Minggu, 22 Januari 2012

Membongkar Cadar Hukum Perjanjian Perkawinan di Indonesia

Membongkar cadar hukum perjanjian perkawinan merupakan salah satu buku hukum perkawinan yang telah terbit di pasaran. Buku ini dapat dijadikan referensi bagi akademisi maupun praktisi. buku karya Ahmad Syahrus Sikti,S.HI yang merupakan Calon Hakim Agama tahun 2010 ini merupakan buku perdana yang dtulisnya semoga buku perdana ini bermanfaat bagi masyarakat luas

Selasa, 17 Januari 2012

IHDAD "MASA BERKABUNG"

A.    Pengertian Ihdad
Meninggalnya suami ataupun orang dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian, ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya. Mungkin timbul tanya, apakah ihdad itu?
Menurut Abu Zakaria Al-Anshari, ihdad berasal dari kata أَحَد َّّ dan biasa pula disebut الحِدَّةُ yang diambil dari kata حدُِّ Secara bahasa mereka mengartikan ihdad dengan المَنْعُ yang berarti cegahan atau larangan. 
Secara bahasa Ihdad berasal dari kata حَدَّ- يَِحِدُّ بِمَعْنَي وَحَدَّ المَرْأَةُ yang berarti tidak bersolek atau tidak berhias karena kematian suami.
Ihdad berasal dari suku kata حِدَادٌ yang berarti menanggalkan berhias karena duka cita.
Arti ihdad adalah larangan berhias dan memakai wewangian, seperti larangan yang memberikan hukuman terhadap perbuatan maksiat, demikian menurut Ibnu Dusturiyah. sedangkan Al-Farra mengatakan “disebut juga sebagai besi karena kekuatan atau kesulitannya untuk dirubah. Adapun tahdid (pembatasan pandangan) berarti larangan menghadapkan pandangan kearah lain. 
Ihdad dalam kamus Istilah Fiqih yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalah: empat bulan sepuluh hari, dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa. Sedangkan menurut Ibnu Mansur, Ihdad adalah menanggalkan berhias dan bersolek untuk mempercantik diri.  Ihdad  artinya perkabungan perempuan yang kematian suami.
Dari definisi yang dikemukakan diatas terlihat bahwa pakaian yang dicelup warna baik pencelupan itu dilakukan ketika masih dalam bentuk kain, atau sudah menjadi pakaian, atau bahkan yang masih dalam bentuk benang sekalipun, tidak diperbolehkan dipakai dalam masa iddah kematian.
Dr. Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi ihdad:
تَرْكُ الطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ وَالكُحْلِ وَالدُهْنِ المُطِيْبِ وَغَيْرِ المُطِيْبِ
Artinya: Meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak, baik minyak yang mengharumkan ataupun tidak.
Selanjutnya Dr. Wahbah az-Zuhaili menegaskan yang dimaksud dengan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan dengan anggota badan wanita. Oleh karena itu wanita yang sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak dilarang duduk diatas kain sutra.
Sayid Sabiq juga memberikan definisi senada tentang ihdad. Menurutnya ihdad adalah:
تَرْكُ مَا تَزَيَّنَ بِهِ المَرْأَةُ مِنَ الحُلْيِ وَالكُحْلِ وَالحَرِيْرِ وَالطِّيْبِ وَالخِضَابِ 
Artinya: Meninggalkan bersolek seperti memakai perhiasan, celak mata, pakaian sutra, wangi-wangian dan inai.
Al-Imam Taqiyuddin menjelaskan bahwa ihdad menurut istilah adalah

وَ عَلَي المُتَوَفَّي عَنْهَا زَوْجُهَا الحِدَادُ وَهُو الأمْتِنَاعُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالطِّيْب ِ
Artinya: ihdad adalah melarang dari berhias dan berwangi-wangian.
Hal ini diwajibkan atas seorang istri yang ditinggal mati suaminya, selama masa iddah dengan maksud untuk menunjukan kesetiaan dan menjaga hak-hak suami.
Sekalipun rumusan redaksional beberapa definisi diatas berbeda, namun inti pokoknya sama, yaitu masa berkabung seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dalam masa itu ia tidak boleh bersolek atau berhias dengan memakai perhiasan, pakaian yang berlebihan, wangi-wangian, celak mata, dan yang lainnya. Dan tidak boleh juga bagi isteri yang ditinggal mati oleh suaminya untuk keluar dari rumah tanpa adanya keperluan.  Hal ini untuk menghormati dan turut belasungkawa atas meninggalnya sang suami.
Jika kita lihat arti kata berhias dalam kamus besar bahasa Indonesia, maka berhias itu adalah memperelok diri dengan pakaian dan sebagainya yang indah-indah atau bisa juga diartikan dengan berdandan. Sedangkan berdandan itu asal kata dari dandan yang memiliki dua arti yaitu pertama, mengenakan pakaian dan perhiasan serta alat-alat rias. Kedua,  memperbaiki, atau menjadikan baik (rapi).  Ibnu Jarir At- Thabari, mengartikan perhiasan adalah wajah dan dua telapak tangan, juga termasuk yang ada pada keduanya seperti celak, cincin, gelang dan khidab (pewarna tangan).
Wajah dan dua telapak tangan merupakan bagian anggota tubuh wanita yang tidak tertutup yang dalam hal ini bukan termasuk aurat menurut sebagian ulama, yang pada kebanyakan wanita memperindah bagian tubuh tersebut dengan perhiasan seperti celak, cincin, gelang, dan sebagainya.
Sedangkan untuk kondisi zaman yang semakin modern dengan teknologi yang semakin canggih, dapat membuat seluruh tubuh wanita dari ujung rambut sampai ujung kaki merupakan bagian yang dapat diperindah, sehingga makna berhias dan bentuk perhiasan menjadi semakin luas.
B.    Dasar Hukum Ihdad
Berihdad atas kematian suami wajib dijalani seorang istri selama empat bulan sepuluh hari. Demikian pendapat mayoritas ulama bahkan hampir seluruh mereka kecuali Hasan Basry dan Asy-Sya’bi sepakat pendapatnya mengatakan bahwa ihdad hukumnya sunnah bagi wanita muslimah yang merdeka, selama masa iddah kematian suami.  Adapun landasan hukum disyariatkannya ihdad adalah sebagai berikut:
1.    Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 234 yang artinya
Artinya: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Q.S (Al-Baqarah) :234

2.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ زَيْنَب بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ قَالَتْ : دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيْبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّمَ، قَالَتْ زَيْنَبُ سَمِعْتُ أُمِّي أُمِّ سَلَمَةَ تَقُوْلُ : جَاءَتْ امرَأَةٌ إِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَّتْ عَيْنَاهَا أَفَتَكْتَحِلُهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ لاَ ( مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا كُلُّ ذلِكَ يَقُوْلُ لاَ ) ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا هِى أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (رواه مسلم ) 

Artinya: Dari Zainab binti Abi Salamah r.a. berkata: Dia datang ke rumah Ummu Habibah, Istri Nabi saw. Kata Zainab, aku mendengar Ummu Salamh menceritakan bahwa seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. Kemudian bertanya, wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karna sakit kedua matanya , bolehkah ia memakai celak untuk kedua matanya? Rasulullah menjawab, tidak boleh. Beliau mengatakan itu dua atau tiga kali. Setiap perkataannya tersebut dikatakannya tidak boleh. Kemudian beliau bersabda, sesungguhhnya ‘iddah wanita itu empat bulan sepuluh hari. (HR. Muslim).

3.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ حَبِيْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا أَرْبَعَةَ أَشَهُرٍ وَعَشْراً (رواه البخارى ومسلم) 
Artinya: Dari Ummu Habibah r.a. katanya: saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak diperbolehkan berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia boleh berkabung selama empat bulan sepuluh hari. HR. al- Bukhari dan Muslim)

4.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُحِدَّ إِمْرَأَةً عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَتَلْبَسْ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا، إِلاَّ ثَوْبَ عَسْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلْ، وَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا إِلاَّ إِذَا طَهُرَتْ نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَو أَظْفَارٍ، متّفق عليه. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ. وَلأَبِي دَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ مِنَ الزِّيَادَةِ (وَلاَتَحْتَضِي)  (رواه النسائ) 

Artinya: Dari Ummu Athiyah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak boleh berkabung seorang perempuan atas satu mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami (boleh) empat bulan sepuluh hari, dan jangan ia pakai pakaian yang bercelup kecuali kain genggang dan jangan ia bercelak dan jangan memakai bau-bauan, kecuali kalau ia bersih, sedikit dari qusth dan azhfar.

5.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ اُمِّ سَلَمَةِ قَالَتْ : جَعَلْتُ عَلَى عَيْنيِ صَبِِرًا بَعْدَ اَنِْ تُوَ فَّيَ اَبُو سَلمَةِ فَقَلَ رَسُوْلُ ا للهِ صَ مَ (اَِنَّهُ يَشِبُّ الوَجْهَ. فَلا تَجْعَلِيهِ اِلاّ بِااللَّيْلِ وَاَنْزَعِيْهِ بِالنَّهَارِ وَلاتمَتشِيطِي بِالطِّيْبِ، َولابِالحِنَّاءِ، فَانَّه خِضَابٌ) قُلْتُ بِأيِّ شَيْءٍ أَمْتَشِطُ ؟ قَالَ (بِالسِدْرِ) (رواه ابوداودوالنّسائيّ).
Artinya: Dari Ummu Salamah, ia berkata: sesudah wafat Abu Salamah saya pakai jadam dimata saya . maka Rasulullah saw. Bersabda :“Sesungguhnya ia itu mencantikan muka. Maka janganlah engkau pakai dia melainkan pada malam, dan buanglah dia pada siang, dan jangalah engkau bersisir dengan menggunakan barang wangi dan jangan dengan pacar, karena yang demikian itu celupan.” Saya bertanya : Dengan apa saya boleh bersisir ? Jawabnya : “Dengan bidara”.

6.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ حَفْصَةَ أَوْعَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : لَايَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَيَوْمِ الآخِرِ أَوْ تُؤمِنُ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ أَنْ تَحِدَّ عَلَى مَيِتٍ فَوْقَ ثَلاثَةِ أيّامٍ إِلاّ عَلَى زَوْجِهَا (رواه النسائى) 
Artinya: Dari Hafsah atau dari Aisyah r.a, bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir atau beriman kepada Allah dan Rasulnya berkabung karena kematian seorang kebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya.(HR an-Nasa’i)

7.    Hadis Nabi Muhammad SAW
كُنَّا نَنْهَي أَنْ تَحِدَّ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجٍ أَرْبَعَةََ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا َلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلاّ ثَوْبَ عُصْبٍ وَقَدْ رُخِصَ لَنَا عِنْدَ الطُهْرِ أَوْ أِغْتَسَلَتْ اَحَدٌ أنا مِنْ مَحِيْضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كِسْتِ أَظْفَارٍ (رواه أحمد و البخارى و مسلم و سنن اللأربعة )
Artinya: Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman, jangan memakai inai, dan menyisir rambut kecuali ia baru suci dari menstruasi, maka bolehlah ia mengambil sepotong kayu wangi. (HR: Ahmad, al-Bukhori, Muslim, Abu dawud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)


8.    Hadis Nabi Muhammad SAW
عَنْ أُمِّ عَطِيَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَ مَ قَالَ لَا تَحِدُّ أمْرَأَةٌ عَلَي مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاثٍ أِلاّ عَلَي زَوْجِ لِأَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَ عَشْرًا وَلا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا أِلّا ثَوْبَ عُصْرٍ وَلا تَكْتَحِلُ وَلا تَمَسُّ طِيْبًا أِلّا اِذَا طَهَرَتْ نُبْذَةٌ مِنْ قِسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ (رواه البخاري)
Artinya: Kami dilarang berkabung atas seorang yang meninggal dunia lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suami yaitu empat bulan sepuluh hari. Kami tidak memakai celak, tidak menggunakan pakaian yang diberi bahan pewarna, kecuali pakaian yaman dan tidak menggunakan wewangian. Sungguh kami diberi kemurahan ketika bersuci, yaitu jika salah seorang diantara kami mandi dan haid, maka diperbolehkan untuk menggunakan sedikit dari qust dan adhfar. (HR.  Bukhari).

9.    Hadis Nabi Muhammad SAW
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أِنَّ أبْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا، أَفَتَكْحِلُهَا؟ فَقَالَ: لاَ- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا،
Artinya : “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ”Wahai Rasulullah, suami putriku telah meninggal dunia. Sementara putriku mengeluhkan rasa sakit pada matanya. Apakah ia boleh mencelaki matanya?” ”Tidak,” jawab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua atau tiga kali.”

Berdasarkan fakta sejarah bahwa pada jaman Rasul banyak wanita-wanita muslimah yang telah ditinggal mati suaminya yang melaksanakan masa ihdad atau berkabung selama masa iddah sebagai suatu ungkapan duka cita atas kematian suaminya dan beberapa hal hal yang berhubungan dengan ihdad seperti perbuatan yang diperbolehkan untuk dikerjakan selama masa berkabung dan hal-hal yang dilarang pula sehingga dari sejumlah hadits dan atsar di atas menjadi jelas bagi kita bahwa wanita yang ber-ihdad tidak boleh memakai celak, minyak wangi/wewangian, pakaian yang dicelup kecuali kain ashb, semir, pacar kuku, pakaian yang dicelup dengan warna merah (mu’ashfar), dan yang dicelup dengan tanah merah (mumasysyaqah) serta perhiasan. berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an serta Hadist tersebut cukuplah menjadi fakta kekuatan bahwa hukum ihdad merupakan salah satu ajaran syariat Islam.
C.    Tujuan Ihdad
1.    Memberi alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita atau berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1 menegaskan “Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan menjaga timbulnya fitnah.
2.    Selain itu yang menjadi pertimbangan ialah bahwa untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang meninggal dengan pihak istri yang ditinggalkan dan keluarga besarnya
3.    Ihdad untuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian suaminya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya. Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak membutuhkan adanya ihdad. Hal ini sesuai dengan wanita-wanita yang hidup pada masa Nabi dan Khulafa el-Rasyidin tidak pernah melakukan ihdad selain cerai mati.
4.    Bagi seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam keadaan hamil, hikmah ihdad adalah selama empat bulan sepuluh hari sicalon bayi yang tengah berada dalam perut ibu akan sempurna penciptaannya, yaitu dengan ditiupkannya ruh adalah setelah seratus duapuluh hari berlalu. Sepuluh hari disebut  bentuk mu’anats yang dimaksudkan sebagai waktu malamnya.
D.    Dampak Ihdad
Kita ketahui bahwa bila seorang suami yang meninggal, wajib bagi istrinya untuk berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun bila si istri dalam keadaan hamil maka ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, baik masanya lama atau sebentar. Hal ini sesuai dengan pasal 170 Kompilasi Hukum Islam  yang berbunyi:
1.    Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan masa berkabung sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya fitnah
2.    Seorang suami yang ditinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan
Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ihdad merupakan hak syar’i dan merupakan ungkapan atau manifestasi rasa duka cita karena hilangnya karunia Allah. Dalam bentuk perkawinan sehingga ia tidak mungkin lagi berkumpul dengan bekas suaminya.  
Silang pendapat diantara fuqaha yang mewajibkannya atas wanita muslimah, bukan wanita kafir, disebabkan oleh persoalan, karena bagi fuqaha yang menganggap ihdad sebagai suatu ibadah (yang tidak dapat dipahami ma’nanya), maka mereka tidak mewajibkan atas wanita kafir, sedangkan bagi fuqaha yang menganggapnya suatu ibadah yang dapat dipahami ma’nanya, yaitu untuk menghindarkan pandangan lelaki kepadanya dan untuk mencegah wanita yang berihdad memandang kepada lelaki, maka mereka mempersamakan antar wanita kafir dengan wanita muslimah.
Mengenai hukum ihdad bagi wanita kitabah (ahli kitab), para ulama berbeda pendapat. Menurut Jumhur kewajiban ihdad meliputi semua istri yang dinikahi secara sah, baik wanita yang masih kecil, dewasa, gila, muslimah atau kitabiah. Bahkan Hanabilah berpendapat termasuk budak yang dijadikan istri.
Senada dengan pendapat jumhur adalah pendapat Imam Malik. Imam Malik menyatakan Wajib ihdad atas wanita kitabah, karena wanita kitabah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak wanita yang beragama Islam. Selain itu ihdad adalah ibadah yang tidak  dipahami maknanya yaitu menghindarkan wanita dari pandangan laki-laki atau sebaliknya. Karena itu wanita muslimah dan non muslimah termasuk kitabah sama-sama wajib ihdad. 
Adapun menurut Abu Hanifah tidak wajib ihdad atas wanita kitabiyah, demikian juga pendapat As-Syafi’i. Alasan mereka ialah bahwa hadits Nabi: “Tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian berihdad dan seterusnya.” menunjukan bahwa syarat wanita yang berihdad adalah beriman, tanpa keimanan berarti tidak berlaku ketentuan-ketentuan tentang ihdad pada diri wanita tersebut. Karenanya tidak wajib ihdad atas wanita non muslimah termasuk kitabiyah.
Akan hal silang pendapat fuqaha mengenai hamba mukatabah (hamba perempuan ynag menebus kemerdekaannya dengan cara mencicil), maka hal itu terjadi dari segi ketidak jelasan statusnya sebagai orang merdeka atau sebagai budak. Sedangkan mengenai hamba perempuan yang dimiliki dan hamba perempuan yang telah memperoleh anak dari tuannya (ummul walad), maka hal yang mendorong jumhur ulama menggugurkan kewajiban ihdad dari keduanya.
Selanjutnya mengenai hal-hal yang dilarang selama ihdad disimpulkan pula oleh Ibnu Rusyd secara umum, yaitu segala bentuk perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki, kecuali Sesuatu yang bukan dianggap sebagai perhiasan. Namun menurutnya pula, para fuqaha membolehkan pemakaian celak mata kalau terpaksa, tetapi sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa celak itu bukan dianggap sebagai perhiasan, dan sebagian lagi mensyaratkan bahwa pemakaian dilakukan hanya pada malam hari. 
Sekalipun para ulama sepakat tentang wajibnya ihdad bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang penggunaan celak mata. Perbedaan tersebut dilatar belakangi oleh pandangan mereka terhadap celak mata itu sendiri, yaitu ada yang menganggap bahwa celak mata itu sebagai perhiasan dan ada pula yang menganggap bukan perhiasan. Ibrahim Al-Bajuri rahimahullahu menyatakan bahwa dibolehkannya menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan aroma tidak sedap bila memang sifatnya bukan untuk berhias atau berwangi-wangi seperti menggunakan minyak pada rambut kepala atau selainnya.  Dalam kondisi wanita karir, cara ihdad menggunakan cara lain. Bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti dokter, perawat dll, maka mereka boleh keluar rumah untuk menunaikan kewajibannya. Demikian pula karena mereka berhadapan dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai parfum sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak dimaksudkan untuk berhias dan pamer.
Ibnu Qudamah  rahimahullahu menyebutkan ada tiga macam yang harus dijauhi wanita yang berihdad yaitu:
1.    Bersolek atau menghiasi dirinya seperti memakai pacar, memakai kosmetik pada wajah, memakai itsmid (celak).
2.    Meninggalkan pakaian perhiasan seperti pakaian yang dicelup agar menjadi indah misalnya mu’ashfar, muza’far, celupan berwarna merah, dan seluruh warna yang memperindah pemakainya seperti biru, hijau, dan kuning.
3.    Perhiasan seluruhnya seperti cincin dan yang lainnya. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Perkataan ‘Atha` rahimahullahu, ‘Dibolehkan memakai perhiasan dari perak karena yang dilarang adalah perhiasan dari emas’, pendapat Atha’ ini tidaklah benar. Karena larangan yang disebutkan dalam hadits sifatnya umum, dan juga perhiasan akan menambah kebagusan si wanita dan memberi dorongan untuk menggaulinya.
Dengan demikian, larangan memakai celak merupakan larangan yang mutlak sekalipun wanita tersebut sedang menderita sakit pada kedua matanya. Adapun pembolehan memakainya ketika malam lantas dihilangkan pada siang hari, sandarannya adalah hadits yang sangat lemah sebagaimana diterangkan di atas. Kalaupun ada keluhan sakit pada mata, bukankah Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberikan obat-obatan selain celak yang bisa dipakai untuk menyembuhkan sakit tersebut dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Seperti obat tetes mata, salep, dan selainnya. Bila demikian, tidak ada alasan bagi yang berihdad untuk memakai celak dengan dalih sakit mata karena sakit mata Insya Allah bisa diobati dengan obat-obatan yang lain.
Menurut satu pendapat bahwa tidak ada pakaian khusus bagi wanita yang berkabung. Ia boleh memakai pakaian biasa dengan menjauhkan diri dari bersolek dalam segala hal Adapun meyakini keharusan memakai pakian hitam saja bukan pakian lainnya adalah haram.
Begitupun ada satu pendapat yang menyatakan bahwa bagi wanita yang ditingal mati suaminya wajib melalui masa iddahnya dirumah yang ditempatinya bersama sang suami dan ditempat suaminya meninggal dunia dirumah itu. wanita tersebut tidak boleh pindah kecuali keadaan yang memaksa. Seperti contoh jika ia takut bahaya dalam kondisi seperti ini boleh pindah ketempat lain . misalnya ia merasa ketakutan jika tetap berada dirumah tersebut atau ia dipaksa untuk pindah dari rumah itu karena statusnya rumah sewaan. Atau misalnya pemilik rumah menyuruhnya untuk meninggalkan tempat tersebut atau dengan cara meminta uang sewaan lebih mahal dari biasanya. Maka kondisi seperti ini bisa pindah dari rumah tersebut kapan saja untuk menghindari bahaya yang mungkin terjadi.
Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias.
Sabda nabi SAW yang berbunyi : “Dari jabir, ia berkata: bibiku telah ditalak tiga kali lalu ia keluar untuk memetik buah kurmanya kemudian ia berjumpa dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu mencegahnya. Kemudian bibiku datang kepada Nabi saw. “keluarlah dan petiklah buah kurmamu, barangkali engkau bisa bersedekah dari itu atau engkau bisa berbuat kebaikan.
Perkataan “memetik buah kurma” itu melihat zhahirnya, bahwa Nabi saw memberi ijin keluar untuk memetik buah kurma itu menunjukan bolehnya keluar kalau ada keeperluan dan yang sejenis dengan itu. sedangkan Imam Nawawi mengatakan: bab bolehnya keluar bagi perempuan yang ditalak bain dari rumahnya pada waktu siang untuk suatu keperluan.
Syeikh Abdullah Bin Baz  berkata: “Wanita yang sedang berkabung dibolehkan untuk mandi dengan air, sabun, bidara, kapan saja ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan orang lain yang ia kehendaki, ia boleh duduk-duduk bersama para mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka dan sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya, diperkarangan, diatap rumahnya baik siang atau malam dalam semua pekerjaan rumah seperti memasak, menjahit, menyapu rumah, mencuci baju, memberi makan binatang ternak dan sebagainya sebagai mana dilakukan oleh wanita yang tidak berkabung dia juga boleh berjalan disaat terang bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya sebagaimana wanita lainnya. Dia juga boleh melepas kerudung jika tidak orang lain kecuali hanya mahramnya.”