Rabu, 30 November 2011

UNDANG UNDANG MAHKAMAH AGUNG LINTAS POLITIK DAN HUKUM

Pendahuluan
Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu badan atau lembaga negara yang memegang tugas pelaksanaan kekuasaan kehakiman, di samping badan kehakiman lain yang juga menjadi pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.  Menarik kiranya untuk menelusuri jejak sumber serta kriteria kekuasaan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negara ini. (Muhtar Kusumaatmaja)
Dalam rangka upaya di atas, pengaturan tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang selama ini masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13. Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, selain itu, dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya dan mulai berlaku. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi Mahkamah Agung. Sehingga lahirlah Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
A.                 Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Lembaga Peradilan telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan keyakinan bangsa Indonesia, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Usaha Belanda menghapuskan lembaga tersebut tidak berhasil, dan karenanya, wajar apabila masyarakat Indonesia sangat mendambakan segera keluarnya Undang-Undang Mahkamah Agung sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Makna kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya dengan kekuasaan peradilan atau judicial power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia ti­dak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang menunjuk ke arah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluamya Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946, ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Baru dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
Di jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-Undang (Osamu Seirei) No. 2 Tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan.
Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada di bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan bersama di bawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 Tahun 1961) di bawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung. (Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21 Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara Bagian di satu pihak
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa di semua negara-negara bagian di lain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan, masing-masing negara Bagian. Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indo­nesia Serikat adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. Tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodig­do menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo. Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 (LN. Tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan Peradilan Umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang No. 13 Ta­hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950 tidak berlaku lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950.
Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1.      Peradilan Umum
2.      Pemdilan Agama
3.      Peradilan Militer
4.      Peadilan Tata Usaha Negara.
Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut:
1.      Fungsi Paradilan
2.      Fungsi Pengawasan
3.      Fungsi Pengaturan
4.      Fungsi Memberi Nasehat
5.      Fungsi Administrasi.
Kemudian revisi Undang-undang Mahkamah Agung (UU MA) akhirnya tetap disahkan oleh DPR RI menjadi UU, pada Kamis 18 Desember 2008 jam 09.30 WIB malam, meskipun ada satu fraksi menolak dan satu fraksi memberi nota keberatan. Kekuatan politik yang ada di DPR yang terwakili oleh mayoritas fraksi-fraksi menyetujui pengesahan RUU tersebut.
            Pengesahan ini mengakhiri kontroversi yang berkembang di masyarakat sebelumnya tentang adanya pro dan kontra dalam RUU MA khususnya yang menyangkut usia pensiun Hakim Agung. Awalnya RUU tentang perubahan UU Mahkamah Agung rencananya akan disahkan DPR September lalu, sebelum Ketua MA Bagir Manan memasuki usia pensiun. Pembahasan RUU yang terkesan tertutup dan terburu-buru ini kemudian memunculkan kontroversi dan mendapatkan penolakan dari beberapa pakar hukum dan LSM. Sehingga kemudian pengesahannya sempat ditunda sampai beberapa kali. Isu utama yang mencuat saat itu adalah adanya penolakan tentang batas usia pensiun Hakim agung dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Padahal sebenarnya ada substansi lain dari perubahan UU itu yang perlu dicermati yaitu menyangkut hubungan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial (KY) menyangkut pemulihan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi Hakim Agung. Karena sebelumnya melalui judicial review, Mahkamah Konstitusi dengan putusannya telah memangkas wewenang Komisi Yudisial (KY) sepanjang mengenai pengawasan terhadap Hakim dan hakim Agung. Dalam Perubahan UU Mahkamah Agung yang baru disahkan tersebut ternyata kewenangan pengawasan Hakim Agung oleh KY telah dipulihkan kembali. Bahkan KY mempunyai kewenangan lebih besar karena dapat merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan Hakim Agung.
Pengaturan kewenangan KY dalam UU perubahan MA ini jelas dapat memicu kembali konflik antara lembaga Negara MA dan KY yang pernah terjadi sebelumnya. Dari sisi politik hukum maka tujuan perubahan undang-undang yang dimaksudkan untuk sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan permasalahan konflik antar lembaga negara sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi jelas tidak akan tercapai. Seperti mengabaikan berbagai masukan dan kritikan dari berbagai pihak, DPR tetap meloloskan RUU tentang perubahan UU Mahkamah Agung lebih dahulu. Padahal sesuai amanat putusan Mahkamah Konstitusi, pembahasan perubahan UU KY harus disinkronisasikan bersama-sama dengan pembahasan UU kekuasaan kehakiman lainnya yaitu RUU Mahkamah Agung dan RUU Mahkamah Konstitusi. Menurut M. Mahfud MD, Politik hukum dirumuskan sebagai “kebijakan hukum (legal Policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun.” Politik hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu. Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal yang penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak dapat terlepas dari sistem politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan produk politik, sehingga karakter produk hukum dan penegakannya akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, politik hukum di bidang peradilan dimaksudkan agar semakin terjaminnya konsistensi terwujudnya kemandirian lembaga peradilan yang berwibawa, bersih yang didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas dan semakin meningkatnya upaya pencegahan dan penanganan perkara korupsi. Politik hukum bidang peradilan menjadi penting, karena setelah reformasi, kinerja lembaga peradilan belum sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat. Beberapa persoalan muncul, seperti masih maraknya praktek mafia pradilan, keberadaaan Mahkamah Konstitusi yang dinilai mengacak-acak sistem hukum yang ada dan menimbulkan ketidakpastian hukum atas UU yang telah disahkan DPR, timbulnya konflik antar lembaga negara MA dan Komisi Yudisial soal prinsip pengawasan chek & balances,
            Hakim dalam semua tingkatan menduduki posisi sentral dalam proses peradilan. Dalam posisi sentral itulah diharapkan peran hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan. Hanya hakim yang baik, yaitu hakim yang memiliki integritas moral dan profesionalisme yang diharapkan dapat menghasilkan putusan baik, yaitu putusan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfataan. Hakim yang baik hanya lahir dari sistem yang baik, yaitu sistem yang dibangun sejak awal mulai dari rekruitment hakim yang baik, seleksi yang ketat dan pendidikan/pelatihan yang berkesinambungan.
Dalam praktik penegakan hukum, banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan pencari keadilan adanya putusan hakim bahkan putusan Hakim Mahkamah Agung jauh dari rasa keadilan masyarakat. Menyadari hal itu maka kedudukan seorang hakim Agung adalah sangat penting dan mulia mengingat perannya sebagai organ tertinggi pemutus hukum dan keadilan. Putusan Hakim Agung adalah putusan akhir bagi pencari keadilan, yang bisa menjadi pedoman bagi hakim-hakim di bawahnya (yurisprudensi) maupun dalam rangka pembentukan hukum baru serta harus bisa dikaji secara akademis. Untuk itu dalam UU No.3/2009 ini disisipkan satu pasal yaitu pasal 6 A yang mensyaratkan “ Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.” Rumusan pasal ini seharusnya diikuti dengan ketentuan lain dalam dalam UU yang berkaitan dengan persyaratan calon hakim agung. Profesionalisme berarti menempatkan orang yang tepat untuk posisi pekerjaan yang sesuai keahliannnya. Sehingga perlu dipikirkan wacana yang selama ini berkembang, yaitu sistem kamar dan spesialisasi hakim di Mahkamah Agung. Namun ternyata dalam UU yang baru ini belum jelas adanya sistem kamar dan spesialisasi hakim agung, sehingga masih dapat terjadi hakim agung yang berlatar belakang hakim agama harus memutus perkara korupsi atau pidana khusus lainnya. Dan sebaliknya sorang hakim agung dari militer harus memutus perkara pembagian harta gono gini. Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi, karena mestinya seorang hakim memutus perkara sesuai bidang keahliannya atau spesialisasinya. Dalam UU perubahan Mahkamah Agung mestinya hal ini perlu diakomodir namun ternyata tidak.
            Untuk meningkatkan profesionalisme ini, maka ada sedikit perubahan yang signifinikan dalam PASAL 7 tentang syarat pendidikan terakhir Calon Hakim agung, yang dibedakan untuk calon dari Hakim Karier dan Non Karier. Kalau dalam UU MA sebelumnya syarat untuk menjadi Hakim agung dari unsur karier cukup berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian bidang hukum, maka sekarang minimal harus berijazah Magíster bidang Hukum dengan dasar sarjana hukum. Sedangkan untuk calon non karier dipersyaratkan lebih tinggi yaitu harus bergelar Doctor dan magíster dibidang hukum. Sebelumnya calon non karier disyaratkan berijazah Magíster Hukum. Hal ini tentunya tidak lepas dari upaya pembaharuan kearah Mahkamah Agung yang lebih profesional. Karena putusan Hakim Mahkamah Agung nantinya akan menjadi sumber pembentukan hukum (jurisprudensi) yang akan dipedomani Hakim di seluruh Indonesia. Sehingga seorang calon Hakim Agung harus benar-benar mumpuni dan menguasai ilmu hukum baik secara akademis dari jenjang pendidikannya maupun dari pengalaman (untuk karier minimal 20 tahun sebagai hakim dan non karier minimal 20 tahun sebagai akademisi atau profesi hukum). Kalau syarat pendidikan calon Hakim Agung lebih ditingkatkan, dalam pasal ini tentang usia minimal calon Hakim agung justru diturunkan dari minimal 50 tahun menjadi 45 tahun berlaku baik dari calon hakim karier maupun non karier. Namun tidak jelas apa alasan pembentuk undang-undang memberikan batasan umur seperti ini. Karena seperti diketahui seleksi calon Hakim agung yang pernah diadakan oleh Komisi Yudisial selalu menghasilkan calon yang rata-rata berumur di atas 60 tahun. Bagaimana pula seandainya ada calon di bawah usia 45 tahun tetapi secara kapabilititas, profesionalitas dan akseptabilitas sangat baik dan tidak diragukan integritas moralnya. Mengapa perubahan UU ini tidak memberikan peluang untuk para Hakim muda yang mempunyai integritas tinggi dan prestasi yang luar biasa untuk menjadi calon Hakim Agung. Penurunan syarat umur ini juga seolah bertolak belakang dengan penetapan umur pensiun untuk hakim agung yang justru diperpanjang.

B.                  Analisis Politik Hukum
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru terhadap lembaga Peradilan maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum terutama yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan sampai pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk melihat secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politik dalam suatu masyarakat, untuk pembangunan hukum, yaitu:
1.      Pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat.
2.      Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang tersebut sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebutuhan dalam bidang peradilan. Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif dan legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan, prosedural dan praktis operasional.
Demikian pula ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diundangkan, upaya penegasan akan cita-cita kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diulang kembali. Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985, tegas menyebut: “Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain[1]
Masalah pengawasan Hakim Agung merupakan hal yang paling substansial dari perubahan UU Mahkamah Agung ini. Sebagaimana tercermin dari penjelasan umum UU No.3 Tahun 2009, bahwa perubahan kedua atas UU No 14 Tahun 1985 khusus menyangkut pengawasan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan ketatanegaraan. Karena MA bukan lagi satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan Hakim, maka dibutuhkan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Karenanya diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan MA dan kewenangan KY. Hal ini mengingat konflik antara lembaga MA dengan KY mengenai pengawasan Hakim sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
            Beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan pengawasan hakim agung antara lain pengawasan semula ditujukan dalam rangka implementasi check and balances system, yaitu pada hakekatnya semua kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif perlu adanya kontrol dan pengawasan. Termasuk Hakim Agung juga harus ada pengawasan. Pertanyaannya siapa yang harus melakukan pengawasan terhadap hakim agung? Kegagalan sistem yang ada dalam menciptakan peradilan yang lebih baik pada masa lalu telah mendorong timbulnya pemikiran kearah pembentukan suatu lembaga pengawas eksternal (external auditors) yang bernama Komisi Yudisial. Oleh karena itu sistem pengawasan hakim agung idealnya dilakukan dengan model pengawasan ganda baik internal maupun eksternal, supaya pengawasan berjalan efektif yang pada gilirannya mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik.
            Menurut perubahan pasal 32, Pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawahnya dalam rangka kekuasaan kehakiman. Dalam pengawasan ini Mahkamah Agung mempunyai wewenang terhadap teknis peradilan, termasuk administrasi dan keuangan, memberi petunjuk dan teguran atau peringatan kepada semua pengadilan di bawahnya. Sedang pengawasan eksternal atas perilaku Hakim agung diatur dalam pasal tambahan yaitu pasal 32 A dan dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh KY harus berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku Hakim yang ditetapkan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Adanya pengawasan ganda oleh UU ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensip sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim benar-benar terjaga. Meskipun demikian harus ada proporsi pengawasan yang jelas antara MA dan Komisi Yudisial. Misalnya kewenangan pengawasan internal MA mencakup pengawasan di bidang kompetensi dan profesionalisme, administratif, organisatoris dan finansial. Sedangkan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Sebelumyna fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial seolah tidak ada artinya lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006. Meskipun kalau dicermati sebenarnya putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak bermaksud menegaskan kewenangan KY untuk menjaga kehormatan, keluhuran dan perilaku hakim agung, hanya saja UU KY ternyata tidak rinci mengatur tentang prosedur pengawasan, siapa subyek dan obyek yang diawasi serta instrumen apa yang digunakan sebagai standar pengawasan. Sehingga ketentuan pengawasan dalam UU KY menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu konsep pengawasan dalam UU KY yang didasarkan atas paradigma seolah hubungan MA dan KY dalam pola hubungan ”checks and balances” antar cabang kekuasaan dalam konteks ajaran separation of power adalah tidak tepat. Karena tidak dapat dibenarkan suatu kehendak check and balances dari supporting organ (dalam hal ini KY) terhadap main organ (Mahkamah Agung). Karena itu Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga mengamanatkan agar dilakukan perbaikan yang bersifat integral dalam harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang kekuasaan kehakiman.
            Ruang lingkup pengawasan ekseternal terhadap hakim tersebut seharusnya dirumuskan normanya secara jelas termasuk parameternya. Sehingga dapat diketahui secara pasti perbuatan hakim manakah yang menyimpang dan tidak menyimpang baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Sehubungan dengan itu perlu dibuat pedoman perilaku bagi hakim yang memiliki daya mengikat bagi hakim dengan disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya. Dan untuk hal ini Mahkamah Agung telah bergerak lebih cepat dengan mengeluarkan Keputusan KMA tentang pedoman perilaku Hakim. Padahal dalam UU ini diamanatkan Kode etik dan Pedoman perilaku ditetapkan bersama antara MA dan KY. Sehingga akan menimbulkan persoalan akankah KY mau menggunakan kode etik dan pedoman perilaku yang telah dibuat sebelumnya oleh MA. Dengan mengingat konflik sebelumnya rasanya sulit untuk KY menerima begitu saja pedoman yang dirumuskan oleh MA.
            Dalam kerangka hubungan antara MA dengan KY yang sebelumnya kurang harmonis, maka dengan mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi di atas di mana pola hubungan check and balances antar cabang kekuasaan dalam konteks separation of powers seolah Lihat pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, tentang permohonan pengujian UU No.22 Tahun 2004 tentang KY dan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman terhadap UUD 1945. Hubungan MA dan KY berada dalam posisi setara tidak dapat diterapkan antara KY sebagai organ penunjang (supporting organ) terhadap MA selaku organ utama (main organ). Sehingga dalam rangka pengawasan eksternal yang dimaksud UU ini maka diperlukan adanya kerjasama yang harmonis antara MA dan KY karena kedua lembaga tersebut masing-masing memiliki independensi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya sebagaimana telah dirumuskan dalam perundang-undangan dan tidak perlu saling intervensi kewenangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan yang kedua atas UU Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985 adalah relatif terlalu cepat, karena perubahan pertama dengan UU No.5 Tahun 2004 baru berusia sekitar 4 tahun. Suatu UU yang sering dirubah dengan cara parsial seperti UU MA ini sebenarnya dapat menimbulkan kebingungan dan ketidak pastian hukum. Sehingga seharusnya perubahan kedua UU MA ini diarahkan untuk perubahan total dengan membuat UU MA yang baru yang bernuansa reformasi hukum dengan mengakomodasikan, mengkombinasikan dan merespon perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan.
Apapun rumusan dalam UU MA No 3 Tahun 2009 ini yang patut diperhatikan adalah perubahan UU itu seharusnya murni dilakukan untuk perbaikan lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan ke depan sesuai kebijakan Politik Hukum Nasional bidang peradilan yaitu terjwujudnya konsistensi kemandirian lembaga peradilan yang berwibawa, bersih didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas. Namun kenyataannya perubahan UU MA ini masih bersifat parsial atau sepotong-sepotong demi kebutuhan politik sesaat. Sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum UU tersebut yaitu perubahan UU MA sebagaimana telah diubah sebelumnya dengan UU No 5/2004 adalah khususnya menyangkut pengawasan Hakim Agung yang sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan. Perubahan kedua UU MA ini yang dilakukan secara parsial dan tergesa-gesa sehingga menimbulkan kontroversi saat akan disahkan tidak bernuansa futuristik untuk perbaikan lembaga peradilan ke depan, sehingga produk UU yang demikian tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama. Selain itu kurangnya komprehensifitas penelaahan materi Perundang-undangan (muatan filosofis, juridis/normatif dan sosiologis) serta tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU kekuasaan kehakiman lainnya sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi








[1] Daniel S. Lev. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. (Jakarta: LP3ES, 1990), H. 50.

“ KASUS PENELANTARAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF KRIMINOLOGI”

Latar Belakang Masalah
Perceraian sangat identik dengan penelantaran, namun tidak berarti keluarga yang masih utuh tidak bisa melakukan penelantaran, banyak kasus di masyarakat terjadi penelantaran dalam keluarga yang utuh akibat orang tua tidak bertanggung jawab, Desember lalu tahun 2009 terungkap kasus penelantaran anak di Tangerang. latar belakang kasusnya hampir sama, persoalan ekonomi.[1]
Penelantaran juga dapat terjadi bila orang tua tidak bertanggung jawab kepada keluarga karena menjadi pemabok, penjudi dan mempunyai wanita lain, sehingga anak dan isterinya ditelantarkan, padahal sebagai ayah dia berkewajiban menafkahi keluarga.
Menelantarkan rumah tangga termasuk tindakan yang tidak baik dan tercela, dalam pandangan masyarakat umum orang menelantarkan keluarga dinilai telah melakukan tindakan tidak terpuji dan secara sosial akan mendapatkan sanksi berupa cap tercela pada pelaku penelantaran. Dalam hukum positif, penelantaran dalam rumah tangga dapat digolongkan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) dan merupakan strafbaar feit dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.[2]
Berdasarkan hukum positif, Kategori peristiwa pidana ada yang disebut komisionis, omisionis dan komisionis peromisionim, komisionis adalah terjadinya delik karena melanggar larangan sedangkan omisionis adalah terjadinya delik karena seseorang melalaikan suruhan/tidak berbuat, sedangkan komisionis peromisionim yaitu tindak pidana yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, namun mungkin terjadi tindakan tidak berbuat.[3]
Di Amerika, Mengabaikan anak adalah bentuk paling umum penganiayaan anak di Amerika Serikat. Menurut Penyalahgunaan Anak Nasional dan Abaikan Data System (NCANDS), dari sekitar 899.000 anak di Amerika Serikat yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran pada tahun 2005, 62,8 persen (564.765 anak) menderita dari kelalaian saja, termasuk penelantaran medis (USDHHS, 2007). Menurut NCANDS, 42,2 persen dari kematian penganiayaan anak di Amerika Serikat pada tahun 2005 terjadi sebagai akibat dari kelalaian saja, 24,1 persen sebagai akibat dari kekerasan fisik dan penelantaran, dan 27,3 persen sebagai hasil dari beberapa jenis penganiayaan (USDHHS, 2007) . Dalam sebuah studi independen, Mencegah Anak Penyalahgunaan Amerika memperkirakan bahwa 1.291 anak di Amerika Serikat meninggal pada tahun 2000 sebagai akibat dari penganiayaan, dan bahwa 45 persen dari kematian anak yang disebabkan penganiayaan mengabaikan (Peddle dkk., 2002). NCANDS dilaporkan meningkat sekitar 20.000 korban antara 2004 dan 2005. Hal ini terutama disebabkan masuknya data dari Alaska dan Puerto Rico dalam dataset 2005 (USDHHS, 2007). Mengabaikan Fisik umumnya melibatkan orang tua atau pengasuh tidak memberikan anak dengan kebutuhan dasar (misalnya, makanan pakaian, dan tempat tinggal yang memadai). Kegagalan atau penolakan untuk menyediakan kebutuhan membahayakan kesehatan fisik anak, kesejahteraan, pertumbuhan dan perkembangan psikologis. Mengabaikan fisik juga termasuk anak-anak ditinggalkan, pengawasan tidak memadai, penolakan terhadap anak yang mengarah ke pengusiran dari rumah dan kegagalan untuk secara memadai menyediakan keselamatan anak dan kebutuhan fisik dan emosional. Mengabaikan Fisik  dapat berdampak perkembangan anak dengan menyebabkan gagal tumbuh, malnutrisi, penyakit serius, kerusakan fisik dalam bentuk pemotongan, memar, luka bakar atau cedera lainnya karena kurangnya pengawasan, dan seumur hidup rendah diri. Menurut NCANDS, pada tahun 2005, 2 persen anak-anak (17.637 anak) di Amerika Serikat menjadi korban kelalaian medis (USDHHS, 2007). Kepedulian dijamin tidak hanya ketika orangtua menolak perawatan medis untuk anak dalam keadaan darurat atau untuk penyakit akut, tetapi juga ketika orangtua mengabaikan rekomendasi medis untuk anak dengan penyakit kronis dapat diobati atau cacat, sehingga rawat inap sering atau kerusakan yang signifikan
Di Australia, Persyaratan hukum untuk melaporkan kasus dugaan pelecehan dan penelantaran anak dikenal sebagai pelaporan wajib. Semua yurisdiksi memiliki persyaratan pelaporan wajib. Namun, orang mandat untuk laporan dan jenis pelecehan yang itu adalah wajib untuk melaporkan bervariasi di seluruh negara bagian dan teritori Australia. Peraturan di Australian Capital Territory, New South Wales, Queensland, Australia Selatan, Tasmania, Victoria dan Australia Barat berisi daftar pekerjaan tertentu yang dimandatkan untuk melaporkan. Beberapa negara memiliki sejumlah pekerjaan yang terdaftar, seperti Queensland (dokter, petugas departemen, dan karyawan berlisensi layanan perawatan perumahan) dan Victoria (polisi, dokter, perawat dan guru). Yurisdiksi lain memiliki daftar lebih luas (Capital Territory Australia, Australia Selatan, Tasmania) atau menggunakan deskripsi umum seperti "profesional yang bekerja dengan anak-anak".
 Di Kanada, Ada empat jenis utama dari hukum yang digunakan di Kanada untuk melindungi orang dewasa dari penyalahgunaan dan penelantaran. Ini adalah
a.      kekerasan dalam keluarga hukum,
b.      hukum pidana,
c.       dewasa perlindungan hukum, dan
d.      Hukum perwalian dewasa.
Quebec memiliki ketentuan khusus dalam undang-undang hak provinsi yang manusia dapat digunakan sebagai cara lain untuk membantu orang dewasa yang lebih tua disalahgunakan dalam beberapa kasus. Di Kanada, hukum yang berbeda akan diterapkan dalam berbagai jenis situasi pelecehan, tergantung sebagian pada kemampuan mental dewasa yang lebih tua. Bawah ini, adalah deskripsi singkat dari setiap jenis hukum. segala bentuk penyalahgunaan atau penelantaran adalah kejahatan tindakan ditutupi oleh KUHP Kanada. Ini termasuk serangan fisik atau seksual, intimidasi dan pelecehan, serta kejahatan seperti pencurian properti, penipuan, atau pencurian dengan kuasa. Namun, hukum pidana tidak digunakan sangat sering untuk mengatasi penyalahgunaan dan penelantaran di kemudian hari. Dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga untuk kelompok usia lainnya, ada tuntutan pidana karena melanggar meletakkan sedikit wanita yang lebih tua dan laki-laki tua, dan dapat sulit untuk mendapatkan penuntutan. Orang dewasa yang lebih tua mungkin enggan untuk memiliki biaya meletakkan atau bekerjasama dengan penuntutan pidana jika mereka percaya kerabat dekat (yang sering anak dewasa) akan dihukum dan dihukum. Dalam beberapa kasus pidana, kesehatan senior dapat memburuk dalam waktu antara muatan dan kasus pengadilan, membuat mereka tersedia sebagai saksi. Dalam kasus lain, saksi utama (korban) mungkin mengalami ketidakmampuan mental.
Melihat fenomena seperti ini, tujuan utama penegakan hukum terhadap tindakan penelantaran yang terjadi dalam rumah tangga merupakan hal yang sangat penting. Upaya hukum secara perdata dan pidana dapat dilakukan terkait dengan tindak penelantaran ini, secara perdata karena ada hak-hak keperdataan yang dilanggar, secara pidana karena telah terjadi tindak pidana berupa tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam wujud penelantaran.
Dalam kasus kekerasan rumah tangga seperti tindakan penelantaran, memang yang paling rentan untuk menjadi korban adalah wanita/isteri dan anak. Salah satu penyebabnya karena berbagai keterbatasan natural yang dimiliki wanita/isteri serta anak dibandingkan kaum pria, baik secara fisik maupun psikis.
Hal ini terbukti banyaknya gugatan perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama di daerah Ibu Kota Jakarta karena faktor penelantaran oleh suami tersebut. Artinya banyaknya kasus penelantaran yang dilakukan suami terhadap rumah tangganya. Adapun penelantaran yang biasa dilakukan oleh suami terhadap rumah tangganya adalah suami pergi meninggalkan isteri lebih dari dua tahun berturut-turut tanpa kabar dan pemberitahuan terlebih dahulu dan tidak diketahui keberadaannya sehingga dengan kabur suaminya tersebut, perekonomian rumah tangga menjadi goyang sehingga isteri dan anak menjadi korbannya, apalagi kalau si isteri tersebut tidak bekerja. Kemudian penelantaran mengenai nafkah. Suami tidak mau  memberikan nafkah lahir dan bathin terhadap isterinya baik karena faktor ekonomi maupun sang suami memiliki tabiat yang burut seperti suami berselingkuh dengan wanita lain, pemabuk, penjudi sehingga isteri dan anaknya menjadi terlantar.
Beberapa korban yang mengalami penelantaran dalam rumah tangga ini kerap kali takut untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, terlebih wanita yang dikarenakan mendapat tekanan atau ancaman dari pihak laki-laki, namun sekarang bukanlah saatnya wanita harus diam setiap mengalami penelantaran dalam rumah tangga.
Kondisi tersebut diperburuk dengan persepsi sebagian masyarakat. Bahwa peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun penelantaran masih dianggap persoalan dalam rana domestik, yang tidak perlu orang luar mengetahui dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal kekeluargaan. Dengan keluarnya Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang penyelesaiaannya cukup secara kekeluargaan, namun domestic violence telah merangkap rana pidana.
Penelantaran yang dimaksud penulis di sini adalah penelantaran menurut pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi
“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan kepada orang tersebut”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya.[4]
Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 di atas, juga dapat disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga.[5]
Sebutan tindakan penelantaran tidak hanya berlaku saat masih menjadi pasangan utuh dalam rumah tangga, penelantaran pun dapat terjadi pada pasangan suami isteri yang telah bercerai, ayah sebagaimana dalam Undang-Undang ditunjuk sebagai yang menanggung biaya anak bila mampu. Dikatakan melakukan tindakan penelantaran bila anak yang masih di bawah tanggung jawabnya tidak diperhatikan hak-hak dan kepentingannya.
Tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga bila dikaitkan dengan ketiga kategori di atas, berdasarkan sifatnya, penelantaran dapat digolongkan pada kategori omisionis, karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya adalah merupakan perintah Undang-Undang, sehingga bila ia tidak memberikan sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia telah melalaikan suruhan.
Mengingat terjadinya tindakan penelantaran keluarga khususnya anak dalam masyarakat, maka fenomena tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan peningkatan dalam penegakan hukum.
Para pihak yang dirugikan dapat melaporkan tindakan penelantaran ini kepada pihak kepolisian. dari beberapa pasal dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 yang memberikan ancaman pidana hanya beberapa saja yang merupakan delik aduan, sementara kebanyakan yang lainnya adalah delik biasa, disini kemudian dituntut peran aktif dari penegak hukum, khususnya parata kepolisian untuk proaktif dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.[6]
Tujuan lahirnya Undang-Undang No 23 tahun 2004 adalah untuk mengatur tindakan – tindakan kekerasan dalam rumah tangga sehingga dapat diminimalisir dengan cara diberikan sanksi bagi pihak yang melakukannya. Undang-Undang tersebut mengatur agar pasangan suami isteri itu hidup rukun, harmonis dan tidak merugikan satu dengan yang lainnya[7]
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah studi kriminologi terhadap kasus kasus penelantaran keluarga berupa seseorang yang melalaikan kewajibannya sehingga anggota kelurga menjadi korbannya. Ada 3 hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini yaitu pertama, tentang fenomena kasus-kasus penelantaran dalam rumah tangga di Ibu Kota Jakarta, kedua fenomena penelantaran dalam rumah tangga ditinjau dari aspek kriminologi, ketiga perspektif masyarakat kota Jakarta terhadap fenomena kasus penelantaran dalam rumah tangga dan pola penyelesaiannya.

Teori Kriminologi
Pertama-tama perlu digariskan bahwa kajian ini merupakan kajian kriminologi. Karena kajian kriminologi, maka kriminologi akan mendominasi pemaparan selanjutnya. Ini dimaksudkan agar ada batasan yang jelas mengenai kajian tersebut.
Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. semakin menggejala dan frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini
Menurut Stanford berkata:
“All types of illegal behavior, either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of an individual”(semua bentuk perilaku illegal, termasuk yang mengancam atau merugikan secara nyata atau menghancurkan harta benda atau fisik atau menyebabkan kematian).
Definisi ini menunjukkan bahwa kekerasan atau violence harus terkait dengan pelanggaran terhadap undang-undang, dan akibat dari perilaku kekerasan itu menyebabkan kerugian nyata, fisik bahkan kematian. Maknanya jelas bahwa kekerasan harus berdampak pada kerugian pada pihak tertentu baik orang maupun barang. Tampak pula bahwa kekerasan menurut konsep Sanford, lebih melihat akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku kekerasan atau penelantaran tersebut.
Barda Nawawi Arief[8], menegaskan bahwa salah satu aspek kebijakan sosial yang mestinya mendapat perhatian adalah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat maupun (social higyne), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national menthal health” dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels sebagai salah satu jalur “prevention without punishment” (jalur non penal).
Menurut Bassiouni[9]  bahwa tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan itu, menurutnya ialah :
1.     pemeliharaan tertib masyarakat
2. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
3.      memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
4.  memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Kesimpulan
            Bahwa suatu perbuatan penelantaran keluarga dapat dikategorikan sebuah tindak pidana (delik) jika memang terbukti memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana tersebut. Untuk meminimalisir kasus penelantaran kelurarga perlu adanya upaya konkrit para penegak hukum dalam menghadapi kasus yang berdampak sistemik ini yang memberikan efek negatif kepada kondisi sosial masyarakat. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah merevisi  ulang substansi dari sebuah hukum yang berlaku baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau yang lainnya, yang pada dasarnya memberikan efek jera terhadap para pelanggar tersebut. Selain itu, dibutuhkan para penegak hukum  yakni polisi, jaksa, hakim dalam menyelesaikan kasus penelantaran keluarga, serta adanya pembinaaan dan bimbingan terhadap pola perilaku masyarakat yang harus diberitahukan tentang hukum positif itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Arris, Myra, Legal research Fun damental Principles, (New Jersey: Prentice-Hall, 1997)

Clark Kelso, J, Studying Law: an Introduction to legal research, (Lexis Publishing,1999), H. 58 artikel The Restatement of Law

Steven J Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, (Canada: John willey & sdns, Inc, 1998),

L Cohen, Morris, Legal research, (Virginia)

L Tanya, Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta, 1983)
Muhtar, Kamal, asas-asas hukum Islam tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1996),
Sianturi, sr, Tindak Pidana KUHP berikut uraiannya, (Jakarta: PTHAM, 1983
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, 1981)
W Creswell, Jhon, Research Design Qualitative & Quantitative Approaches, (London; SAGE Publications, 1994



[1] Kamal muhtar, asas-asas hukum Islam tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), H. 9

[2] Lihat penjelasan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

[3] Sr Sianturi, Tindak Pidana KUHP berikut uraiannya, (Jakarta: PTHAM, 1983), H. 571

[4] Lihat Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[5] Jurnal Varia Peradilan edisi Agustus 2011, H. 57

[6] Jurnal Varia Peradilan, edisi Agustus 2011, H. 56

[7]Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta, 1983),  H. 171

[8] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1996), H. 54

[9] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, 1981), H. 39-40

Selasa, 29 November 2011

Kontroversi Taklik Talak Di Indonesia


   Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya”Dan pergaulkanlah isteri-isteri mu dengan cara yang baik”. Allah SWT dalam hal ini memerintahkan kepada hambanya untuk berbuat baik terhadap isterinya dan keluarganya. Suami isteri harus tahu hak dan kewajibannya masing masing. Untuk mengikat dan menekankan janji untuk Muasyarah bil Makruf itu perlu adanya suatu ungkapan janji oleh salah satu pihak dimana pihak yang berjanji bukan hanya berjanji untuk pasangannya akan tetapi janji tersebut juga antara dirinya dan Allah SWT yang disaksikan oleh para malaikat ketika akad tersebut.
    Hakekatnya perkawinan bukanlah hubungan yang kekal dan abadi, karena mahligai perkawinan masih dapat dibubarkan jika mengandung maslahat dan manfaat yang lebih besar. sejalan dengan pemikiran tersebut sebagaimana termaktub di dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975.
    Banyaknya perceraian yang terjadi dewasa ini telah menggambarkan bahwa persamaan persepsi terhadap tujuan perkawinan antar suami dan isteri tidak banyak yang terwujud. Oleh karena itu ada aturan yang membolehkan diadakannya sebuah perjanjian perkawinan yang disebut dengan taklik talak sebagaimana diatur di dalam KHI. Dengan tujuan memperjuangkan hak hak isteri yang umumnya tidak dikenal, dengan menggantungkan talak suami kepada beberapa syarat yang telah diformulasikan. Hal ini juga ditujukan untuk mengurangi kemungkinan adamya penguasaan terhadap isteri yang berlebihan terutama mengurangi KDRT dalam rumah tangga. Akan tetapi pada saat ini, apakah aturan tersebut masih urgensi dan bagaimana relevansinya dengan banyaknya kasus cerai gugat di Pengadilan Agama.
    Di dalam masalah taklik talak banyak sekali permasalahan yang sifatnya kontroversial. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa pendapat dari beberapa pakar yang mempermasalahkan tentang kedudukan dan fungsi taklik talak tersebut, di mulai dari sebuah pertanyaan apakah taklik talak itu termasuk perjanjian perkawinan atau sebaliknya. Kemudian di awali dengan pertanyaan tersebut yang menjalar kepada kedudukan dan fungsi dari taklik talak tersebut ada kubu yang pro terhadap eksistensi dan relevan hingga saat ini dan kemudian ada kubu yang kontra terhadap permasalahan ini. Di dalam buku ini penulis mencoba sedikit memberikan tanggapan dan solusi terhadap permasalahan kontroversi taklik talak yang diambil dari wawancara dengan beberapa sumber yang akurat, kemudian dianalisis dengan data yang valid:
    Menurut beberapa sumber, mengatakan bahwa taklik talak merupakan hanya perjanjian biasa. Pendapat ini berdasarkan pada klausul yang berbunyi “Sesudah akad nikah, saya bin pulan saya berjanji dengan sesungguh hati saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suamidan saya akan pergauli isteri saya yang bernama fulah binti fulan dengan baik ‘Muasyarah bil Makruf’ menurut syariat Islam”. Menurutnya kata kata berjanji di dalam klausul tersebut merupakan janji yang sifatnya harus dipenuhi dan mengikat bagi yang berjanji itu sendiri karena sesuai dengan ayat Al qur’an yang artinya ”Wahai orang-orang yang beriman penuhi oleh mu akan janji-janjimu”, sedangkan setelah kalimat “selanjutnya saya membaca sighat taklik talak dan seterusnya” itu tidak termasuk dalam kategori sebuah perjanjian. Sehingga dikatakan bahwa sighat taklik talak tidak termasuk kategori sebuah perjanjian perkawinan. Dengan demikian maka lahirlah Surat Edaran Dirjen Bimas Islam No : DJ 11/HK.00/074/2008 tanggal 30 juli 2008 disebutkan bahwa tidak mewajibkan pembacaan sighat taklik talak oleh pengantin pria pada saat akad nikah dan cukup ditandatangani karena mengganggu kekhidmatan pelaksanaan prosesi akad. Sehingga klausul sighat taklik talak dari kata kata “Selanjutnya saya membaca dan seterusnya” itu menjadi kontroversi karena seolah olah acara akad yang sifatnya sakral dimentahkan kembali karena pembacaan sighat taklik talak tersebut. Seperti orang Jawa bilang “wong penganten enggal ko sampun diajari cerai”
    Mengenai relevan atau tidaknya taklik talak adalah tergantung dari personalnya. Yaitu dari kedua pasangan tersebut. Artinya sangat kondisional. Kemudian mengenai konsep dari perjanjian perkawinan dan taklik talak itu terdapat beberapa perbedaan seperti kalau yang disebut dengan perjanjian itu orang yang mengucapkan itu lansung terikat dengan apa yang ia janjikan tersebut dan sifatnya langsung. Sedangkan kalau taklik talak itu hanya menggantungkan talak dan bukan perjanjian. Hal ini diperjelas dengan kata kata “sewaktu Waktu”. Ternyata meskipun perkara taklik talak tersebut masih dibaca, tetapi prosedur pengadilannya sama saja dengan perkara cerai gugat, jadi kenapa tidak mencukupkan saja dengan perkara cerai gugat.
    Mengenai iwadh apakah iwadl yang termaktub di dalam klausul sighat taklik talak masih relevan pada jaman sekarang ini? Tentunya tidak. Di dalam klausul disebutkan isteri kemudian membayarkan uang iwadh sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Pada zaman sekarang, dimana perekonomian bangsa Indonesia mengalami kanaikan yang cukup baik tentunya hal ini mengakibatkan akan terjadinya inflasi di mana mata uang rupiah semakin hari semakin kecil nilainya. Mengenai besar uang iwadl Rp 10.000 sudah tidak relevan pada saat sekarang ini sebab nominalnya sudah tidak memiliki nilai dan seharusnya dirubah nominal nya sesuai dengan inflasi atau kurs dollar ataupun harga emas.
    Di dalam poin taklik talak yang 4 itu masih terdapat kekurangan di mana 4 poin tersebut sudah di akomodir oleh UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengenai alasan alasan perceraian. Agar taklik talak yang masih saja dibaca dikalangan masyarakat mempunyai efek yang lebih baik  lagi dalam melindungi hak hak isteri seyogyanya pemerintah ataupun pejabat yang berwenang menerbitkan peraturan organik yang menambahkan poin poin di dalam sighat taklik talak tersebut. Seperti pada poin tentang KDRT. Seharusnya untuk kondisi sekarang ini di mana KDRT banyak terjadi di lingkungan masyarakat agar hal tersebut diminimalisir dengan cara perbuatan KDRT tersebut dapat dipidanakan karena memenuhi unsur unsur delik pidana. Selain KDRT, poin membiarkan atau mengacuhkan isteri selama enam bulan lamanya yang tidak jelas statusnya apakah masih bersama atau sudah cerai seharusnya klausul tersebut ditambah dapat dituntutnya pihak yang membiarkan tersebut dalam hal ini suami ke ranah perdata. Artinya nafkah nafkah yang tidak diberikan oleh suami menjadi hutang baginya dan dapat dituntut secara perdata perbuatan tersebut.
    Sehingga dapat disimpulkan bahwa taklik talak tidak memiliki urgensi apa apa, sebab selain landasan hukumnya yang tidak jelas, juga ternyata perkara taklik talak dipersamakan prosedurnya dengan cerai gugat. Kondisi dewasa ini membuktikan bahwa taklik talak sudah tidak relevan  karena para isteri sekarang ini sudah mengerti akan hak-hak mereka dan mereka pun dapat melakukan perbuatan hukum sendiri. Tanpa taklik talak pun mereka dapat mengajukan cerai gugat ke Pengadilan secara pribadi.