Rabu, 30 November 2011

UNDANG UNDANG MAHKAMAH AGUNG LINTAS POLITIK DAN HUKUM

Pendahuluan
Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung adalah salah satu badan atau lembaga negara yang memegang tugas pelaksanaan kekuasaan kehakiman, di samping badan kehakiman lain yang juga menjadi pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.  Menarik kiranya untuk menelusuri jejak sumber serta kriteria kekuasaan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negara ini. (Muhtar Kusumaatmaja)
Dalam rangka upaya di atas, pengaturan tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang selama ini masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13. Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, selain itu, dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya dan mulai berlaku. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi Mahkamah Agung. Sehingga lahirlah Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
A.                 Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Lembaga Peradilan telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan keyakinan bangsa Indonesia, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Usaha Belanda menghapuskan lembaga tersebut tidak berhasil, dan karenanya, wajar apabila masyarakat Indonesia sangat mendambakan segera keluarnya Undang-Undang Mahkamah Agung sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Makna kekuasaan kehakiman sama artinya dan tujuannya dengan kekuasaan peradilan atau judicial power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam negara hukum Republik Indonesia. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia ti­dak ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang menunjuk ke arah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluamya Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946, ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Baru dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1947 ditetapkan tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.
Di jaman pendudukan Jepang pernah Badan Kehakiman tertinggi dihapuskan (Saikoo Hooin) pada tahun 1944 dengan Undang-Undang (Osamu Seirei) No. 2 Tahun 1944, yang melimpahkan segala tugasnya yaitu kekuasaan melakukan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi). Meskipun demikian kekuasaan kehakiman tidak pernah mengalami kekosongan.
Namun sejak Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dari sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tanggal 18 Agustus 1945, semakin mantaplah kedudukan Mahkamah Agung sebagai badan tertinggi bidang Yudikatif (peradilan) dengan kewenangan yang diberikan oleh pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
Mahkamah Agung pernah berkedudukan di luar Jakarta yaitu pada bulan Juli 1946 di Jogyakarta dan kembali ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Dengan demikian Mahkamah Agung berada dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun.
Mulai pertama kali berdirinya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung itu berada di bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, bahkan bersama di bawah satu departemen, yaitu: Departemen Kehakiman. Dulu namanya Kehakiman Agung pada Mahkamah Agung, seperti Kejaksaan Negeri dulu namanya Kejaksaan Pengadilan Negeri.
Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri dari Mahkamah Agung yaitu sejak lahirnya Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 Tahun 1961) di bawah Jaksa Agung Gunawan, SH yang telah menjadi Menteri Jaksa Agung.
Para pejabat Mahkamah Agung. (Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota dan Panitera) mulai diberikan pangkat militer tutiler adalah dengan Peraturan Pemerintah 1946 No. 7 tanggal 1 Agustus 1946, sebagai pelaksanaan pasal 21 Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara.
Sebagaimana lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk suatu Federasi atau Serikat, maka demikian pula dalam negara Republik Indonesia Serikat diadakan 2 macam Pengadilan; yaitu Pengadilan dari masing-masing negara Bagian di satu pihak
Pengadilan dari Federasi yang berkuasa di semua negara-negara bagian di lain pihak untuk seluruh wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS) ada satu Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat sebagai Pengadilan Tertinggi, sedang lain Badan-Badan pengadilan menjadi urusan, masing-masing negara Bagian. Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Republik Indo­nesia Serikat adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tanggal 6 Mei 1950 (I-N. Tahun 1950 No. 30) yaitu tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950.
Undang-Undang tersebut adalah hasil pemikiran Mr. Supomo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, yang pertama (Menteri Kehakiman dari negara Bagian Republik Indonesia di Yogya adalah Mr. Abdul Gafar Pringgodig­do menggantikan Mr. Susanto Tirtoprodjo. Menurut Undang-Undang Dasar RIS pasal 148 ayat 1 Mahkamah Agung merupakan forum privilegiatum bagi pejabat-pejabat tertinggi negara. Fungsi ini telah dihapuskan sewaktu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Beruntunglah dengan keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 (LN. Tahun 1950 No. 30) lembaga kasasi diatur lebih lanjut yang terbatas pada lingkungan Peradilan Umum saja. Pada tahun 1965 diundangkan sebuah Undang-Undang No. 13 Ta­hun 1965 yang mengatur tentang: Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Sayang sekali bahwa Undang-Undang tersebut tidak memikirkan lebih jauh mengenai akibat hukum yang timbul setelah diundangkannya tanggal 6 Juni 1965, terbukti pasal 70 Undang-Undang tersebut menyatakan Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950 tidak berlaku lagi. Sedangkan acara berkasasi di Mahkamah Agung diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tersebut. Timbullah suatu problema hukum yaitu adanya kekosongan hukum acara kasasi. Jalan keluar yang diambil oleh Mahkamah Agung untuk mengatasi kekosongan tersebut adalah menafsirkan pasal 70 tersebut sebagai berikut:
Oleh karena Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tersebut disamping mengatur tentang susunan, kekuasaan Mahkamah Agung, mengatur pula tentang jalannya pengadilan di Mahkamah Agung, sedangkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 tersebut hanya mengatur tentang susunan, kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, dan, tidak mengatur tentang bagaimana beracara di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung menganggap pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 hanya menghapus Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 sepanjang mengenai dan kedudukan Mahkamah Agung saja, sedangkan bagaimana jalan peradilan di Mahkamah Agung masih tetap memperlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950.
Pendapat Mahkamah Agung tersebut dikukuhkan lebih lanjut dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung yaitu dengan berpijak pada pasal 131 Undang-Undang tersebut.
Perkembangan selanjutnya dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
1.      Peradilan Umum
2.      Pemdilan Agama
3.      Peradilan Militer
4.      Peadilan Tata Usaha Negara.
Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut:
1.      Fungsi Paradilan
2.      Fungsi Pengawasan
3.      Fungsi Pengaturan
4.      Fungsi Memberi Nasehat
5.      Fungsi Administrasi.
Kemudian revisi Undang-undang Mahkamah Agung (UU MA) akhirnya tetap disahkan oleh DPR RI menjadi UU, pada Kamis 18 Desember 2008 jam 09.30 WIB malam, meskipun ada satu fraksi menolak dan satu fraksi memberi nota keberatan. Kekuatan politik yang ada di DPR yang terwakili oleh mayoritas fraksi-fraksi menyetujui pengesahan RUU tersebut.
            Pengesahan ini mengakhiri kontroversi yang berkembang di masyarakat sebelumnya tentang adanya pro dan kontra dalam RUU MA khususnya yang menyangkut usia pensiun Hakim Agung. Awalnya RUU tentang perubahan UU Mahkamah Agung rencananya akan disahkan DPR September lalu, sebelum Ketua MA Bagir Manan memasuki usia pensiun. Pembahasan RUU yang terkesan tertutup dan terburu-buru ini kemudian memunculkan kontroversi dan mendapatkan penolakan dari beberapa pakar hukum dan LSM. Sehingga kemudian pengesahannya sempat ditunda sampai beberapa kali. Isu utama yang mencuat saat itu adalah adanya penolakan tentang batas usia pensiun Hakim agung dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Padahal sebenarnya ada substansi lain dari perubahan UU itu yang perlu dicermati yaitu menyangkut hubungan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial (KY) menyangkut pemulihan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi Hakim Agung. Karena sebelumnya melalui judicial review, Mahkamah Konstitusi dengan putusannya telah memangkas wewenang Komisi Yudisial (KY) sepanjang mengenai pengawasan terhadap Hakim dan hakim Agung. Dalam Perubahan UU Mahkamah Agung yang baru disahkan tersebut ternyata kewenangan pengawasan Hakim Agung oleh KY telah dipulihkan kembali. Bahkan KY mempunyai kewenangan lebih besar karena dapat merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan Hakim Agung.
Pengaturan kewenangan KY dalam UU perubahan MA ini jelas dapat memicu kembali konflik antara lembaga Negara MA dan KY yang pernah terjadi sebelumnya. Dari sisi politik hukum maka tujuan perubahan undang-undang yang dimaksudkan untuk sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan permasalahan konflik antar lembaga negara sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi jelas tidak akan tercapai. Seperti mengabaikan berbagai masukan dan kritikan dari berbagai pihak, DPR tetap meloloskan RUU tentang perubahan UU Mahkamah Agung lebih dahulu. Padahal sesuai amanat putusan Mahkamah Konstitusi, pembahasan perubahan UU KY harus disinkronisasikan bersama-sama dengan pembahasan UU kekuasaan kehakiman lainnya yaitu RUU Mahkamah Agung dan RUU Mahkamah Konstitusi. Menurut M. Mahfud MD, Politik hukum dirumuskan sebagai “kebijakan hukum (legal Policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun.” Politik hukum bertujuan untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu. Memahami politik hukum suatu perundang-undangan merupakan hal yang penting, mengingat pembuatan hukum atau perundang-undangan tidak dapat terlepas dari sistem politik yang ada pada waktu itu. Hukum merupakan produk politik, sehingga karakter produk hukum dan penegakannya akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2007, politik hukum di bidang peradilan dimaksudkan agar semakin terjaminnya konsistensi terwujudnya kemandirian lembaga peradilan yang berwibawa, bersih yang didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas dan semakin meningkatnya upaya pencegahan dan penanganan perkara korupsi. Politik hukum bidang peradilan menjadi penting, karena setelah reformasi, kinerja lembaga peradilan belum sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat. Beberapa persoalan muncul, seperti masih maraknya praktek mafia pradilan, keberadaaan Mahkamah Konstitusi yang dinilai mengacak-acak sistem hukum yang ada dan menimbulkan ketidakpastian hukum atas UU yang telah disahkan DPR, timbulnya konflik antar lembaga negara MA dan Komisi Yudisial soal prinsip pengawasan chek & balances,
            Hakim dalam semua tingkatan menduduki posisi sentral dalam proses peradilan. Dalam posisi sentral itulah diharapkan peran hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan. Hanya hakim yang baik, yaitu hakim yang memiliki integritas moral dan profesionalisme yang diharapkan dapat menghasilkan putusan baik, yaitu putusan yang mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfataan. Hakim yang baik hanya lahir dari sistem yang baik, yaitu sistem yang dibangun sejak awal mulai dari rekruitment hakim yang baik, seleksi yang ketat dan pendidikan/pelatihan yang berkesinambungan.
Dalam praktik penegakan hukum, banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan pencari keadilan adanya putusan hakim bahkan putusan Hakim Mahkamah Agung jauh dari rasa keadilan masyarakat. Menyadari hal itu maka kedudukan seorang hakim Agung adalah sangat penting dan mulia mengingat perannya sebagai organ tertinggi pemutus hukum dan keadilan. Putusan Hakim Agung adalah putusan akhir bagi pencari keadilan, yang bisa menjadi pedoman bagi hakim-hakim di bawahnya (yurisprudensi) maupun dalam rangka pembentukan hukum baru serta harus bisa dikaji secara akademis. Untuk itu dalam UU No.3/2009 ini disisipkan satu pasal yaitu pasal 6 A yang mensyaratkan “ Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.” Rumusan pasal ini seharusnya diikuti dengan ketentuan lain dalam dalam UU yang berkaitan dengan persyaratan calon hakim agung. Profesionalisme berarti menempatkan orang yang tepat untuk posisi pekerjaan yang sesuai keahliannnya. Sehingga perlu dipikirkan wacana yang selama ini berkembang, yaitu sistem kamar dan spesialisasi hakim di Mahkamah Agung. Namun ternyata dalam UU yang baru ini belum jelas adanya sistem kamar dan spesialisasi hakim agung, sehingga masih dapat terjadi hakim agung yang berlatar belakang hakim agama harus memutus perkara korupsi atau pidana khusus lainnya. Dan sebaliknya sorang hakim agung dari militer harus memutus perkara pembagian harta gono gini. Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi, karena mestinya seorang hakim memutus perkara sesuai bidang keahliannya atau spesialisasinya. Dalam UU perubahan Mahkamah Agung mestinya hal ini perlu diakomodir namun ternyata tidak.
            Untuk meningkatkan profesionalisme ini, maka ada sedikit perubahan yang signifinikan dalam PASAL 7 tentang syarat pendidikan terakhir Calon Hakim agung, yang dibedakan untuk calon dari Hakim Karier dan Non Karier. Kalau dalam UU MA sebelumnya syarat untuk menjadi Hakim agung dari unsur karier cukup berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian bidang hukum, maka sekarang minimal harus berijazah Magíster bidang Hukum dengan dasar sarjana hukum. Sedangkan untuk calon non karier dipersyaratkan lebih tinggi yaitu harus bergelar Doctor dan magíster dibidang hukum. Sebelumnya calon non karier disyaratkan berijazah Magíster Hukum. Hal ini tentunya tidak lepas dari upaya pembaharuan kearah Mahkamah Agung yang lebih profesional. Karena putusan Hakim Mahkamah Agung nantinya akan menjadi sumber pembentukan hukum (jurisprudensi) yang akan dipedomani Hakim di seluruh Indonesia. Sehingga seorang calon Hakim Agung harus benar-benar mumpuni dan menguasai ilmu hukum baik secara akademis dari jenjang pendidikannya maupun dari pengalaman (untuk karier minimal 20 tahun sebagai hakim dan non karier minimal 20 tahun sebagai akademisi atau profesi hukum). Kalau syarat pendidikan calon Hakim Agung lebih ditingkatkan, dalam pasal ini tentang usia minimal calon Hakim agung justru diturunkan dari minimal 50 tahun menjadi 45 tahun berlaku baik dari calon hakim karier maupun non karier. Namun tidak jelas apa alasan pembentuk undang-undang memberikan batasan umur seperti ini. Karena seperti diketahui seleksi calon Hakim agung yang pernah diadakan oleh Komisi Yudisial selalu menghasilkan calon yang rata-rata berumur di atas 60 tahun. Bagaimana pula seandainya ada calon di bawah usia 45 tahun tetapi secara kapabilititas, profesionalitas dan akseptabilitas sangat baik dan tidak diragukan integritas moralnya. Mengapa perubahan UU ini tidak memberikan peluang untuk para Hakim muda yang mempunyai integritas tinggi dan prestasi yang luar biasa untuk menjadi calon Hakim Agung. Penurunan syarat umur ini juga seolah bertolak belakang dengan penetapan umur pensiun untuk hakim agung yang justru diperpanjang.

B.                  Analisis Politik Hukum
Untuk menjelaskan politik hukum pemerintahan Orde Baru terhadap lembaga Peradilan maka perlu dipahami mulai dari sejarah hukum terutama yang berkaitan dengan lembaga itu, ide lahirnya, persiapan, penyusunan sampai pada bentuk final produk hukum itu. Usaha ini menjadi penting untuk melihat secara pasti refleksi politik pada masa rezim Soeharto.
Dalam perspektif produk hukum, ada dua proses politik dalam suatu masyarakat, untuk pembangunan hukum, yaitu:
1.      Pertama, produk hukum yang dihasilkan melalui kerangka strategi pembangunan hukum yang dapat disebut ortodok, dimana karakter ini bersifat kaku dan kurang terbuka bagi perubahan, dengan demikian hukum menjadi tanggap terhadap tuntunan kebutuhan masyarakat.
2.      Kedua, produk hukum yang dihasilkan juga bersifat opresif karena secara sepihak hukum menentukan persepsi sosial para pengambil kebijakan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat mencatat banyak contoh. Kasus lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dapat diambil sebagai contoh. Kedua Undang-Undang tersebut sama-sama lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara negara dan agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Dari perspektif pembentukan hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dapat disebut responsif karena aspirasi seluruh masyarakat tertampung dan cenderung akomodatif terhadap kebutuhan dalam bidang peradilan. Sedangkan dari segi implementasi perundangannya, bersifat fakultatif dan legitimatif. Regulatif karena ia lebih banyak mengatur etika peradilan, prosedural dan praktis operasional.
Demikian pula ketika Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diundangkan, upaya penegasan akan cita-cita kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diulang kembali. Pasal 2 UU Nomor 14 Tahun 1985, tegas menyebut: “Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain[1]
Masalah pengawasan Hakim Agung merupakan hal yang paling substansial dari perubahan UU Mahkamah Agung ini. Sebagaimana tercermin dari penjelasan umum UU No.3 Tahun 2009, bahwa perubahan kedua atas UU No 14 Tahun 1985 khusus menyangkut pengawasan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan ketatanegaraan. Karena MA bukan lagi satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan Hakim, maka dibutuhkan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Karenanya diperlukan kejelasan tentang pengawasan yang menjadi kewenangan MA dan kewenangan KY. Hal ini mengingat konflik antara lembaga MA dengan KY mengenai pengawasan Hakim sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.
            Beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan pengawasan hakim agung antara lain pengawasan semula ditujukan dalam rangka implementasi check and balances system, yaitu pada hakekatnya semua kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif perlu adanya kontrol dan pengawasan. Termasuk Hakim Agung juga harus ada pengawasan. Pertanyaannya siapa yang harus melakukan pengawasan terhadap hakim agung? Kegagalan sistem yang ada dalam menciptakan peradilan yang lebih baik pada masa lalu telah mendorong timbulnya pemikiran kearah pembentukan suatu lembaga pengawas eksternal (external auditors) yang bernama Komisi Yudisial. Oleh karena itu sistem pengawasan hakim agung idealnya dilakukan dengan model pengawasan ganda baik internal maupun eksternal, supaya pengawasan berjalan efektif yang pada gilirannya mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik.
            Menurut perubahan pasal 32, Pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawahnya dalam rangka kekuasaan kehakiman. Dalam pengawasan ini Mahkamah Agung mempunyai wewenang terhadap teknis peradilan, termasuk administrasi dan keuangan, memberi petunjuk dan teguran atau peringatan kepada semua pengadilan di bawahnya. Sedang pengawasan eksternal atas perilaku Hakim agung diatur dalam pasal tambahan yaitu pasal 32 A dan dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh KY harus berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku Hakim yang ditetapkan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Adanya pengawasan ganda oleh UU ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensip sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim benar-benar terjaga. Meskipun demikian harus ada proporsi pengawasan yang jelas antara MA dan Komisi Yudisial. Misalnya kewenangan pengawasan internal MA mencakup pengawasan di bidang kompetensi dan profesionalisme, administratif, organisatoris dan finansial. Sedangkan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Sebelumyna fungsi pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial seolah tidak ada artinya lagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006. Meskipun kalau dicermati sebenarnya putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak bermaksud menegaskan kewenangan KY untuk menjaga kehormatan, keluhuran dan perilaku hakim agung, hanya saja UU KY ternyata tidak rinci mengatur tentang prosedur pengawasan, siapa subyek dan obyek yang diawasi serta instrumen apa yang digunakan sebagai standar pengawasan. Sehingga ketentuan pengawasan dalam UU KY menjadi kabur dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu konsep pengawasan dalam UU KY yang didasarkan atas paradigma seolah hubungan MA dan KY dalam pola hubungan ”checks and balances” antar cabang kekuasaan dalam konteks ajaran separation of power adalah tidak tepat. Karena tidak dapat dibenarkan suatu kehendak check and balances dari supporting organ (dalam hal ini KY) terhadap main organ (Mahkamah Agung). Karena itu Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga mengamanatkan agar dilakukan perbaikan yang bersifat integral dalam harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang kekuasaan kehakiman.
            Ruang lingkup pengawasan ekseternal terhadap hakim tersebut seharusnya dirumuskan normanya secara jelas termasuk parameternya. Sehingga dapat diketahui secara pasti perbuatan hakim manakah yang menyimpang dan tidak menyimpang baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Sehubungan dengan itu perlu dibuat pedoman perilaku bagi hakim yang memiliki daya mengikat bagi hakim dengan disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya. Dan untuk hal ini Mahkamah Agung telah bergerak lebih cepat dengan mengeluarkan Keputusan KMA tentang pedoman perilaku Hakim. Padahal dalam UU ini diamanatkan Kode etik dan Pedoman perilaku ditetapkan bersama antara MA dan KY. Sehingga akan menimbulkan persoalan akankah KY mau menggunakan kode etik dan pedoman perilaku yang telah dibuat sebelumnya oleh MA. Dengan mengingat konflik sebelumnya rasanya sulit untuk KY menerima begitu saja pedoman yang dirumuskan oleh MA.
            Dalam kerangka hubungan antara MA dengan KY yang sebelumnya kurang harmonis, maka dengan mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi di atas di mana pola hubungan check and balances antar cabang kekuasaan dalam konteks separation of powers seolah Lihat pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, tentang permohonan pengujian UU No.22 Tahun 2004 tentang KY dan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman terhadap UUD 1945. Hubungan MA dan KY berada dalam posisi setara tidak dapat diterapkan antara KY sebagai organ penunjang (supporting organ) terhadap MA selaku organ utama (main organ). Sehingga dalam rangka pengawasan eksternal yang dimaksud UU ini maka diperlukan adanya kerjasama yang harmonis antara MA dan KY karena kedua lembaga tersebut masing-masing memiliki independensi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya sebagaimana telah dirumuskan dalam perundang-undangan dan tidak perlu saling intervensi kewenangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan yang kedua atas UU Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985 adalah relatif terlalu cepat, karena perubahan pertama dengan UU No.5 Tahun 2004 baru berusia sekitar 4 tahun. Suatu UU yang sering dirubah dengan cara parsial seperti UU MA ini sebenarnya dapat menimbulkan kebingungan dan ketidak pastian hukum. Sehingga seharusnya perubahan kedua UU MA ini diarahkan untuk perubahan total dengan membuat UU MA yang baru yang bernuansa reformasi hukum dengan mengakomodasikan, mengkombinasikan dan merespon perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan.
Apapun rumusan dalam UU MA No 3 Tahun 2009 ini yang patut diperhatikan adalah perubahan UU itu seharusnya murni dilakukan untuk perbaikan lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan ke depan sesuai kebijakan Politik Hukum Nasional bidang peradilan yaitu terjwujudnya konsistensi kemandirian lembaga peradilan yang berwibawa, bersih didukung oleh aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas. Namun kenyataannya perubahan UU MA ini masih bersifat parsial atau sepotong-sepotong demi kebutuhan politik sesaat. Sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum UU tersebut yaitu perubahan UU MA sebagaimana telah diubah sebelumnya dengan UU No 5/2004 adalah khususnya menyangkut pengawasan Hakim Agung yang sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan. Perubahan kedua UU MA ini yang dilakukan secara parsial dan tergesa-gesa sehingga menimbulkan kontroversi saat akan disahkan tidak bernuansa futuristik untuk perbaikan lembaga peradilan ke depan, sehingga produk UU yang demikian tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama. Selain itu kurangnya komprehensifitas penelaahan materi Perundang-undangan (muatan filosofis, juridis/normatif dan sosiologis) serta tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU kekuasaan kehakiman lainnya sebagaimana diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi








[1] Daniel S. Lev. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. (Jakarta: LP3ES, 1990), H. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru