang pula sehingga dari sejumlah hadits dan atsar di atas menjadi jelas bagi kita bahwa wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan. berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan bahwa hukum ihdad merupakan salah satu ajaran syariat Islam.
C. Tujuan Ihdad
1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1 menegaskan “Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan menjaga timbulnya fitnah.
2. Selain itu yang menjadi pertimbangan ialah bahwa untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak istri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya
3. Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya ihdad. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi dan Khulafa el-Rasyidin tidak pernah melakukan ihdad selain cerai mati.
4. Bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam keadaan hamil, hikmah ihdad adalah selama empat bulan sepuluh hari sicalon bayi yang tengah berada dalam perut ibu akan sempurna penciptaannya, yaitu dengan ditiupkannya ruh adalah setelah seratus duapuluh hari berlalu. Sepuluh hari disebut bentuk mu’anats yang dimaksudkan sebagai waktu malamnya.
D. Dampak Ihdad
Kita ketahui bahwa bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi istrinya untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun bila si istri dalam keadaan hamil maka ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik masanya lama atau sebentar. Hal ini sesuai dengan pasal 170 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
1. Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya fitnah
2. Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihdad merupakan hak syar’i dan merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul dengan bekas suaminya.
Silang pendapat diantara fuqaha yang mewajibkannya atas wanita muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha yang menganggap ihdad sebagai suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami ma’nanya), maka mereka tidak mewajibkan atas wanita kafir, sedangkan bagi fuqaha yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami ma’nanya, yaitu untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah wanita yang berihdad memandang kepada lelaki, maka mereka mempersamakan antar wanita kafir dengan wanita muslimah.
Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabah (ahli kitab), para ulama berbeda pendapat. Menurut Jumhur kewajiban ihdad meliputi semua istri yang dinikahi secara sah, baik wanita yang masih kecil, dewasa, gila, muslimah atau kitabiah. Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak yang dijadikan istri.
Senada dengan pendapat jumhur adalah pendapat Imam Malik. Imam Malik menyatakan Wajib ihdad atas wanita kitabah, karena wanita kitabah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak wanita yang beragama Islam. Selain itu ihdad adalah ibadah yang tidak dipahami maknanya yaitu menghindarkan wanita dari pandangan laki-laki atau sebaliknya. Karena itu wanita muslimah dan non muslimah termasuk kitabah sama-sama wajib ihdad.
Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah, demikian juga pendapat As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi: “Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian berihdad dan seterusnya.” menunjukan bahwa syarat wanita yang berihdad adalah beriman, tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuan-ketentuan tentang ihdad pada diri wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas wanita non muslimah termasuk kitabiyah.
Akan hal silang pendapat fuqaha mengenai hamba mukatabah (hamba perempuan ynag menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal itu terjadi dari segi ketidak jelasan statusnya sebagai orang merdeka atau sebagai budak. Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad), maka hal yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari keduanya.
Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama ihdad disimpulkan pula oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu segala bentuk perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki, kecuali Sesuatu yang bukan dianggap sebagai perhiasan. Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan pemakaian celak mata kalau terpaksa, tetapi sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa celak itu bukan dianggap sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan bahwa pemakaian dilakukan hanya pada malam hari.
Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang penggunaan celak mata. Perbedaan tersebut dilatar belakangi oleh pandangan mereka terhadap celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa celak mata itu sebagai perhiasan dan ada pula yang menganggap bukan perhiasan. Ibrahim Al-Bajuri rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut kepala atau selainnya. Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad menggunakan cara lain. Bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti dokter, perawat dll, maka mereka boleh keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Demikian pula karena mereka berhadapan dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai parfum sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak dimaksudkan untuk berhias dan pamer.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi wanita yang berihdad yaitu:
1. Bersolek atau menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).
2. Meninggalkan pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
3. Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, pendapat Atha’ ini tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.
Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya. Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada siang hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana diterangkan di atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Seperti obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada alasan bagi yang berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata karena sakit mata Insya Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain.
Menurut satu pendapat bahwa tidak ada pakaian khusus bagi wanita yang berkabung. Ia boleh memakai pakaian biasa dengan menjauhkan diri dari bersolek dalam segala hal Adapun meyakini keharusan memakai pakian hitam saja bukan pakian lainnya adalah haram.
Begitupun ada satu pendapat yang menyatakan bahwa bagi wanita yang ditingal mati suaminya wajib melalui masa iddahnya dirumah yang ditempatinya bersama sang suami dan ditempat suaminya meninggal dunia dirumah itu. wanita tersebut tidak boleh pindah kecuali keadaan yang memaksa. Seperti contoh jika ia takut bahaya dalam kondisi seperti ini boleh pindah ketempat lain . misalnya ia merasa ketakutan jika tetap berada dirumah tersebut atau ia dipaksa untuk pindah dari rumah itu karena statusnya rumah sewaan. Atau misalnya pemilik rumah menyuruhnya untuk meninggalkan tempat tersebut atau dengan cara meminta uang sewaan lebih mahal dari biasanya. Maka kondisi seperti ini bisa pindah dari rumah tersebut kapan saja untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi.
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias.
Sabda nabi SAW yang berbunyi : “Dari jabir, ia berkata: bibiku telah ditalak tiga kali lalu ia keluar untuk memetik buah kurmanya kemudian ia berjumpa dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu mencegahnya. Kemudian bibiku datang kepada Nabi saw. “keluarlah dan petiklah buah kurmamu, barangkali engkau bisa bersedekah dari itu atau engkau bisa berbuat kebaikan.
Perkataan “memetik buah kurma” itu melihat zhahirnya, bahwa Nabi saw memberi ijin keluar untuk memetik buah kurma itu menunjukan bolehnya keluar kalau ada keeperluan dan yang sejenis dengan itu. sedangkan Imam Nawawi mengatakan: bab bolehnya keluar bagi perempuan yang ditalak bain dari rumahnya pada waktu siang untuk suatu keperluan.
Syeikh Abdullah Bin Baz berkata: “Wanita yang sedang berkabung dibolehkan untuk mandi dengan air, sabun, bidara, kapan saja ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan orang lain yang ia kehendaki, ia boleh duduk-duduk bersama para mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka dan sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya, diperkarangan, diatap rumahnya baik siang atau malam dalam semua pekerjaan rumah seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, mencuci baju, memberi makan binatang ternak dan sebagainya sebagai mana dilakukan oleh wanita yang tidak berkabung dia juga boleh berjalan disaat terang bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya sebagaimana wanita lainnya. Dia juga boleh melepas kerudung jika tidak orang lain kecuali hanya mahramnya.”
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, ihdad berasal dari kata أَحَد َّّ dan biasa pula disebut الحِدَّةُ yang diambil dari kata حدُِّ Secara bahasa mereka mengartikan ihdad dengan المَنْعُ yang berarti cegahan atau larangan.
Secara bahasa Ihdad berasal dari kata حَدَّ- يَِحِدُّ بِمَعْنَي وَحَدَّ المَرْأَةُ yang berarti tidak bersolek atau tidak berhias karena kematian suami.
Ihdad berasal dari suku kata حِدَادٌ yang berarti menanggalkan berhias karena duka cita.
Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti larangan yang memberikan hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian menurut Ibnu Dusturiyah. sedangkan Al-Farra mengatakan “disebut juga sebagai besi karena kekuatan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah lain.
Ihdad dalam kamus Istilah Fiqih yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah: empat bulan sepuluh hari, dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa. Sedangkan menurut Ibnu Mansur, Ihdad adalah menanggalkan berhias dan bersolek untuk mempercantik diri. Ihdad artinya perkabungan perempuan yang kematian suami.
Dari definisi yang dikemukakan diatas terlihat bahwa pakaian yang dicelup warna baik pencelupan itu dilakukan ketika masih dalam bentuk kain, atau sudah menjadi pakaian, atau bahkan yang masih dalam bentuk benang sekalipun, tidak diperbolehkan dipakai dalam masa iddah kematian.
Dr. Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi ihdad:
تَرْكُ الطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ وَالكُحْلِ وَالدُهْنِ المُطِيْبِ وَغَيْرِ المُطِيْبِ
Artinya: Meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan ataupun tidak.
Selanjutnya Dr. Wahbah az-Zuhaili menegaskan yang dimaksud dengan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu wanita yang sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.
Sayid Sabiq juga memberikan definisi senada tentang ihdad. Menurutnya ihdad adalah:
تَرْكُ مَا تَزَيَّنَ بِهِ المَرْأَةُ مِنَ الحُلْيِ وَالكُحْلِ وَالحَرِيْرِ وَالطِّيْبِ وَالخِضَابِ
Artinya: Meninggalkan bersolek seperti memakai perhiasan, celak mata, pakaian sutra, wangi-wangian dan inai.
Al-Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa ihdad menurut istilah adalah
وَ عَلَي المُتَوَفَّي عَنْهَا زَوْجُهَا الحِدَادُ وَهُو الأمْتِنَاعُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالطِّيْب ِ
Artinya: ihdad adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.
Hal ini diwajibkan atas seorang istri yang ditinggal mati suaminya, selama masa iddah dengan maksud untuk menunjukan kesetiaan dan menjaga hak-hak suami.
Sekalipun rumusan redaksional beberapa definisi diatas berbeda, namun inti pokoknya sama, yaitu masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dalam masa itu ia tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya. Dan tidak boleh juga bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan. Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami.
Jika kita lihat arti kata berhias dalam kamus besar bahasa Indonesia, maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua, memperbaiki, atau menjadikan baik (rapi). Ibnu Jarir At- Thabari, mengartikan perhiasan adalah wajah dan dua telapak tangan, juga termasuk yang ada pada keduanya seperti celak, cincin, gelang dan khidab (pewarna tangan).
Wajah dan dua telapak tangan merupakan bagian anggota tubuh wanita yang tidak tertutup yang dalam hal ini bukan termasuk aurat menurut sebagian ulama, yang pada kebanyakan wanita memperindah bagian tubuh tersebut dengan perhiasan seperti celak, cincin, gelang, dan sebagainya.
Sedangkan untuk kondisi zaman yang semakin modern dengan teknologi yang semakin canggih, dapat membuat seluruh tubuh wanita dari ujung rambut sampai ujung kaki merupakan bagian yang dapat diperindah, sehingga makna berhias dan bentuk perhiasan menjadi semakin luas.
B. Dasar Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi sepakat pendapatnya mengatakan bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita muslimah yang merdeka, selama masa iddah kematian suami. Adapun landasan hukum disyariatkannya ihdad adalah sebagai berikut:
1. Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 yang artinya
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Q.S (Al-Baqarah) :234
2. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ زَيْنَب بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ قَالَتْ : دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيْبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ، قَالَتْ زَيْنَبُ سَمِعْتُ أُمِّي أُمِّ سَلَمَةَ تَقُوْلُ : جَاءَتْ امرَأَةٌ إِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَّتْ عَيْنَاهَا أَفَتَكْتَحِلُهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ لاَ ( مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذلِكَ يَقُوْلُ لاَ ) ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا هِى أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (رواه مسلم )
Artinya: Dari Zainab binti Abi Salamah r.a. berkata: Dia datang ke rumah Ummu Habibah, Istri Nabi saw. Kata Zainab, aku mendengar Ummu Salamh menceritakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. Kemudian bertanya, wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karna sakit kedua matanya , bolehkah ia memakai celak untuk kedua matanya? Rasulullah menjawab, tidak boleh. Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. Setiap perkataannya tersebut dikatakannya tidak boleh. Kemudian beliau bersabda, sesungguhhnya ‘iddah wanita itu empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim).
3. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ حَبِيْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا أَرْبَعَةَ أَشَهُرٍ وَعَشْراً (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Ummu Habibah r.a. katanya: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak diperbolehkan berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari. HR. al- Bukhari dan Muslim)
4. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُحِدَّ إِمْرَأَةً عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَتَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا، إِلاَّ ثَوْبَ عَسْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلْ، وَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا إِلاَّ إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَو أَظْفَارٍ، متّفق عليه. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ. وَلأَبِي دَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ مِنَ الزِّيَادَةِ (وَلاَتَحْتَضِي) (رواه النسائ)
Artinya: Dari Ummu Athiyah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari, dan jangan ia pakai pakaian yang bercelup kecuali kain genggang dan jangan ia bercelak dan jangan memakai bau-bauan, kecuali kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar.
5. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ اُمِّ سَلَمَةِ قَالَتْ : جَعَلْتُ عَلَى عَيْنيِ صَبِِرًا بَعْدَ اَنِْ تُوَ فَّيَ اَبُو سَلمَةِ فَقَلَ رَسُوْلُ ا للهِ صَ مَ (اَِنَّهُ يَشِبُّ الوَجْهَ. فَلا تَجْعَلِيهِ اِلاّ بِااللَّيْلِ وَاَنْزَعِيْهِ بِالنَّهَارِ وَلاتمَتشِيطِي بِالطِّيْبِ، َولابِالحِنَّاءِ، فَانَّه خِضَابٌ) قُلْتُ بِأيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ ؟ قَالَ (بِالسِدْرِ) (رواه ابوداودوالنّسائيّ).
Artinya: Dari Ummu Salamah, ia berkata: sesudah wafat Abu Salamah saya pakai jadam dimata saya . maka Rasulullah saw. Bersabda :“Sesungguhnya ia itu mencantikan muka. Maka janganlah engkau pakai dia melainkan pada malam, dan buanglah dia pada siang, dan jangalah engkau bersisir dengan menggunakan barang wangi dan jangan dengan pacar, karena yang demikian itu celupan.” Saya bertanya : Dengan apa saya boleh bersisir ? Jawabnya : “Dengan bidara”.
6. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ حَفْصَةَ أَوْعَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : لَايَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَيَوْمِ الآخِرِ أَوْ تُؤمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ تَحِدَّ عَلَى مَيِتٍ فَوْقَ ثَلاثَةِ أيّامٍ إِلاّ عَلَى زَوْجِهَا (رواه النسائى)
Artinya: Dari Hafsah atau dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir atau beriman kepada Allah dan Rasulnya berkabung karena kematian seorang kebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya.(HR an-Nasa’i)
7. Hadis Nabi Muhammad SAW
كُنَّا نَنْهَي أَنْ تَحِدَّ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجٍ أَرْبَعَةََ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا َلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلاّ ثَوْبَ عُصْبٍ وَقَدْ رُخِصَ لَنَا عِنْدَ الطُهْرِ أَوْ أِغْتَسَلَتْ اَحَدٌ أنا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كِسْتِ أَظْفَارٍ (رواه أحمد و البخارى و مسلم و سنن اللأربعة )
Artinya: Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman, jangan memakai inai, dan menyisir rambut kecuali ia baru suci dari menstruasi, maka bolehlah ia mengambil sepotong kayu wangi. (HR: Ahmad, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)
8. Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَ مَ قَالَ لَا تَحِدُّ أمْرَأَةٌ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجِ لِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا وَلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلّا ثَوْبَ عُصْرٍ وَلا تَكْتَحِلُ وَلا تَمَسُّ طِيْبًا أِلّا اِذَا طَهَرَتْ نُبْذَةٌ مِنْ قِسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ (رواه البخاري)
Artinya: Kami dilarang berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suami yaitu empat bulan sepuluh hari. Kami tidak memakai celak, tidak menggunakan pakaian yang diberi bahan pewarna, kecuali pakaian yaman dan tidak menggunakan wewangian. Sungguh kami diberi kemurahan ketika bersuci, yaitu jika salah seorang diantara kami mandi dan haid, maka diperbolehkan untuk menggunakan sedikit dari qust dan adhfar. (HR. Bukhari).
9. Hadis Nabi Muhammad SAW
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أِنَّ أبْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا، أَفَتَكْحِلُهَا؟ فَقَالَ: لاَ- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا،
Artinya : “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.”
Berdasarkan fakta sejarah bahwa pada jaman Rasul banyak wanita-wanita muslimah yang telah ditinggal mati suaminya yang melaksanakan masa ihdad atau berkabung selama masa iddah sebagai suatu ungkapan duka cita atas kematian suaminya dan beberapa hal hal yang berhubungan dengan ihdad seperti perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan selama masa berkabung dan hal-hal yang dilarang pula sehingga dari sejumlah hadits dan atsar di atas menjadi jelas bagi kita bahwa wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan. berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan bahwa hukum ihdad merupakan salah satu ajaran syariat Islam.
C. Tujuan Ihdad
1. Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1 menegaskan “Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan menjaga timbulnya fitnah.
2. Selain itu yang menjadi pertimbangan ialah bahwa untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak istri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya
3. Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya ihdad. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi dan Khulafa el-Rasyidin tidak pernah melakukan ihdad selain cerai mati.
4. Bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam keadaan hamil, hikmah ihdad adalah selama empat bulan sepuluh hari sicalon bayi yang tengah berada dalam perut ibu akan sempurna penciptaannya, yaitu dengan ditiupkannya ruh adalah setelah seratus duapuluh hari berlalu. Sepuluh hari disebut bentuk mu’anats yang dimaksudkan sebagai waktu malamnya.
D. Dampak Ihdad
Kita ketahui bahwa bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi istrinya untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun bila si istri dalam keadaan hamil maka ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik masanya lama atau sebentar. Hal ini sesuai dengan pasal 170 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
1. Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya fitnah
2. Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihdad merupakan hak syar’i dan merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul dengan bekas suaminya.
Silang pendapat diantara fuqaha yang mewajibkannya atas wanita muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha yang menganggap ihdad sebagai suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami ma’nanya), maka mereka tidak mewajibkan atas wanita kafir, sedangkan bagi fuqaha yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami ma’nanya, yaitu untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah wanita yang berihdad memandang kepada lelaki, maka mereka mempersamakan antar wanita kafir dengan wanita muslimah.
Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabah (ahli kitab), para ulama berbeda pendapat. Menurut Jumhur kewajiban ihdad meliputi semua istri yang dinikahi secara sah, baik wanita yang masih kecil, dewasa, gila, muslimah atau kitabiah. Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak yang dijadikan istri.
Senada dengan pendapat jumhur adalah pendapat Imam Malik. Imam Malik menyatakan Wajib ihdad atas wanita kitabah, karena wanita kitabah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak wanita yang beragama Islam. Selain itu ihdad adalah ibadah yang tidak dipahami maknanya yaitu menghindarkan wanita dari pandangan laki-laki atau sebaliknya. Karena itu wanita muslimah dan non muslimah termasuk kitabah sama-sama wajib ihdad.
Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah, demikian juga pendapat As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi: “Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian berihdad dan seterusnya.” menunjukan bahwa syarat wanita yang berihdad adalah beriman, tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuan-ketentuan tentang ihdad pada diri wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas wanita non muslimah termasuk kitabiyah.
Akan hal silang pendapat fuqaha mengenai hamba mukatabah (hamba perempuan ynag menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal itu terjadi dari segi ketidak jelasan statusnya sebagai orang merdeka atau sebagai budak. Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad), maka hal yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari keduanya.
Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama ihdad disimpulkan pula oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu segala bentuk perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki, kecuali Sesuatu yang bukan dianggap sebagai perhiasan. Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan pemakaian celak mata kalau terpaksa, tetapi sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa celak itu bukan dianggap sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan bahwa pemakaian dilakukan hanya pada malam hari.
Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang penggunaan celak mata. Perbedaan tersebut dilatar belakangi oleh pandangan mereka terhadap celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa celak mata itu sebagai perhiasan dan ada pula yang menganggap bukan perhiasan. Ibrahim Al-Bajuri rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut kepala atau selainnya. Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad menggunakan cara lain. Bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti dokter, perawat dll, maka mereka boleh keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Demikian pula karena mereka berhadapan dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai parfum sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak dimaksudkan untuk berhias dan pamer.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi wanita yang berihdad yaitu:
1. Bersolek atau menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).
2. Meninggalkan pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
3. Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, pendapat Atha’ ini tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.
Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya. Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada siang hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana diterangkan di atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Seperti obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada alasan bagi yang berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata karena sakit mata Insya Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain.
Menurut satu pendapat bahwa tidak ada pakaian khusus bagi wanita yang berkabung. Ia boleh memakai pakaian biasa dengan menjauhkan diri dari bersolek dalam segala hal Adapun meyakini keharusan memakai pakian hitam saja bukan pakian lainnya adalah haram.
Begitupun ada satu pendapat yang menyatakan bahwa bagi wanita yang ditingal mati suaminya wajib melalui masa iddahnya dirumah yang ditempatinya bersama sang suami dan ditempat suaminya meninggal dunia dirumah itu. wanita tersebut tidak boleh pindah kecuali keadaan yang memaksa. Seperti contoh jika ia takut bahaya dalam kondisi seperti ini boleh pindah ketempat lain . misalnya ia merasa ketakutan jika tetap berada dirumah tersebut atau ia dipaksa untuk pindah dari rumah itu karena statusnya rumah sewaan. Atau misalnya pemilik rumah menyuruhnya untuk meninggalkan tempat tersebut atau dengan cara meminta uang sewaan lebih mahal dari biasanya. Maka kondisi seperti ini bisa pindah dari rumah tersebut kapan saja untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi.
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias.
Sabda nabi SAW yang berbunyi : “Dari jabir, ia berkata: bibiku telah ditalak tiga kali lalu ia keluar untuk memetik buah kurmanya kemudian ia berjumpa dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu mencegahnya. Kemudian bibiku datang kepada Nabi saw. “keluarlah dan petiklah buah kurmamu, barangkali engkau bisa bersedekah dari itu atau engkau bisa berbuat kebaikan.
Perkataan “memetik buah kurma” itu melihat zhahirnya, bahwa Nabi saw memberi ijin keluar untuk memetik buah kurma itu menunjukan bolehnya keluar kalau ada keeperluan dan yang sejenis dengan itu. sedangkan Imam Nawawi mengatakan: bab bolehnya keluar bagi perempuan yang ditalak bain dari rumahnya pada waktu siang untuk suatu keperluan.
Syeikh Abdullah Bin Baz berkata: “Wanita yang sedang berkabung dibolehkan untuk mandi dengan air, sabun, bidara, kapan saja ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan orang lain yang ia kehendaki, ia boleh duduk-duduk bersama para mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka dan sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya, diperkarangan, diatap rumahnya baik siang atau malam dalam semua pekerjaan rumah seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, mencuci baju, memberi makan binatang ternak dan sebagainya sebagai mana dilakukan oleh wanita yang tidak berkabung dia juga boleh berjalan disaat terang bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya sebagaimana wanita lainnya. Dia juga boleh melepas kerudung jika tidak orang lain kecuali hanya mahramnya.”
Senin, 19 Desember 2011
Kebebasan Beragama atau Kemerdekaan Beragama ?
Pasal
29 UUD 1945 berbunyi :
“ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu “
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang besar. Dimana secara defacto bangsa Indonesia telah memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamirkan oleh Dwi
Tunggal Soekarno-Hatta. Bagaimana pergulatan serta perjuangan untuk menuju
sebuah kemerdekaan membutuhkan pengorbanan yang cukup banyak dari para pejuang
kita terdahulu.
Sejarah perjuangan bangsa kita banyak diwarnai pergulatan
juga dialektika, perjuangan para pejuang bangsa telah tertoreh dalam lembaran
emas. Setelah kemerdekaan itu kita peroleh, sendi-sendi dasar terbentuknya
suatu Negara juga dibuat. Undang-Undang Dasar Negara atau yang kita kenal
sebagai Undang-Undang Dasar Negara 1945 dan Pancasila menjadi pedoman hidup
tata pelaksana pergaulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agaknya kemerdekaan sesuatu yang amat mahal harganya, kini
kita dihadapkan pada realitas kehidupan bahwa masih banyak dari kita yang masih
saja berprilaku tidak baik tatkala kita berbeda. Kemajemukan adat istiadat,
suku, agama yang mewarnai bumi Nusantara ini harusnya bisa menjadi kekayaan tak
ternilai karena Tuhan memberi anugrah pada bumi tercinta ini untuk menjadi
kebaikan bagi semua umat bukan untuk pribadi sendiri ataupun sekelompok orang.
Indahnya perbedaan itu seperti taman bunga yang
warna-warni,bukan untuk dikoyak ataupun sampai ada tetesan darah yang keluar.
Ungkapan judul di atas rasanya pas untuk menggambarkan situasi dan kondisi Indonesia
saat ini. Merdeka berarti bebas, dalam konteks kebangsaan bebas dapat
diinterpretasikan dengan bebas dari rasa takut, bebas untuk berbicara dan
menyatakan pendapat, bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing
yang diyakini dll. Karena itu merupakan Hak Asasi kita. Tetapi memang,
kenyataannya jauh api dari panggang bahwa kita belum bisa “ bebas “ dalam
artian yang sesungguhnya terutama dalam kebebasan memeluk agama dan
kepercayaannya.
Hak untuk bebas memeluk agama dan kepercayaannya saat ini
telah terdegradasi oleh sikap arogansi orang-orang yg tidak bertanggung jawab.
Diskriminasi, intimidasi, serta bermacam perlakuan tidak baik masih diterima
minoritas. Mayoritas menggencet minoritas, tentunya sikap ini telah melanggar
Hak Asasi kita sebagai umat manusia, padahal jelas-jelas dalam konstitusi kita
Negara menjamin kebebasan yang dimaksud seperti yang termaktub dalam Pasal 29
UUD 1945.
Itulah kenapa “ founding father “ kita meletakkan dasar
Negara kita yaitu Pancasila bukan berdasarkan pada satu agama. Sila pertama
Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berdasar agama tertentu karena
sebagai satu bangsa kita terdiri dari berbagai macam agama juga kepercayaan. Jangan
sampai akibat yang ditimbulkan dari perbedaan itu memicu konflik yang lebih
besar yang bisa saja memecah persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai “
Bhineka Tunggal Ika “. Kita kehilangan “ Jati Diri “ sebagai entitas suatu
bangsa.
Tengoklah sejarah dulu saat Soekarno membacakan pidatonya di
depan siding BPUPKI tentang Dasar Negara daripada Indonesia beliau mentamzilkan
bahwa kemerdekaan itu adalah “ jembatan Emas “ diseberangnya “jembatan emas “
itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Kini kita sudah meniti “ jembatan Emas “ itu tapi kita tidak
mampu mengisi kemerdekaan itu dengan baik malah sesama anak bangsa kita
bertikai. Bolehkah dalam alam negeri ini kita menghakimi bahkan memaksakan
agama dan kepercayaan kita terhadap orang lain, mengucilkan minoritas,mencaci,
padahal Tuhan menciptakan kita pun berbeda-beda. Tapi bukan kah perbedaan itu
sesungguhnya bisa menghasilkan harmonisasi apabila kita bisa mengemasnya jika
saling menghormati juga menghargai satu sama lai
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap
dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk memeluk agama
tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud
adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di luar keenam
agama tersebut, bolehkah kita menganutnya? Lebih tegas lagi, bolehkah agama
yang lain itu disebutkan di dalam kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk)
kita? Bahkan yang ekstrim, bolehkah kita menjadi warga negara yang tidak
menganut suatu agama alias ateis?
Apakah di Indonesia kebebasan beribadah setiap warga
negara dijamin secara hukum? UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu.
Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk
beribadah menurut agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”.
Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan
Konghucu. Jika kita beribadah menurut ajaran agama di luar keenam agama
tersebut, bolehkah? Fakta bicara, seiring waktu, akan ada pihak-pihak yang
melaporkannya kepada penguasa atau pemimpin umat yang dominan sehingga kelak
kelompok agama yang lain itu dicap”sesat” dan akhirnya dilarang beraktivitas
atau bahkan dibubarkan eksistensinya.
Berdasarkan itu, maka secara logis dapatlah kita katakan
bahwa kebebasan beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia bukanlah kebebasan yang
sejati sebagaimana yang dimaksud oleh teori maupun konsep tentang Hak Asasi
Manusia (HAM). Sebab, dalam perspektif HAM, kebebasan harus berdimensi dua: 1)
kebebasan dari tekanan, belenggu, paksaan, dan yang sejenisnya; 2) kebebasan
untuk berpikir, berekspresi, berkumpul, dan yang sejenisnya Berdasarkan
pikiran-pikiran di atas, maka janganlah heran jika di Indonesia terdapat
fakta-fakta berikut:
Pertama,
sejak 1945 hingga kini sudah lebih dari 1000 gedung gereja yang ditutup paksa
atau dihancurkan, baik oleh kelompok umat non-Kristen maupun oleh aparat
pemerintah sendiri.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Keempat,
berkaitan dengan fakta pertama, sangat sedikit dari orang-orang yang melakukan
penutupan paksa dan atau perusakan terhadap rumah ibadah tersebut yang dijatuhi
hukuman oleh negara.
Terkait kebebasan beragama dan kebebasan beribadah, umat
Islam adalah komunitas agama yang paling banyak mendapatkan privilese di negara
ini. Wajar saja, karena Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk
di negara ini (meskipun di sejumlah daerah bisa saja umat Islam terkategori
minoritas). Tetapi, menjadi tidak wajar jika negara dalam banyak hal cenderung
menjadikan Islam sebagai “primadona”. Karena, sejatinya negara, apalagi yang
berbentuk republik dan berlandaskan sistem demokrasi, harus berdiri di atas
semua golongan.
Aspirasi pelbagai kelompok untuk memasukkan Islam ke dalam
produk-produk hukum positif tak pernah pupus sejak 1945 sampai sekarang. Pantas
saja, karena negara pun tidak pernah secara tegas menyatakan bahwa “semua
produk hukum di negara hukum (rechstaat) ini tidak boleh bernuansa agama
tertentu, baik implisit apalagi eksplisit”. Pantas saja, karena faktanya sejak
dulu terdapat produk-produk hukum positif yang bernuansa agama tertentu namun
dibiarkan saja oleh negara. Maka, pantas jugalah jika faktanya terdapat
beberapa partai politik yang salah satu impiannya adalah membuat semakin banyak
produk hukum yang bernuansa agama tertentu, cukup banyak elit politik yang
salah satu agenda perjuangannya adalah memasukkan aspirasi agamanya ke dalam
produk-produk hukum positif, cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak
paham tentang prinsip-prinsip pembuatan hukum di daerah sebagaimana seharusnya,
dan cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak mampu memerankan dirinya
sebagai negarawan sejati atau pemimpin yang nasionalis.
Selama ini aparat kepolisian kerap ragu dalam bersikap dan
bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok massa berlabel agama yang melakukan aksi-aksi
brutal terhadap komunitas-komunitas agama lain disebabkan minimnya pemahaman
para aparat tersebut terhadap hukum dan HAM. Inilah yang mestinya dijadikan
salah satu agenda mendesak oleh negara: membekali terus-menerus setiap aparat
kepolisian dengan pemahaman yang benar tentang hukum dan HAM. Dalam rangka itu
pula negara seharusnya terus-menerus mendorong setiap aparat kepolisian untuk
berani bersikap dan bertindak tegas. Selain itu negara juga harus memberikan
jaminan perlindungan hukum bagi aparat kepolisian yang mungkin dipermasalahkan
secara hukum serta dukungan finansial bagi aparat kepolisian yang mengalami
kerugian.
Sebenarnya masih ada beberapa pokok pikiran lain yang ingin
saya kemukakan terkait diskusi kita tentang kebebasan beragama dan kebebasan
beribadah ini. Namun, disebabkan keterbatasan waktu, maka izinkan saya
mengakhirnya dengan beberapa usulan yang kiranya dapat diartikulasikan secara
bersama menjadi isu-isu politik di masa-masa mendatang.
Pertama,
adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk menegaskan dirinya
sebagai “negara sekuler” atau “negara yang bukan sekuler tapi juga bukan negara
agama”. Jika yang pertama tercapai, niscayalah kebebasan beragama dan kebebasan
beribadah tidak menjadi masalah besar kita di masa-masa mendatang.
Kedua,
adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia yang telah semakin modern secara
politik ini untuk membuat konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan
beragama” dan bahkan merumuskannya di dalam sebuah perundang-undangan (sebutlah
namanya UU Kebebasan Beragama).
Ketiga,
adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk mewujudkan
supremasi hukum di dalam pelbagai aspek kehidupan dan di seluruh wilayah
hukumnya. Artinya, biarlah hanya hukum negara yang menjadi pedoman setiap warga
negara dalam mereka bertindak di ruang-ruang publik yang formal – alih-alih
berpedoman pada syariat atau aturan agama.
Rabu, 07 Desember 2011
Teori Pembangunan Organski
Sebelum
terjadinya sebuah negara utuh, ada golongan-golongan kecil yang belum
tersatukan. Maka peran pemerintah mulai menyatukan negara-negara bagian
tersebut, pemerintah mulai menyatukan suku-suku kecil tersebut yang tujuannya
tidak lain untuk menuju satu kesatuan negara yang utuh. Untuk menyatukan suatu
masyarakat yang luas perlu adanya upaya yang besar dan sungguh-sungguh yang
dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Seperti menyatukan pandangan, membuat
konstitusi dasar, unifikasi hukum peraturan perundang-undangan, dll. Namun
dalam tahap seperti ini, ada beberapa kendala atau permasalahan serius yang
dihadapi seperti :
1.
Stabilitas keamanan yang belum memadai
2.
Stabilitas politik yang masih
bergemuruh
3.
Banyaknya paradigma dan cara berfikir
masyarakat tentang tujuan negara sehingga melahirkan konflik-konflik kecil
Negara-negara yang terbentuk sekarang
merupakan hasil dari proses panjang sehingga terbentuk mejadi suatu negara yang
benar-benar diakui secara de facto dan de jure. Proses panjang
ini hampir ditempuh oleh semua bangsa dan negara yang mulai dari kumpulan
masyarakat yang sifatnya kecil, komunal dan hanya ada beberapa orang saja, yang
biasanya mereka hanya tinggal di suatu tempat yang berhubungan langsung dengan
mata pencaharian mereka. Di mana kehidupan mereka sudah merupakan gambaran
miniatur sebuah negara, komunal-komunal ini dipimpin oleh kepala yang kalau
dalam suatu suku maka dia akan dipimpin oleh kepala suku yang akhirnya
kehidupan manusia akan berkembang seiring dengan bertambahnya jumlahnya manusia
dan semakin kompleknya permasalahan kehidupan manusia yang akhirnya melahirkan
kesepakatan-kesepakatan baru di antara mereka tentang kehidupan mereka.
Kehidupan yang dulu sifatnya kesukuan,
kemudian berkembang menjadi kehidupan yang lebih kompleks menjadi
kerajaan-kerajaan dan dinasti-dinasti yang mengatur kehidupan yang lebih
kompeks dan wilayah yang lebih luas dan kemudian pada tahap perkembangan
selanjutnya ada yang tetap menjadi menjadi negara kerajaan dan dinasti dan
tetap memegang aturan-aturan yang sifatnya memegang tradisi kalaupun dalam
lingkungan yang terbatas seperti kerajaan Inggris dan dinasti di Jepang dan
Cina.
Kehidupan yang dijalani semua bangsa
dalam proses pembentukannya mengalami kesulitan mulai dari proses yang primitif
sampai menjadi negara yang modern seperti kebanyakan negara-negara pada abad 21
sekarang ini. Kesulitan itu adalah mempersatukan rakyat yang belum terikat
kuat. Dalam tahap ini, tugas pokok yang juga harus segera dimulai adalah melakukan
modernisasi dalam banyak hal. Sistem yang lama, baik sosial, pertanian maupun
ekonomi yang masih bersifat feodal (kuno) harus segera digantikan oleh sistem
yang baru (modern). Organski tidak memberi anjuran secara detail bagaimana
menyelesaikan masalah-masalah yang sedang muncul, kecuali melakukan modernisasi
sesegera mungkin pada saat problem unifikasi diselesaikan. Organski
’’membiarkan’’ negara-negara yang baru merdeka untuk menentukan sendiri jalan
apa yang terbaik.
Dalam proses menyatukan keutuhan negara
banyak terjadi permasalahan internal seperti konflik dalam negeri, konflik
antar partai politik sehingga stabilitas negara pun bergoyang. Peranan
pemerintah pusat harus kuat dalam menstabilkan negara. Jika tidak kuat maka para
investor asing pun enggan menanamkan modalnya di dalam sebuah negara. Dalam
tahap ini segera mungkin pemerintah memodernisasi masyarakat sehingga akan
menuju proses industrialisasi yang pada akhirnya akan mensejahterakan
masyarakat, jika pemerintah lambat memodernisasi maka akan sulit pemerintah
untuk menyatukan berbagai macam suku, negara- negara bagian untuk disatukan.
Proses moderniasi tentunya tidak
terlepas dipersiapkannya sumber daya manusia yang unggul dengan cara melalui
pendidikan, pelatihan, keterampilan dll agar masyarakat tidak asing lagi
menggunakann teknologi canggih pada yang akan datang demi kehidupan yang lebih
baik.
Pada tahap unifikasi
ini, stabilitas politik dan keamanan suatu negara harus kuat karena pada tahap
pertama ini sangat berpengaruh untuk kelangsungan tahap perkembangan
industrialisasi, jika pada tahap unifikasi ini masih terdapat konflik politik,
bentrok keamanan antar warga dan suku, maka sulit untuk mewujudkan proses yang
selanjutnya. Bagaimana seorang investor akan menanamkan modalnya jika suatu
kondisi negara sedang tidak stabil. Perlu adanya pembelajaran bagi seluruh
masyarakat tentang cara pandang dan hidup yang sama sehingga tidak menimbulkan
paradigma yang berbeda dari yang sebenarnya. Permasalahan-permasalahan konflik
politik dan konflik masyarakat harus segera diredam dan dicari jalan keluar
agar menemukan win win solution di antara konflik tersebut sehingga tidak
berkelanjutan.
Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang merubah
sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi
masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan
di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin
beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi.
Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana
perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi
manusia dimana manusia merubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih
kepada rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan
perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi). Ada faktor yang
menjadi acuan modernisasi industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari
lingkungan politik dan hukum yang
menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga
dengan sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber
daya manusia yang cenderung rendah biaya, memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi
dengan pekerjaannya
Dalam tahap industrialisasi ini ada beberapa
permasalahan yang dapat dikemukakakan, yaitu :
1.
Urbanisasi
Terpusatnya tenaga kerja pada pabrik – pabrik di suatu daerah, sehingga daerah
tersebut berkembang menjadi kota besar.
2.
Eksploitasi tenaga kerja
Pekerja harus
meninggalkan keluarga agar bisa bekerja di mana industri itu berada
3.
Lingkungan hidup
Industrialisasi
menimbulkan banyak masalah penyakit. Mulai polusi udara, air, dan
suara, masalah kemiskinan, alat alat
berbahaya, kekurangan gizi. Masalah kesehatan di Negara industri disebabkan
oleh faktor ekonomi, sosial politik, budaya dan juga pathogen
Proses industrialisasi bisa dipahami
melalui konsep pembangunan, karena arti pembangunan dan industrialisasi
seringkali dianggap sama. Konsep pembangunan bersifat dinamik, karena konsep
itu bisa berubah menurut lingkupnya. Apabila pembangunan itu dihubungkan pada
setiap usaha pembangunan dunia, maka pembangunan akan merupakan usaha
pembangunan dunia. Industrialisasi sebagai proses dan pembangunan industri
berada pada satu jalur kegiatan, yaitu pada hakekatnya berfungsi meningkatkan
kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat. Industrialisasi tidaklah terlepas dari
upaya peningkatan mutu sumber daya manusia, dan pemanfaatan sumber daya alam
Proses
industrialisasi merupakan langkah awal menuju modernisasi sistem politik yang
berorientasi pada interaksi antara negara dan masyarakat. Pembangunan ekonomi
yang dilakukan guna meningkakan kesejahteraan masyarakat suatu negara, cepat
akan mendorong negara tersebut mengembangkan sistem politiknya sebagai sebagai
sebuah kebutuhan mengamankan aset-aset ekonomi.
Pada tahap ini pemerintahan berfungsi untuk
mendorong tumbuhnya industri dan modernisasi ekonomi yang dilakukan salah satu
dari tiga tipe ideologis di dalam negara: borjuis, stalinis, dan fasis. Di sini
mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri,
pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke
perkotaan.
Organzki juga menyebutkan tahap selanjutnya setelah
tahap unifikasi tradisional yaitu negara masuk pada tahap ndustrialisasi, di mana
negara mulai membangun dan berupaya memperkuat perekonomian dengan
industrialisasi, pola pembangunan lewat industrialisasi merupakan pilihan yang
ideal yang harus ditempuh, terutama oleh negara-negara maju seperti negara-negara
di Eropa Barat. Perkembangan ini ditandai oleh proses industrialisasi di
Inggris. Abad ke 18 merupakan titik kemajuan proses industrialisasi di Inggris
di mana ditemukan berbagai inovasi terutama inovasi teknologi yang mendorong
ditemukan mesin-mesin industri pabrik. Pilihan melakukan industrialisasi
merupakan yang terbaik karena keunggulan komparatif negara-negara barat
terletak pada produk-produk industri dan teknologi. Politik industrialisasi
secara implisit masih terjadi di Indonesia, di mana proses industrialisasi dan
pembangunan infrastruktur pendukung industri terus dilakukan, terlebih krisis
yang melanda Indonesia tahun 1998 membuat Indonesia bertahan lebih lama di fase
ini.
Fungsi primer pemerintah pada tahap
industrialisasi adalah melindungi pengusaha yang memiliki modal untuk
mempercepat laju industri, sedangkan dalam tahap ketiga merupakan tugas
pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan
industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf
kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara
maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, di mana fokus
pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas
publik, pendidikan dan kesejahteraan. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan
dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan
migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan.
Secara
ekonomis, terjadi peningkatan modal di atas pertumbuhan penduduk.
Kesempatan-kesempatan baru mulai tercipta, investasi meningkat, terjadi
pergeseran sektor pertanian ke industrilalisasi. Prasarana transportasi lebih
terbuka dan menjadi kebutuhan untuk melakukan kegiatan perdagangan. Secara
sosiologis, masyarakat lebih terbuka melakukan komunikasi dengan pihak lain.
Terjadinya interaksi sosial yang lebih luas, yang pada akhirnya melahirkan
tuntutan baru non ekonomis, yaitu politik
Dalam tahap ini
pemerintah lebih mengedepankan hak hak pengusaha dibanding dengan hak-hak
pekerja karena memiliki tujuan untuk mendapatkan margin yang tinggi guna
pengusaha atau investor tersebut menanamkan modalnya di Indonesia. Aturan-aturan
hukum lebih condong kepada kepentingan pengusaha dan bukan berarti haknya buruh
diabaikan. Setelah ini, maka akan banyak dan berkembangnya industri-industri
yang tumbuh yang akan membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat luas yang
tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Jika terjadi
permasalahan antara investor dan buruh kerja, perlu adanya usaha musyawarah
agar menghasilkan keputusan yang sifatnya win win solution bagi kedua belah
pihak, dan jika tidak ditemukan kesepakatan
akan permasalahan tersebut, maka dalam tahap ini akan tetap lebih
diutamakan kepentingan investor. Dalam tahap ini margin atau modal bagi
perkembangan industrialisasi di sebuah negara sangat diperlukan.
Selain permasalahan
ketenagakerjaan, urbanisasi pun bisa menjadi hambatan bagi perkembangan
industri karena masyarakat primitif akan pidah ke tempat di mana industri-industri
itu menjamur. Peran pemerintah adalah menciptakan industri-industri baru secara
merata di setiap wilayah agar tidak terjadi kepadatan penduduk di suatu wilayah
tertentu. Jika tidak diatasi permasalahan ini maka besar kemungkinan akan
timbul permasalahan baru akibat tingginya peningkatan penduduk akibat
urbanisasi secara sosial
Dalam tahap mini
pun ada permasalahan serius yakni, akibat proses industrialisasi yang tentunya
melahirkan industri-industri, akan berakibat terhadap pencemaran lingkungan setempat.
Pemerintah harus memperhatikan kondisi tersebut. Mulai dari pembangunan awal
industri dengan analisis dampak lingkungannya setelah itu proses penyaluran
limbahnya yang diperhatikan dan akibat kerusakan lingkungan dari
industri-industri tersebut karena walau bagaimanapun proses industri yang besar
tanpa adanya perhatian terhadap lingkungan sekitar dikhawatirkan akan menimbulkan
permasalahan baru yang lain seperti kerusakan lingkungan seperti lumpur Lapindo
Brantas
Dalam tahap
industrialisai kepentingan investor lebih diutamakan daripada kepentingan
buruh. Maka untuk kepentingan investor itu tidak abaikan dibuatlah
aturan-aturan hukum yang sifatnya lebih mengutamakan kepentingan investor
terbut. Sebaiknya dalam tahap ini perlu diperhatikan pula hak-hak buruh agar tidak
terjadi diskriminasi yang nantinya akan menimbulakn konflik anatara investor dan
buruh. Jika investor sudah nyaman dengan kondisi politik dan hukum yang pro
akan kepentingannya maka diharapkan para investor-investor tersebut akan
mengeluarkan margin yang lebih besar untuk pembangunan industri yang lainnya.
Dan jika pada tahap ini aturan hukum dan politik tidak pro terhadap kepentingan
investor maka besar kemungkinan investor tersebut enggan menanamkan modalnya di
sebuah negara.
Pengalaman beberapa negara
berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam
industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk
pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan.
Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya
dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau
pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang
pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai
berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan
anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Negara memiliki
kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya. Kekuasaan, dalam arti kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain,
dalam ilmu politik biasanya dianggap bahwa memiliki tujuan demi kepentingan
seluruh warganya. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok
orang yang berperan sebagai penyelenggara negara adalah semata-mata demi
kesejahteraan warganya.
Negara merupakan aktor pertama dan utama yang
bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama memainkan
peran distribusi sosial (kebijakan sosial) dan investasi ekonomi (kebijakan
ekonomi). Fungsi dasar negara adalah mengatur untuk
menciptakan law and order dan mengurus untuk mencapai
welfare/kesejahteraan. Ada beberapa permasalahan ,mengenai negara kesejahteraan
yakni :
1.
Dalam mencapai welfare state di suatu negara
mencakup daya politik warga negara, sejauhmana warga negara dan partai politik
memiliki imajinasi dan cita-cita yang mampu mengatasi kebijakan yang domina
selama ini.
2.
Erat kaitannya dalam mengemborkan walfare staat
dari suatu negara, namun proses ini terkadang masih
jauh dari harapan dan janji-janji kesejahteraan
Negara
kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak warga
negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik dan
hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi. Hal
sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dipenuhi pada abad ke-18, hak
politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak
sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20.
Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada
mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan
menjadikan hak setiap warga sebagai alasan utama kebijakan
sebuah negara. Negara, dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan
sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial kepada
warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar
(inviolable) serta diberikan berdasar atas dasar kewargaan (citizenship) dan
bukan atas dasar kinerja atau kelas
Negara
Kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan
mengorganisasikan perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara
untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu
bagi warganya. Negara kesejahteraan merupakan buah dari integrasi ekonomi
kapitalistik yang mencapai masa emas sejak akhir abad ke-19 dengan
industrialisasi sebagai faktor pemicunya. Awalnya, kebijakan negara kesejahteraan
ini merupakan upaya untuk mengendalikan ancaman mobilisasi politik dan gerakan
radikal dari kelas pekerja baru yang terbentuk setelah industrialisasi
sekaligus mengukuhkan kesetiaan kelas baru tersebut pada negara (nation state
building)
Negara
kesejahteraan hadir bukanlah sebagai satu entitas yang berwajah tunggal. Luas
cakupan dan ragam kebijakan sosial yang diterapkan oleh masing-masing Negara kesejahteraan
(welfare state). Setidaknya ada dua tipologi Negara kesejahteraan, yaitu
residual welfare state dan institutional welfare state. Residual welfare state
mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan berlaku, jika
dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat
pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marjinal serta mereka
yang patut mendapatkan
alokasi kesejahteraan dari negara. Sedangkan institutional welfare state
bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta terlembagakan dalam
basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat
Negara
kesejahteraan amat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada masing-masing
negara (welfare regims). Pengaruh ini terjadi terutama terhadap kemampuan
negara tersebut memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan melalui
kebijakan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola intraksi dan saling
keterkaitan dalam produksi dan alokasi kesejahteraan antar negara, rezim pasar
dan keluarga/rumah tangga. Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia
kesejahteraan dan tempat individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko
sosial. Namun, tidak selamanya negara menjadi aktor tunggal dalam penyediaan
kesejahteraan
Negara
memperlakukan kebijaan sosial sebagai penganugerahan
hak-hak sosial
(the granting of sosial right) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut
mendapat jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dilanggar
(inviolable) serta diberikan berdasarkan basis kewargaan (citizenship), bukan
atas dasar kinerja atau kelas.
Dalam
hal ini, Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan
pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan dengan menjadikannya
sebagai hak warga yang diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang
disediakan negara.
Dalam tahap ketiga
merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan
kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan
taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian
negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, di mana
fokus pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam
fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan.
Desentralisasi (politik,
administratif dan fiskal) adalah penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumberdaya,
keuangan dan tanggungjawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia
mempunyai “tanggungjawab” mengurus barang-barang publik untuk dan kepada
rakyat. Secara teoretis tujuan antara desentralisasi adalah menciptakan
pemerintahan yang efektif-efisien, membangun demokrasi lokal dan menghargai
keragaman lokal. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dari perspektif governance,
misalnya, desentralisasi menyajikan janji perbaikan pelayanan publik dan
pengurangan kemiskinan. Desentralisasi memperbaiki governance dan
penyelenggaraan pelayanan publik dengan meningkatkan: (a) Efisiensi alokasi (allocative
efficiency) melalui penyesuaian secara lebih baik pelayanan publik terhadap
preferensi lokal dan (b) efisiensi produksi (productive efficiency)
melalui peningkatan akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal kepada
warga negara, birokrasi yang lebih ramping
Keduanya bisa dicapai antara lain
melalui beberapa saluran. Pertama, mekanisme partisipasi warga terhadap
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan anggaran. Kedua,
rencana pengelolaan sektor publik dan anggaran daerah yang meningkatkan
akuntabilitas dan responsivitas, misalnya kebijakan kepegawaian yang berbasis manfaat,
program-program aksi yang konkret, serta peraturan maupun perencanaan yang
meningkatkan akuntabilitas dan membatasi korupsi.
Pengurangan kemiskinan memerlukan
pengembangan institusi, dan perubahan struktur politik, perbaikan tata
pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat miskin. Desentralisasi
mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua pendekatan yang luas ini.
Desentralisasi mungkin memfasilitasi yang lebih efektif, seperti mempermudah
penargetan daerah, memperkuat akuntabilitas birokrasi, dan peningkatan
pengelolaan program pengurangan kemiskinan. Desentralisasi juga dapat
menawarkan kerangka kerja legal dan bertindak sebagai sebuah alat pendekatan
institusi terhadap pengurangan kemiskinan., seperti halnya desentralisasi
meningkatkan kekuasaan politik (empowerment) rakyat miskin melalui
partisipasi yang meningkat. Dengan demikian pemerintah daerah yang akuntabel
dan responsif, sekaligus partisipasi rakyat, merupakan dua kata kunci
desentralisasi yang memungkinkan terjadinya proses pengurangan kemiskinan,
termasuk agenda promosi kesejahteraan rakyat
Jalan menuju kesejahteraan bisa
ditempuh melalui tiga rute yang berbeda. Pertama, rute pelembagaan
negara kesejahteraan (welfare state) dari aras nasional. Ide negara
kesejahteraan tentu merupakan sebuah keniscayaan bagi Indonesia, mengingat ide
itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para founding fathers dalam
konstitusi. Kini kita butuh pembukaan, pendalaman, perluasan dan sampai pelembagaan
ide, wacana dan aksi negara kesejahteraan, misalnya menjadi welfare state
papers seperti halnya federalist papers di USA. Namun jalan menuju
negara kesejahteraan akan berhadapan dengan dua hal besar: ideologi dan
institusional. Secara historis negara kesejahteraan berakar pada ideologi
demokrasi sosial (jika bukan sosialisme) yang mempromosikan kapasitas negara
(yang kuat, aktif dan protektif tetapi tidak otoritarian) untuk memainkan
peran-peran redistribusi sosial kepada warga.
Kedua, rute kapitalisme melalui pertumbuhan ekonomi untuk mencapai
kemakmuran rakyat. Para pendukung rute ini berargumen bahwa rakyat bisa
sejahtera apabila mereka sudah makmur. Rakyat yang makmur akan dengan mudah
memperoleh akses atau mengadakan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan,
perumahan, transportasi, komunikasi, dan seterusnya, tanpa harus menunggu
uluran tangan dari negara. Kemakmuran bisa dicapai melalui pertumbuhan ekonomi
oleh kekuatan swasta atau dengan gerakan ekonomi rakyat. Pada skala mikro
kemakmuran bisa dicapai bila setiap individu atau rumah tangga bekerja keras,
belajar rajin, mengembangkan usaha ekonomi, memacu mobilitas sosial menjadi
orang-orang kelas menengah. Argumen ini memang betul, dan banyak individu yang
terbukti sukses melewati rute pertumbuhan, mobilitas dan kemakmuran kemudian
kesejahteraan. Tidak sedikit orang desa yang semula hidup pas-pasan tetapi
mereka berhasil karena mengembangkan usaha ekonomi atau karena mengenyam
pendidikan tinggi. Tetapi rute kapitalisme ini tidak mampu memotong “lingkaran
kemiskinan”. Lebih banyak orang miskin yang terbukti tidak mampu mengakses atau
menempuh rute kapitalisme secara mandiri, sebaliknya mereka justru menjadi
korban dari rute ini. Negara tentu tidak bisa membiarkan begitu saja rute
kapitalisme berjalan secara alamiah yang menciptakan penindasan terhadap kaum
miskin
Ketiga, promosi kesejahteraan dari bawah (daerah) melalui rute
desentralisasi dan otonomi daerah. Pengalaman tujuh tahun desentralisasi memang
menyajikan banyak ironi sehingga lebih banyak daerah di Indonesia yang tidak
membuat aksi-aksi konkret untuk mempromosikan kesejahteraan, meski pejabat dan
birokrat daerah sangat sadar bahwa tujuan akhir desentralisasi adalah untuk
meningkatkan kesjehteraan rakyat. Akan tetapi dari waktu ke waktu, satu demi
satu daerah tengah mengawal perubahan sehingga semakin banyak daerah yang
secara inkremental dan konsisten mempromosikan kesejahteraan. Semakin banyak
daerah yang melancarkan kebijakan pengurangan kemiskinan, pengembangan ekonomi
lokal, perbaikan pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan,
administrasi) dan alokasi dana desa (ADD) untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Meski belum radikal dan masih bersifat parsial, semakin banyak daerah
yang mampu mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan rakyat,
memperbaiki kualitas dan akses orang miskin pada pelayanan publik, serta
meningkatkan kapasitas otonomi desa. Semua ini tentu tidak berjalan secara
alamiah, tetapi membutuhkan komitmen elite lokal, reformasi birokrasi dan
anggaran daerah, serta partisipasi masyarakat. Jika ketiga hal ini terus
berkembang secara konsisten dan berkelanjutan, maka kesejahteraan rakyat akan
tumbuh dengan menggembirakan di masa-masa yang akan datang.
Langganan:
Postingan (Atom)