Minggu, 22 Januari 2012

Membongkar Cadar Hukum Perjanjian Perkawinan di Indonesia

Membongkar cadar hukum perjanjian perkawinan merupakan salah satu buku hukum perkawinan yang telah terbit di pasaran. Buku ini dapat dijadikan referensi bagi akademisi maupun praktisi. buku karya Ahmad Syahrus Sikti,S.HI yang merupakan Calon Hakim Agama tahun 2010 ini merupakan buku perdana yang dtulisnya semoga buku perdana ini bermanfaat bagi masyarakat luas

Selasa, 17 Januari 2012

IHDAD "MASA BERKABUNG"

A.    Pengertian Ihdad
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, ihdad berasal dari kata أَحَد َّّ dan biasa pula disebut الحِدَّةُ yang diambil dari kata حدُِّ Secara bahasa mereka mengartikan ihdad dengan المَنْعُ yang berarti cegahan atau larangan. 
Secara bahasa Ihdad berasal dari kata حَدَّ- يَِحِدُّ بِمَعْنَي وَحَدَّ المَرْأَةُ yang berarti tidak bersolek atau tidak berhias karena kematian suami.
Ihdad berasal dari suku kata حِدَادٌ yang berarti menanggalkan berhias karena duka cita.
Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti larangan yang memberikan hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian menurut Ibnu Dusturiyah. sedangkan Al-Farra mengatakan “disebut juga sebagai besi karena kekuatan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah lain. 
Ihdad dalam kamus Istilah Fiqih yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah: empat bulan sepuluh hari, dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa. Sedangkan menurut Ibnu Mansur, Ihdad adalah menanggalkan berhias dan bersolek untuk mempercantik diri.  Ihdad  artinya perkabungan perempuan yang kematian suami.
Dari definisi yang dikemukakan diatas terlihat bahwa pakaian yang dicelup warna baik pencelupan itu dilakukan ketika masih dalam bentuk kain, atau sudah menjadi pakaian, atau bahkan yang masih dalam bentuk benang sekalipun, tidak diperbolehkan dipakai dalam masa iddah kematian.
Dr. Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi ihdad:
تَرْكُ الطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ وَالكُحْلِ وَالدُهْنِ المُطِيْبِ وَغَيْرِ المُطِيْبِ
Artinya: Meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan ataupun tidak.
Selanjutnya Dr. Wahbah az-Zuhaili menegaskan yang dimaksud dengan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu wanita yang sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.
Sayid Sabiq juga memberikan definisi senada tentang ihdad. Menurutnya ihdad adalah:
تَرْكُ مَا تَزَيَّنَ بِهِ المَرْأَةُ مِنَ الحُلْيِ وَالكُحْلِ وَالحَرِيْرِ وَالطِّيْبِ وَالخِضَابِ 
Artinya: Meninggalkan bersolek seperti memakai perhiasan, celak mata, pakaian sutra, wangi-wangian dan inai.
Al-Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa ihdad menurut istilah adalah

وَ عَلَي المُتَوَفَّي عَنْهَا زَوْجُهَا الحِدَادُ وَهُو الأمْتِنَاعُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالطِّيْب ِ
Artinya: ihdad adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.
Hal ini diwajibkan atas seorang istri yang ditinggal mati suaminya, selama masa iddah dengan maksud untuk menunjukan kesetiaan dan menjaga hak-hak suami.
Sekalipun rumusan redaksional beberapa definisi diatas berbeda, namun inti pokoknya sama, yaitu masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dalam masa itu ia tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya. Dan tidak boleh juga bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan.  Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami.
Jika kita lihat arti kata berhias dalam kamus besar bahasa Indonesia, maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua,  memperbaiki, atau menjadikan baik (rapi).  Ibnu Jarir At- Thabari, mengartikan perhiasan adalah wajah dan dua telapak tangan, juga termasuk yang ada pada keduanya seperti celak, cincin, gelang dan khidab (pewarna tangan).
Wajah dan dua telapak tangan merupakan bagian anggota tubuh wanita yang tidak tertutup yang dalam hal ini bukan termasuk aurat menurut sebagian ulama, yang pada kebanyakan wanita memperindah bagian tubuh tersebut dengan perhiasan seperti celak, cincin, gelang, dan sebagainya.
Sedangkan untuk kondisi zaman yang semakin modern dengan teknologi yang semakin canggih, dapat membuat seluruh tubuh wanita dari ujung rambut sampai ujung kaki merupakan bagian yang dapat diperindah, sehingga makna berhias dan bentuk perhiasan menjadi semakin luas.
B.    Dasar Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi sepakat pendapatnya mengatakan bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita muslimah yang merdeka, selama masa iddah kematian suami.  Adapun landasan hukum disyariatkannya ihdad adalah sebagai berikut:
1.    Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 yang artinya
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Q.S (Al-Baqarah) :234

2.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ زَيْنَب بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ قَالَتْ : دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيْبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ، قَالَتْ زَيْنَبُ سَمِعْتُ أُمِّي أُمِّ سَلَمَةَ تَقُوْلُ : جَاءَتْ امرَأَةٌ إِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَّتْ عَيْنَاهَا أَفَتَكْتَحِلُهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ لاَ ( مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذلِكَ يَقُوْلُ لاَ ) ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا هِى أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (رواه مسلم ) 

Artinya: Dari Zainab binti Abi Salamah r.a. berkata: Dia datang ke rumah Ummu Habibah, Istri Nabi saw. Kata Zainab, aku mendengar Ummu Salamh menceritakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. Kemudian bertanya, wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karna sakit kedua matanya , bolehkah ia memakai celak untuk kedua matanya? Rasulullah menjawab, tidak boleh. Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. Setiap perkataannya tersebut dikatakannya tidak boleh. Kemudian beliau bersabda, sesungguhhnya ‘iddah wanita itu empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim).

3.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ حَبِيْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا أَرْبَعَةَ أَشَهُرٍ وَعَشْراً (رواه البخارى ومسلم) 
Artinya: Dari Ummu Habibah r.a. katanya: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak diperbolehkan berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari. HR. al- Bukhari dan Muslim)

4.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُحِدَّ إِمْرَأَةً عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَتَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا، إِلاَّ ثَوْبَ عَسْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلْ، وَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا إِلاَّ إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَو أَظْفَارٍ، متّفق عليه. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ. وَلأَبِي دَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ مِنَ الزِّيَادَةِ (وَلاَتَحْتَضِي)  (رواه النسائ) 

Artinya: Dari Ummu Athiyah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari, dan jangan ia pakai pakaian yang bercelup kecuali kain genggang dan jangan ia bercelak dan jangan memakai bau-bauan, kecuali kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar.

5.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ اُمِّ سَلَمَةِ قَالَتْ : جَعَلْتُ عَلَى عَيْنيِ صَبِِرًا بَعْدَ اَنِْ تُوَ فَّيَ اَبُو سَلمَةِ فَقَلَ رَسُوْلُ ا للهِ صَ مَ (اَِنَّهُ يَشِبُّ الوَجْهَ. فَلا تَجْعَلِيهِ اِلاّ بِااللَّيْلِ وَاَنْزَعِيْهِ بِالنَّهَارِ وَلاتمَتشِيطِي بِالطِّيْبِ، َولابِالحِنَّاءِ، فَانَّه خِضَابٌ) قُلْتُ بِأيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ ؟ قَالَ (بِالسِدْرِ) (رواه ابوداودوالنّسائيّ).
Artinya: Dari Ummu Salamah, ia berkata: sesudah wafat Abu Salamah saya pakai jadam dimata saya . maka Rasulullah saw. Bersabda :“Sesungguhnya ia itu mencantikan muka. Maka janganlah engkau pakai dia melainkan pada malam, dan buanglah dia pada siang, dan jangalah engkau bersisir dengan menggunakan barang wangi dan jangan dengan pacar, karena yang demikian itu celupan.” Saya bertanya : Dengan apa saya boleh bersisir ? Jawabnya : “Dengan bidara”.

6.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ حَفْصَةَ أَوْعَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : لَايَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَيَوْمِ الآخِرِ أَوْ تُؤمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ تَحِدَّ عَلَى مَيِتٍ فَوْقَ ثَلاثَةِ أيّامٍ إِلاّ عَلَى زَوْجِهَا (رواه النسائى) 
Artinya: Dari Hafsah atau dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir atau beriman kepada Allah dan Rasulnya berkabung karena kematian seorang kebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya.(HR an-Nasa’i)

7.    Hadis Nabi Muhammad SAW
كُنَّا نَنْهَي أَنْ تَحِدَّ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجٍ أَرْبَعَةََ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا َلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلاّ ثَوْبَ عُصْبٍ وَقَدْ رُخِصَ لَنَا عِنْدَ الطُهْرِ أَوْ أِغْتَسَلَتْ اَحَدٌ أنا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كِسْتِ أَظْفَارٍ (رواه أحمد و البخارى و مسلم و سنن اللأربعة )
Artinya: Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman, jangan memakai inai, dan menyisir rambut kecuali ia baru suci dari menstruasi, maka bolehlah ia mengambil sepotong kayu wangi. (HR: Ahmad, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)


8.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَ مَ قَالَ لَا تَحِدُّ أمْرَأَةٌ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجِ لِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا وَلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلّا ثَوْبَ عُصْرٍ وَلا تَكْتَحِلُ وَلا تَمَسُّ طِيْبًا أِلّا اِذَا طَهَرَتْ نُبْذَةٌ مِنْ قِسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ (رواه البخاري)
Artinya: Kami dilarang berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suami yaitu empat bulan sepuluh hari. Kami tidak memakai celak, tidak menggunakan pakaian yang diberi bahan pewarna, kecuali pakaian yaman dan tidak menggunakan wewangian. Sungguh kami diberi kemurahan ketika bersuci, yaitu jika salah seorang diantara kami mandi dan haid, maka diperbolehkan untuk menggunakan sedikit dari qust dan adhfar. (HR.  Bukhari).

9.    Hadis Nabi Muhammad SAW
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أِنَّ أبْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا، أَفَتَكْحِلُهَا؟ فَقَالَ: لاَ- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا،
Artinya : “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.”

Berdasarkan fakta sejarah bahwa pada jaman Rasul banyak wanita-wanita muslimah yang telah ditinggal mati suaminya yang melaksanakan masa ihdad atau berkabung selama masa iddah sebagai suatu ungkapan duka cita atas kematian suaminya dan beberapa hal hal yang berhubungan dengan ihdad seperti perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan selama masa berkabung dan hal-hal yang dilarang pula sehingga dari sejumlah hadits dan atsar di atas menjadi jelas bagi kita bahwa wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan. berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan bahwa hukum ihdad merupakan salah satu ajaran syariat Islam.
C.    Tujuan Ihdad
1.    Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1 menegaskan “Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan menjaga timbulnya fitnah.
2.    Selain itu yang menjadi pertimbangan ialah bahwa untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak istri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya
3.    Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya ihdad. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi dan Khulafa el-Rasyidin tidak pernah melakukan ihdad selain cerai mati.
4.    Bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam keadaan hamil, hikmah ihdad adalah selama empat bulan sepuluh hari sicalon bayi yang tengah berada dalam perut ibu akan sempurna penciptaannya, yaitu dengan ditiupkannya ruh adalah setelah seratus duapuluh hari berlalu. Sepuluh hari disebut  bentuk mu’anats yang dimaksudkan sebagai waktu malamnya.
D.    Dampak Ihdad
Kita ketahui bahwa bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi istrinya untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun bila si istri dalam keadaan hamil maka ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik masanya lama atau sebentar. Hal ini sesuai dengan pasal 170 Kompilasi Hukum Islam  yang berbunyi:
1.    Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya fitnah
2.    Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihdad merupakan hak syar’i dan merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul dengan bekas suaminya.  
Silang pendapat diantara fuqaha yang mewajibkannya atas wanita muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha yang menganggap ihdad sebagai suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami ma’nanya), maka mereka tidak mewajibkan atas wanita kafir, sedangkan bagi fuqaha yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami ma’nanya, yaitu untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah wanita yang berihdad memandang kepada lelaki, maka mereka mempersamakan antar wanita kafir dengan wanita muslimah.
Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabah (ahli kitab), para ulama berbeda pendapat. Menurut Jumhur kewajiban ihdad meliputi semua istri yang dinikahi secara sah, baik wanita yang masih kecil, dewasa, gila, muslimah atau kitabiah. Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak yang dijadikan istri.
Senada dengan pendapat jumhur adalah pendapat Imam Malik. Imam Malik menyatakan Wajib ihdad atas wanita kitabah, karena wanita kitabah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak wanita yang beragama Islam. Selain itu ihdad adalah ibadah yang tidak  dipahami maknanya yaitu menghindarkan wanita dari pandangan laki-laki atau sebaliknya. Karena itu wanita muslimah dan non muslimah termasuk kitabah sama-sama wajib ihdad. 
Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah, demikian juga pendapat As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi: “Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian berihdad dan seterusnya.” menunjukan bahwa syarat wanita yang berihdad adalah beriman, tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuan-ketentuan tentang ihdad pada diri wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas wanita non muslimah termasuk kitabiyah.
Akan hal silang pendapat fuqaha mengenai hamba mukatabah (hamba perempuan ynag menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal itu terjadi dari segi ketidak jelasan statusnya sebagai orang merdeka atau sebagai budak. Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad), maka hal yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari keduanya.
Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama ihdad disimpulkan pula oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu segala bentuk perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki, kecuali Sesuatu yang bukan dianggap sebagai perhiasan. Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan pemakaian celak mata kalau terpaksa, tetapi sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa celak itu bukan dianggap sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan bahwa pemakaian dilakukan hanya pada malam hari. 
Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang penggunaan celak mata. Perbedaan tersebut dilatar belakangi oleh pandangan mereka terhadap celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa celak mata itu sebagai perhiasan dan ada pula yang menganggap bukan perhiasan. Ibrahim Al-Bajuri rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut kepala atau selainnya.  Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad menggunakan cara lain. Bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti dokter, perawat dll, maka mereka boleh keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Demikian pula karena mereka berhadapan dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai parfum sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak dimaksudkan untuk berhias dan pamer.
Ibnu Qudamah  rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi wanita yang berihdad yaitu:
1.    Bersolek atau menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).
2.    Meninggalkan pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
3.    Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, pendapat Atha’ ini tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.
Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya. Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada siang hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana diterangkan di atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Seperti obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada alasan bagi yang berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata karena sakit mata Insya Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain.
Menurut satu pendapat bahwa tidak ada pakaian khusus bagi wanita yang berkabung. Ia boleh memakai pakaian biasa dengan menjauhkan diri dari bersolek dalam segala hal Adapun meyakini keharusan memakai pakian hitam saja bukan pakian lainnya adalah haram.
Begitupun ada satu pendapat yang menyatakan bahwa bagi wanita yang ditingal mati suaminya wajib melalui masa iddahnya dirumah yang ditempatinya bersama sang suami dan ditempat suaminya meninggal dunia dirumah itu. wanita tersebut tidak boleh pindah kecuali keadaan yang memaksa. Seperti contoh jika ia takut bahaya dalam kondisi seperti ini boleh pindah ketempat lain . misalnya ia merasa ketakutan jika tetap berada dirumah tersebut atau ia dipaksa untuk pindah dari rumah itu karena statusnya rumah sewaan. Atau misalnya pemilik rumah menyuruhnya untuk meninggalkan tempat tersebut atau dengan cara meminta uang sewaan lebih mahal dari biasanya. Maka kondisi seperti ini bisa pindah dari rumah tersebut kapan saja untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi.
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias.
Sabda nabi SAW yang berbunyi : “Dari jabir, ia berkata: bibiku telah ditalak tiga kali lalu ia keluar untuk memetik buah kurmanya kemudian ia berjumpa dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu mencegahnya. Kemudian bibiku datang kepada Nabi saw. “keluarlah dan petiklah buah kurmamu, barangkali engkau bisa bersedekah dari itu atau engkau bisa berbuat kebaikan.
Perkataan “memetik buah kurma” itu melihat zhahirnya, bahwa Nabi saw memberi ijin keluar untuk memetik buah kurma itu menunjukan bolehnya keluar kalau ada keeperluan dan yang sejenis dengan itu. sedangkan Imam Nawawi mengatakan: bab bolehnya keluar bagi perempuan yang ditalak bain dari rumahnya pada waktu siang untuk suatu keperluan.
Syeikh Abdullah Bin Baz  berkata: “Wanita yang sedang berkabung dibolehkan untuk mandi dengan air, sabun, bidara, kapan saja ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan orang lain yang ia kehendaki, ia boleh duduk-duduk bersama para mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka dan sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya, diperkarangan, diatap rumahnya baik siang atau malam dalam semua pekerjaan rumah seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, mencuci baju, memberi makan binatang ternak dan sebagainya sebagai mana dilakukan oleh wanita yang tidak berkabung dia juga boleh berjalan disaat terang bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya sebagaimana wanita lainnya. Dia juga boleh melepas kerudung jika tidak orang lain kecuali hanya mahramnya.”

Senin, 19 Desember 2011

Kebebasan Beragama atau Kemerdekaan Beragama ?


Pasal 29 UUD 1945 berbunyi :
“ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu “
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Dimana secara defacto bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamirkan oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Bagaimana pergulatan serta perjuangan untuk menuju sebuah kemerdekaan membutuhkan pengorbanan yang cukup banyak dari para pejuang kita terdahulu.
Sejarah perjuangan bangsa kita banyak diwarnai pergulatan juga dialektika, perjuangan para pejuang bangsa telah tertoreh dalam lembaran emas. Setelah kemerdekaan itu kita peroleh, sendi-sendi dasar terbentuknya suatu Negara juga dibuat. Undang-Undang Dasar Negara atau yang kita kenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara 1945 dan Pancasila menjadi pedoman hidup tata pelaksana pergaulan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agaknya kemerdekaan sesuatu yang amat mahal harganya, kini kita dihadapkan pada realitas kehidupan bahwa masih banyak dari kita yang masih saja berprilaku tidak baik tatkala kita berbeda. Kemajemukan adat istiadat, suku, agama yang mewarnai bumi Nusantara ini harusnya bisa menjadi kekayaan tak ternilai karena Tuhan memberi anugrah pada bumi tercinta ini untuk menjadi kebaikan bagi semua umat bukan untuk pribadi sendiri ataupun sekelompok orang.
Indahnya perbedaan itu seperti taman bunga yang warna-warni,bukan untuk dikoyak ataupun sampai ada tetesan darah yang keluar. Ungkapan judul di atas rasanya pas untuk menggambarkan situasi dan kondisi Indonesia saat ini. Merdeka berarti bebas, dalam konteks kebangsaan bebas dapat diinterpretasikan dengan bebas dari rasa takut, bebas untuk berbicara dan menyatakan pendapat, bebas untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing yang diyakini dll. Karena itu merupakan Hak Asasi kita. Tetapi memang, kenyataannya jauh api dari panggang bahwa kita belum bisa “ bebas “ dalam artian yang sesungguhnya terutama dalam kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya.
Hak untuk bebas memeluk agama dan kepercayaannya saat ini telah terdegradasi oleh sikap arogansi orang-orang yg tidak bertanggung jawab. Diskriminasi, intimidasi, serta bermacam perlakuan tidak baik masih diterima minoritas. Mayoritas menggencet minoritas, tentunya sikap ini telah melanggar Hak Asasi kita sebagai umat manusia, padahal jelas-jelas dalam konstitusi kita Negara menjamin kebebasan yang dimaksud seperti yang termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945.
Itulah kenapa “ founding father “ kita meletakkan dasar Negara kita yaitu Pancasila bukan berdasarkan pada satu agama. Sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berdasar agama tertentu karena sebagai satu bangsa kita terdiri dari berbagai macam agama juga kepercayaan. Jangan sampai akibat yang ditimbulkan dari perbedaan itu memicu konflik yang lebih besar yang bisa saja memecah persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai “ Bhineka Tunggal Ika “. Kita kehilangan “ Jati Diri “ sebagai entitas suatu bangsa.
Tengoklah sejarah dulu saat Soekarno membacakan pidatonya di depan siding BPUPKI tentang Dasar Negara daripada Indonesia beliau mentamzilkan bahwa kemerdekaan itu adalah “ jembatan Emas “ diseberangnya “jembatan emas “ itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Kini kita sudah meniti “ jembatan Emas “ itu tapi kita tidak mampu mengisi kemerdekaan itu dengan baik malah sesama anak bangsa kita bertikai. Bolehkah dalam alam negeri ini kita menghakimi bahkan memaksakan agama dan kepercayaan kita terhadap orang lain, mengucilkan minoritas,mencaci, padahal Tuhan menciptakan kita pun berbeda-beda. Tapi bukan kah perbedaan itu sesungguhnya bisa menghasilkan harmonisasi apabila kita bisa mengemasnya jika saling menghormati juga menghargai satu sama lai
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk memeluk agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di luar keenam agama tersebut, bolehkah kita menganutnya? Lebih tegas lagi, bolehkah agama yang lain itu disebutkan di dalam kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) kita? Bahkan yang ekstrim, bolehkah kita menjadi warga negara yang tidak menganut suatu agama alias ateis?
Apakah di Indonesia kebebasan beribadah setiap warga negara dijamin secara hukum? UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyebutkan hal itu. Tapi, harap dipahami secara kritis, yang dijamin itu adalah “kebebasan untuk beribadah menurut agama tertentu dari enam agama yang diakui oleh negara”. Keenam agama yang dimaksud adalah: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Jika kita beribadah menurut ajaran agama di luar keenam agama tersebut, bolehkah? Fakta bicara, seiring waktu, akan ada pihak-pihak yang melaporkannya kepada penguasa atau pemimpin umat yang dominan sehingga kelak kelompok agama yang lain itu dicap”sesat” dan akhirnya dilarang beraktivitas atau bahkan dibubarkan eksistensinya.
Berdasarkan itu, maka secara logis dapatlah kita katakan bahwa kebebasan beragama dan kebebasan beribadah di Indonesia bukanlah kebebasan yang sejati sebagaimana yang dimaksud oleh teori maupun konsep tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, dalam perspektif HAM, kebebasan harus berdimensi dua: 1) kebebasan dari tekanan, belenggu, paksaan, dan yang sejenisnya; 2) kebebasan untuk berpikir, berekspresi, berkumpul, dan yang sejenisnya Berdasarkan pikiran-pikiran di atas, maka janganlah heran jika di Indonesia terdapat fakta-fakta berikut:
Pertama, sejak 1945 hingga kini sudah lebih dari 1000 gedung gereja yang ditutup paksa atau dihancurkan, baik oleh kelompok umat non-Kristen maupun oleh aparat pemerintah sendiri.
Kedua, ada komunitas-komunitas umat beragama yang dilarang untuk beraktivitas, dijatuhi hukuman penjara, dan bahkan dibubarkan eksistensinya oleh pemerintah.
Ketiga, keinginan mendirikan bangunan rumah ibadah kerap terhambat oleh peraturan-peraturan yang sama sekali tidak berkaitan dengan hal-hal di seputar bangunan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal lain seperti berapa banyak umat yang akan beribadah di rumah ibadah yang akan dibangun itu, berapa banyak warga sekitar yang setuju dengan rencana pembangunan rumah ibadah tersebut, dan lainnya.
Keempat, berkaitan dengan fakta pertama, sangat sedikit dari orang-orang yang melakukan penutupan paksa dan atau perusakan terhadap rumah ibadah tersebut yang dijatuhi hukuman oleh negara.
Terkait kebebasan beragama dan kebebasan beribadah, umat Islam adalah komunitas agama yang paling banyak mendapatkan privilese di negara ini. Wajar saja, karena Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di negara ini (meskipun di sejumlah daerah bisa saja umat Islam terkategori minoritas). Tetapi, menjadi tidak wajar jika negara dalam banyak hal cenderung menjadikan Islam sebagai “primadona”. Karena, sejatinya negara, apalagi yang berbentuk republik dan berlandaskan sistem demokrasi, harus berdiri di atas semua golongan.
Aspirasi pelbagai kelompok untuk memasukkan Islam ke dalam produk-produk hukum positif tak pernah pupus sejak 1945 sampai sekarang. Pantas saja, karena negara pun tidak pernah secara tegas menyatakan bahwa “semua produk hukum di negara hukum (rechstaat) ini tidak boleh bernuansa agama tertentu, baik implisit apalagi eksplisit”. Pantas saja, karena faktanya sejak dulu terdapat produk-produk hukum positif yang bernuansa agama tertentu namun dibiarkan saja oleh negara. Maka, pantas jugalah jika faktanya terdapat beberapa partai politik yang salah satu impiannya adalah membuat semakin banyak produk hukum yang bernuansa agama tertentu, cukup banyak elit politik yang salah satu agenda perjuangannya adalah memasukkan aspirasi agamanya ke dalam produk-produk hukum positif, cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak paham tentang prinsip-prinsip pembuatan hukum di daerah sebagaimana seharusnya, dan cukup banyak pejabat/aparat pemerintah yang tidak mampu memerankan dirinya sebagai negarawan sejati atau pemimpin yang nasionalis.  
Selama ini aparat kepolisian kerap ragu dalam bersikap dan bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok massa berlabel agama yang melakukan aksi-aksi brutal terhadap komunitas-komunitas agama lain disebabkan minimnya pemahaman para aparat tersebut terhadap hukum dan HAM. Inilah yang mestinya dijadikan salah satu agenda mendesak oleh negara: membekali terus-menerus setiap aparat kepolisian dengan pemahaman yang benar tentang hukum dan HAM. Dalam rangka itu pula negara seharusnya terus-menerus mendorong setiap aparat kepolisian untuk berani bersikap dan bertindak tegas. Selain itu negara juga harus memberikan jaminan perlindungan hukum bagi aparat kepolisian yang mungkin dipermasalahkan secara hukum serta dukungan finansial bagi aparat kepolisian yang mengalami kerugian.
Sebenarnya masih ada beberapa pokok pikiran lain yang ingin saya kemukakan terkait diskusi kita tentang kebebasan beragama dan kebebasan beribadah ini. Namun, disebabkan keterbatasan waktu, maka izinkan saya mengakhirnya dengan beberapa usulan yang kiranya dapat diartikulasikan secara bersama menjadi isu-isu politik di masa-masa mendatang.
Pertama, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk menegaskan dirinya sebagai “negara sekuler” atau “negara yang bukan sekuler tapi juga bukan negara agama”. Jika yang pertama tercapai, niscayalah kebebasan beragama dan kebebasan beribadah tidak menjadi masalah besar kita di masa-masa mendatang.
Kedua, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia yang telah semakin modern secara politik ini untuk membuat konsensus nasional tentang “apa itu kebebasan beragama” dan bahkan merumuskannya di dalam sebuah perundang-undangan (sebutlah namanya UU Kebebasan Beragama).
Ketiga, adalah hal yang sangat penting bagi Indonesia untuk mewujudkan supremasi hukum di dalam pelbagai aspek kehidupan dan di seluruh wilayah hukumnya. Artinya, biarlah hanya hukum negara yang menjadi pedoman setiap warga negara dalam mereka bertindak di ruang-ruang publik yang formal – alih-alih berpedoman pada syariat atau aturan agama.

Rabu, 07 Desember 2011

Teori Pembangunan Organski


Sebelum terjadinya sebuah negara utuh, ada golongan-golongan kecil yang belum tersatukan. Maka peran pemerintah mulai menyatukan negara-negara bagian tersebut, pemerintah mulai menyatukan suku-suku kecil tersebut yang tujuannya tidak lain untuk menuju satu kesatuan negara yang utuh. Untuk menyatukan suatu masyarakat yang luas perlu adanya upaya yang besar dan sungguh-sungguh yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Seperti menyatukan pandangan, membuat konstitusi dasar, unifikasi hukum peraturan perundang-undangan, dll. Namun dalam tahap seperti ini, ada beberapa kendala atau permasalahan serius yang dihadapi seperti :
1.      Stabilitas keamanan yang belum memadai
2.      Stabilitas politik yang masih bergemuruh
3.      Banyaknya paradigma dan cara berfikir masyarakat tentang tujuan negara sehingga melahirkan konflik-konflik kecil
Negara-negara yang terbentuk sekarang merupakan hasil dari proses panjang sehingga terbentuk mejadi suatu negara yang benar-benar diakui secara de facto dan de jure. Proses panjang ini hampir ditempuh oleh semua bangsa dan negara yang mulai dari kumpulan masyarakat yang sifatnya kecil, komunal dan hanya ada beberapa orang saja, yang biasanya mereka hanya tinggal di suatu tempat yang berhubungan langsung dengan mata pencaharian mereka. Di mana kehidupan mereka sudah merupakan gambaran miniatur sebuah negara, komunal-komunal ini dipimpin oleh kepala yang kalau dalam suatu suku maka dia akan dipimpin oleh kepala suku yang akhirnya kehidupan manusia akan berkembang seiring dengan bertambahnya jumlahnya manusia dan semakin kompleknya permasalahan kehidupan manusia yang akhirnya melahirkan kesepakatan-kesepakatan baru di antara mereka tentang kehidupan mereka.
Kehidupan yang dulu sifatnya kesukuan, kemudian berkembang menjadi kehidupan yang lebih kompleks menjadi kerajaan-kerajaan dan dinasti-dinasti yang mengatur kehidupan yang lebih kompeks dan wilayah yang lebih luas dan kemudian pada tahap perkembangan selanjutnya ada yang tetap menjadi menjadi negara kerajaan dan dinasti dan tetap memegang aturan-aturan yang sifatnya memegang tradisi kalaupun dalam lingkungan yang terbatas seperti kerajaan Inggris dan dinasti di Jepang dan Cina.
Kehidupan yang dijalani semua bangsa dalam proses pembentukannya mengalami kesulitan mulai dari proses yang primitif sampai menjadi negara yang modern seperti kebanyakan negara-negara pada abad 21 sekarang ini. Kesulitan itu adalah mempersatukan rakyat yang belum terikat kuat. Dalam tahap ini, tugas pokok yang juga harus segera dimulai adalah melakukan modernisasi dalam banyak hal. Sistem yang lama, baik sosial, pertanian maupun ekonomi yang masih bersifat feodal (kuno) harus segera digantikan oleh sistem yang baru (modern). Organski tidak memberi anjuran secara detail bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang sedang muncul, kecuali melakukan modernisasi sesegera mungkin pada saat problem unifikasi diselesaikan. Organski ’’membiarkan’’ negara-negara yang baru merdeka untuk menentukan sendiri jalan apa yang terbaik.
Dalam proses menyatukan keutuhan negara banyak terjadi permasalahan internal seperti konflik dalam negeri, konflik antar partai politik sehingga stabilitas negara pun bergoyang. Peranan pemerintah pusat harus kuat dalam menstabilkan negara. Jika tidak kuat maka para investor asing pun enggan menanamkan modalnya di dalam sebuah negara. Dalam tahap ini segera mungkin pemerintah memodernisasi masyarakat sehingga akan menuju proses industrialisasi yang pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat, jika pemerintah lambat memodernisasi maka akan sulit pemerintah untuk menyatukan berbagai macam suku, negara- negara bagian untuk disatukan.
Proses moderniasi tentunya tidak terlepas dipersiapkannya sumber daya manusia yang unggul dengan cara melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan dll agar masyarakat tidak asing lagi menggunakann teknologi canggih pada yang akan datang demi kehidupan yang lebih baik.
Pada tahap unifikasi ini, stabilitas politik dan keamanan suatu negara harus kuat karena pada tahap pertama ini sangat berpengaruh untuk kelangsungan tahap perkembangan industrialisasi, jika pada tahap unifikasi ini masih terdapat konflik politik, bentrok keamanan antar warga dan suku, maka sulit untuk mewujudkan proses yang selanjutnya. Bagaimana seorang investor akan menanamkan modalnya jika suatu kondisi negara sedang tidak stabil. Perlu adanya pembelajaran bagi seluruh masyarakat tentang cara pandang dan hidup yang sama sehingga tidak menimbulkan paradigma yang berbeda dari yang sebenarnya. Permasalahan-permasalahan konflik politik dan konflik masyarakat harus segera diredam dan dicari jalan keluar agar menemukan win win solution di antara konflik tersebut sehingga tidak berkelanjutan.

Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang merubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi
Dalam Industrialisasi ada perubahan filosofi manusia dimana manusia merubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih kepada rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi). Ada faktor yang menjadi acuan modernisasi industri dan pengembangan perusahaan. Mulai dari lingkungan politik dan hukum yang menguntungkan untuk dunia industri dan perdagangan, bisa juga dengan sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan juga sumber daya manusia yang cenderung rendah biaya, memiliki kemampuan dan bisa beradaptasi dengan pekerjaannya
Dalam tahap industrialisasi ini ada beberapa permasalahan yang dapat dikemukakakan, yaitu :
1.      Urbanisasi
Terpusatnya tenaga kerja pada pabrik – pabrik di suatu daerah, sehingga daerah tersebut berkembang menjadi kota besar.
2.      Eksploitasi tenaga kerja
Pekerja harus meninggalkan keluarga agar bisa bekerja di mana industri itu berada
3.      Lingkungan hidup
Industrialisasi menimbulkan banyak masalah penyakit. Mulai polusi udara, air, dan suara, masalah kemiskinan, alat alat berbahaya, kekurangan gizi. Masalah kesehatan di Negara industri disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial politik, budaya dan juga pathogen
Proses industrialisasi bisa dipahami melalui konsep pembangunan, karena arti pembangunan dan industrialisasi seringkali dianggap sama. Konsep pembangunan bersifat dinamik, karena konsep itu bisa berubah menurut lingkupnya. Apabila pembangunan itu dihubungkan pada setiap usaha pembangunan dunia, maka pembangunan akan merupakan usaha pembangunan dunia. Industrialisasi sebagai proses dan pembangunan industri berada pada satu jalur kegiatan, yaitu pada hakekatnya berfungsi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat. Industrialisasi tidaklah terlepas dari upaya peningkatan mutu sumber daya manusia, dan pemanfaatan sumber daya alam
Proses industrialisasi merupakan langkah awal menuju modernisasi sistem politik yang berorientasi pada interaksi antara negara dan masyarakat. Pembangunan ekonomi yang dilakukan guna meningkakan kesejahteraan masyarakat suatu negara, cepat akan mendorong negara tersebut mengembangkan sistem politiknya sebagai sebagai sebuah kebutuhan mengamankan aset-aset ekonomi.
Pada tahap ini pemerintahan berfungsi untuk mendorong tumbuhnya industri dan modernisasi ekonomi yang dilakukan salah satu dari tiga tipe ideologis di dalam negara: borjuis, stalinis, dan fasis. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan.
Organzki juga menyebutkan tahap selanjutnya setelah tahap unifikasi tradisional yaitu negara masuk pada tahap ndustrialisasi, di mana negara mulai membangun dan berupaya memperkuat perekonomian dengan industrialisasi, pola pembangunan lewat industrialisasi merupakan pilihan yang ideal yang harus ditempuh, terutama oleh negara-negara maju seperti negara-negara di Eropa Barat. Perkembangan ini ditandai oleh proses industrialisasi di Inggris. Abad ke 18 merupakan titik kemajuan proses industrialisasi di Inggris di mana ditemukan berbagai inovasi terutama inovasi teknologi yang mendorong ditemukan mesin-mesin industri pabrik. Pilihan melakukan industrialisasi merupakan yang terbaik karena keunggulan komparatif negara-negara barat terletak pada produk-produk industri dan teknologi. Politik industrialisasi secara implisit masih terjadi di Indonesia, di mana proses industrialisasi dan pembangunan infrastruktur pendukung industri terus dilakukan, terlebih krisis yang melanda Indonesia tahun 1998 membuat Indonesia bertahan lebih lama di fase ini.
Fungsi primer pemerintah pada tahap industrialisasi adalah melindungi pengusaha yang memiliki modal untuk mempercepat laju industri, sedangkan dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, di mana fokus pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan. Di sini mulai terjadi peralihan kekuasan dari elite tradisional ke manajer industri, pemupukan modal untuk industri, dan migrasi penduduk dari desa (pinggiran) ke perkotaan.
Secara ekonomis, terjadi peningkatan modal di atas pertumbuhan penduduk. Kesempatan-kesempatan baru mulai tercipta, investasi meningkat, terjadi pergeseran sektor pertanian ke industrilalisasi. Prasarana transportasi lebih terbuka dan menjadi kebutuhan untuk melakukan kegiatan perdagangan. Secara sosiologis, masyarakat lebih terbuka melakukan komunikasi dengan pihak lain. Terjadinya interaksi sosial yang lebih luas, yang pada akhirnya melahirkan tuntutan baru non ekonomis, yaitu politik
Dalam tahap ini pemerintah lebih mengedepankan hak hak pengusaha dibanding dengan hak-hak pekerja karena memiliki tujuan untuk mendapatkan margin yang tinggi guna pengusaha atau investor tersebut menanamkan modalnya di Indonesia. Aturan-aturan hukum lebih condong kepada kepentingan pengusaha dan bukan berarti haknya buruh diabaikan. Setelah ini, maka akan banyak dan berkembangnya industri-industri yang tumbuh yang akan membuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat luas yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Jika terjadi permasalahan antara investor dan buruh kerja, perlu adanya usaha musyawarah agar menghasilkan keputusan yang sifatnya win win solution bagi kedua belah pihak, dan jika tidak ditemukan kesepakatan  akan permasalahan tersebut, maka dalam tahap ini akan tetap lebih diutamakan kepentingan investor. Dalam tahap ini margin atau modal bagi perkembangan industrialisasi di sebuah negara sangat diperlukan.
Selain permasalahan ketenagakerjaan, urbanisasi pun bisa menjadi hambatan bagi perkembangan industri karena masyarakat primitif akan pidah ke tempat di mana industri-industri itu menjamur. Peran pemerintah adalah menciptakan industri-industri baru secara merata di setiap wilayah agar tidak terjadi kepadatan penduduk di suatu wilayah tertentu. Jika tidak diatasi permasalahan ini maka besar kemungkinan akan timbul permasalahan baru akibat tingginya peningkatan penduduk akibat urbanisasi secara sosial
Dalam tahap mini pun ada permasalahan serius yakni, akibat proses industrialisasi yang tentunya melahirkan industri-industri, akan berakibat terhadap pencemaran lingkungan setempat. Pemerintah harus memperhatikan kondisi tersebut. Mulai dari pembangunan awal industri dengan analisis dampak lingkungannya setelah itu proses penyaluran limbahnya yang diperhatikan dan akibat kerusakan lingkungan dari industri-industri tersebut karena walau bagaimanapun proses industri yang besar tanpa adanya perhatian terhadap lingkungan sekitar dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan baru yang lain seperti kerusakan lingkungan seperti lumpur Lapindo Brantas
Dalam tahap industrialisai kepentingan investor lebih diutamakan daripada kepentingan buruh. Maka untuk kepentingan investor itu tidak abaikan dibuatlah aturan-aturan hukum yang sifatnya lebih mengutamakan kepentingan investor terbut. Sebaiknya dalam tahap ini perlu diperhatikan pula hak-hak buruh agar tidak terjadi diskriminasi yang nantinya akan menimbulakn konflik anatara investor dan buruh. Jika investor sudah nyaman dengan kondisi politik dan hukum yang pro akan kepentingannya maka diharapkan para investor-investor tersebut akan mengeluarkan margin yang lebih besar untuk pembangunan industri yang lainnya. Dan jika pada tahap ini aturan hukum dan politik tidak pro terhadap kepentingan investor maka besar kemungkinan investor tersebut enggan menanamkan modalnya di sebuah negara.
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju 

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Negara memiliki kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya. Kekuasaan, dalam arti kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain, dalam ilmu politik biasanya dianggap bahwa memiliki tujuan demi kepentingan seluruh warganya. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang berperan sebagai penyelenggara negara adalah semata-mata demi kesejahteraan warganya.
Negara merupakan aktor pertama dan utama yang bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan kepada rakyatnya, terutama memainkan peran distribusi sosial (kebijakan sosial) dan investasi ekonomi (kebijakan ekonomi). Fungsi dasar negara adalah mengatur untuk menciptakan law and order dan mengurus untuk mencapai welfare/kesejahteraan. Ada beberapa permasalahan ,mengenai negara kesejahteraan yakni : 
1.      Dalam mencapai welfare state di suatu negara mencakup daya politik warga negara, sejauhmana warga negara dan partai politik memiliki imajinasi dan cita-cita yang mampu mengatasi kebijakan yang domina selama ini.
2.      Erat kaitannya dalam mengemborkan walfare staat dari suatu negara, namun proses ini terkadang masih jauh dari harapan dan janji-janji kesejahteraan
Negara kesejahteraan sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari hak-hak warga negara. Hak-hak warga negara tersebut, antara lain hak sipil, hak politik dan hak sosial, selama 300 tahun secara perlahan berhasil diakui dan terpenuhi. Hal sipil (kebebasan berbicara) warga diakui dan dipenuhi pada abad ke-18, hak politik (hak memilih dalam pemilu) diakui dan dipenuhi pada abad ke-19, dan hak sosial (kesejahteraan dan jaminan sosial) diakui dan dipenuhi pada abad ke-20. Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi) dengan menjadikan hak setiap warga sebagai alasan utama kebijakan sebuah negara. Negara, dengan demikian, memberlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan dan tidak dapat dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasar atas dasar kewargaan (citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas
Negara Kesejahteraan, pada dasarnya mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisasikan perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Negara kesejahteraan merupakan buah dari integrasi ekonomi kapitalistik yang mencapai masa emas sejak akhir abad ke-19 dengan industrialisasi sebagai faktor pemicunya. Awalnya, kebijakan negara kesejahteraan ini merupakan upaya untuk mengendalikan ancaman mobilisasi politik dan gerakan radikal dari kelas pekerja baru yang terbentuk setelah industrialisasi sekaligus mengukuhkan kesetiaan kelas baru tersebut pada negara (nation state building)
Negara kesejahteraan hadir bukanlah sebagai satu entitas yang berwajah tunggal. Luas cakupan dan ragam kebijakan sosial yang diterapkan oleh masing-masing Negara kesejahteraan (welfare state). Setidaknya ada dua tipologi Negara kesejahteraan, yaitu residual welfare state dan institutional welfare state. Residual welfare state mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan berlaku, jika dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marjinal serta mereka yang patut mendapatkan alokasi kesejahteraan dari negara. Sedangkan institutional welfare state bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta terlembagakan dalam basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat
Negara kesejahteraan amat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada masing-masing negara (welfare regims). Pengaruh ini terjadi terutama terhadap kemampuan negara tersebut memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan melalui kebijakan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola intraksi dan saling keterkaitan dalam produksi dan alokasi kesejahteraan antar negara, rezim pasar dan keluarga/rumah tangga. Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia kesejahteraan dan tempat individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko sosial. Namun, tidak selamanya negara menjadi aktor tunggal dalam penyediaan kesejahteraan
Negara memperlakukan kebijaan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial (the granting of sosial right) kepada warganya. Hak-hak sosial tersebut mendapat jaminan seperti layaknya hak atas properti, tidak dilanggar (inviolable) serta diberikan berdasarkan basis kewargaan (citizenship), bukan atas dasar kinerja atau kelas.
Dalam hal ini, Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan dengan menjadikannya sebagai hak warga yang diperoleh melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan negara.
Dalam tahap ketiga merupakan tugas pemerintah untuk melindungi rakyat terhadap kesulitan-kesulitan kehidupan industri, untuk menjaga supaya ekonomi berjalan lancar, memberikan taraf kehidupan yang lebih tinggi yang lama mereka dambakan. Sebagian negara-negara maju dan negara berkembang sedang menjalan fase seperti ini, di mana fokus pemerintahan adalah mensejahterakan rakyatnya dengan berbagai macam fasilitas publik, pendidikan dan kesejahteraan.
Desentralisasi (politik, administratif dan fiskal) adalah penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumberdaya, keuangan dan tanggungjawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia mempunyai “tanggungjawab” mengurus barang-barang publik untuk dan kepada rakyat. Secara teoretis tujuan antara desentralisasi adalah menciptakan pemerintahan yang efektif-efisien, membangun demokrasi lokal dan menghargai keragaman lokal. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat.
Dari perspektif governance, misalnya, desentralisasi menyajikan janji perbaikan pelayanan publik dan pengurangan kemiskinan. Desentralisasi memperbaiki governance dan penyelenggaraan pelayanan publik dengan meningkatkan: (a) Efisiensi alokasi (allocative efficiency) melalui penyesuaian secara lebih baik pelayanan publik terhadap preferensi lokal dan (b) efisiensi produksi (productive efficiency) melalui peningkatan akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal kepada warga negara, birokrasi yang lebih ramping
Keduanya bisa dicapai antara lain melalui beberapa saluran. Pertama, mekanisme partisipasi warga terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dan anggaran. Kedua, rencana pengelolaan sektor publik dan anggaran daerah yang meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas, misalnya kebijakan kepegawaian yang berbasis manfaat, program-program aksi yang konkret, serta peraturan maupun perencanaan yang meningkatkan akuntabilitas dan membatasi korupsi.
Pengurangan kemiskinan memerlukan pengembangan institusi, dan perubahan struktur politik, perbaikan tata pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat miskin. Desentralisasi mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua pendekatan yang luas ini. Desentralisasi mungkin memfasilitasi yang lebih efektif, seperti mempermudah penargetan daerah, memperkuat akuntabilitas birokrasi, dan peningkatan pengelolaan program pengurangan kemiskinan. Desentralisasi juga dapat menawarkan kerangka kerja legal dan bertindak sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan kemiskinan., seperti halnya desentralisasi meningkatkan kekuasaan politik (empowerment) rakyat miskin melalui partisipasi yang meningkat. Dengan demikian pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif, sekaligus partisipasi rakyat, merupakan dua kata kunci desentralisasi yang memungkinkan terjadinya proses pengurangan kemiskinan, termasuk agenda promosi kesejahteraan rakyat 
Jalan menuju kesejahteraan bisa ditempuh melalui tiga rute yang berbeda. Pertama, rute pelembagaan negara kesejahteraan (welfare state) dari aras nasional. Ide negara kesejahteraan tentu merupakan sebuah keniscayaan bagi Indonesia, mengingat ide itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para founding fathers dalam konstitusi. Kini kita butuh pembukaan, pendalaman, perluasan dan sampai pelembagaan ide, wacana dan aksi negara kesejahteraan, misalnya menjadi welfare state papers seperti halnya federalist papers di USA. Namun jalan menuju negara kesejahteraan akan berhadapan dengan dua hal besar: ideologi dan institusional. Secara historis negara kesejahteraan berakar pada ideologi demokrasi sosial (jika bukan sosialisme) yang mempromosikan kapasitas negara (yang kuat, aktif dan protektif tetapi tidak otoritarian) untuk memainkan peran-peran redistribusi sosial kepada warga.
Kedua, rute kapitalisme melalui pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran rakyat. Para pendukung rute ini berargumen bahwa rakyat bisa sejahtera apabila mereka sudah makmur. Rakyat yang makmur akan dengan mudah memperoleh akses atau mengadakan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, komunikasi, dan seterusnya, tanpa harus menunggu uluran tangan dari negara. Kemakmuran bisa dicapai melalui pertumbuhan ekonomi oleh kekuatan swasta atau dengan gerakan ekonomi rakyat. Pada skala mikro kemakmuran bisa dicapai bila setiap individu atau rumah tangga bekerja keras, belajar rajin, mengembangkan usaha ekonomi, memacu mobilitas sosial menjadi orang-orang kelas menengah. Argumen ini memang betul, dan banyak individu yang terbukti sukses melewati rute pertumbuhan, mobilitas dan kemakmuran kemudian kesejahteraan. Tidak sedikit orang desa yang semula hidup pas-pasan tetapi mereka berhasil karena mengembangkan usaha ekonomi atau karena mengenyam pendidikan tinggi. Tetapi rute kapitalisme ini tidak mampu memotong “lingkaran kemiskinan”. Lebih banyak orang miskin yang terbukti tidak mampu mengakses atau menempuh rute kapitalisme secara mandiri, sebaliknya mereka justru menjadi korban dari rute ini. Negara tentu tidak bisa membiarkan begitu saja rute kapitalisme berjalan secara alamiah yang menciptakan penindasan terhadap kaum miskin
Ketiga, promosi kesejahteraan dari bawah (daerah) melalui rute desentralisasi dan otonomi daerah. Pengalaman tujuh tahun desentralisasi memang menyajikan banyak ironi sehingga lebih banyak daerah di Indonesia yang tidak membuat aksi-aksi konkret untuk mempromosikan kesejahteraan, meski pejabat dan birokrat daerah sangat sadar bahwa tujuan akhir desentralisasi adalah untuk meningkatkan kesjehteraan rakyat. Akan tetapi dari waktu ke waktu, satu demi satu daerah tengah mengawal perubahan sehingga semakin banyak daerah yang secara inkremental dan konsisten mempromosikan kesejahteraan. Semakin banyak daerah yang melancarkan kebijakan pengurangan kemiskinan, pengembangan ekonomi lokal, perbaikan pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, administrasi) dan alokasi dana desa (ADD) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meski belum radikal dan masih bersifat parsial, semakin banyak daerah yang mampu mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan rakyat, memperbaiki kualitas dan akses orang miskin pada pelayanan publik, serta meningkatkan kapasitas otonomi desa. Semua ini tentu tidak berjalan secara alamiah, tetapi membutuhkan komitmen elite lokal, reformasi birokrasi dan anggaran daerah, serta partisipasi masyarakat. Jika ketiga hal ini terus berkembang secara konsisten dan berkelanjutan, maka kesejahteraan rakyat akan tumbuh dengan menggembirakan di masa-masa yang akan datang.