Selasa, 29 November 2011

Kontroversi Taklik Talak Di Indonesia


   Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya”Dan pergaulkanlah isteri-isteri mu dengan cara yang baik”. Allah SWT dalam hal ini memerintahkan kepada hambanya untuk berbuat baik terhadap isterinya dan keluarganya. Suami isteri harus tahu hak dan kewajibannya masing masing. Untuk mengikat dan menekankan janji untuk Muasyarah bil Makruf itu perlu adanya suatu ungkapan janji oleh salah satu pihak dimana pihak yang berjanji bukan hanya berjanji untuk pasangannya akan tetapi janji tersebut juga antara dirinya dan Allah SWT yang disaksikan oleh para malaikat ketika akad tersebut.
    Hakekatnya perkawinan bukanlah hubungan yang kekal dan abadi, karena mahligai perkawinan masih dapat dibubarkan jika mengandung maslahat dan manfaat yang lebih besar. sejalan dengan pemikiran tersebut sebagaimana termaktub di dalam Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975.
    Banyaknya perceraian yang terjadi dewasa ini telah menggambarkan bahwa persamaan persepsi terhadap tujuan perkawinan antar suami dan isteri tidak banyak yang terwujud. Oleh karena itu ada aturan yang membolehkan diadakannya sebuah perjanjian perkawinan yang disebut dengan taklik talak sebagaimana diatur di dalam KHI. Dengan tujuan memperjuangkan hak hak isteri yang umumnya tidak dikenal, dengan menggantungkan talak suami kepada beberapa syarat yang telah diformulasikan. Hal ini juga ditujukan untuk mengurangi kemungkinan adamya penguasaan terhadap isteri yang berlebihan terutama mengurangi KDRT dalam rumah tangga. Akan tetapi pada saat ini, apakah aturan tersebut masih urgensi dan bagaimana relevansinya dengan banyaknya kasus cerai gugat di Pengadilan Agama.
    Di dalam masalah taklik talak banyak sekali permasalahan yang sifatnya kontroversial. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa pendapat dari beberapa pakar yang mempermasalahkan tentang kedudukan dan fungsi taklik talak tersebut, di mulai dari sebuah pertanyaan apakah taklik talak itu termasuk perjanjian perkawinan atau sebaliknya. Kemudian di awali dengan pertanyaan tersebut yang menjalar kepada kedudukan dan fungsi dari taklik talak tersebut ada kubu yang pro terhadap eksistensi dan relevan hingga saat ini dan kemudian ada kubu yang kontra terhadap permasalahan ini. Di dalam buku ini penulis mencoba sedikit memberikan tanggapan dan solusi terhadap permasalahan kontroversi taklik talak yang diambil dari wawancara dengan beberapa sumber yang akurat, kemudian dianalisis dengan data yang valid:
    Menurut beberapa sumber, mengatakan bahwa taklik talak merupakan hanya perjanjian biasa. Pendapat ini berdasarkan pada klausul yang berbunyi “Sesudah akad nikah, saya bin pulan saya berjanji dengan sesungguh hati saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suamidan saya akan pergauli isteri saya yang bernama fulah binti fulan dengan baik ‘Muasyarah bil Makruf’ menurut syariat Islam”. Menurutnya kata kata berjanji di dalam klausul tersebut merupakan janji yang sifatnya harus dipenuhi dan mengikat bagi yang berjanji itu sendiri karena sesuai dengan ayat Al qur’an yang artinya ”Wahai orang-orang yang beriman penuhi oleh mu akan janji-janjimu”, sedangkan setelah kalimat “selanjutnya saya membaca sighat taklik talak dan seterusnya” itu tidak termasuk dalam kategori sebuah perjanjian. Sehingga dikatakan bahwa sighat taklik talak tidak termasuk kategori sebuah perjanjian perkawinan. Dengan demikian maka lahirlah Surat Edaran Dirjen Bimas Islam No : DJ 11/HK.00/074/2008 tanggal 30 juli 2008 disebutkan bahwa tidak mewajibkan pembacaan sighat taklik talak oleh pengantin pria pada saat akad nikah dan cukup ditandatangani karena mengganggu kekhidmatan pelaksanaan prosesi akad. Sehingga klausul sighat taklik talak dari kata kata “Selanjutnya saya membaca dan seterusnya” itu menjadi kontroversi karena seolah olah acara akad yang sifatnya sakral dimentahkan kembali karena pembacaan sighat taklik talak tersebut. Seperti orang Jawa bilang “wong penganten enggal ko sampun diajari cerai”
    Mengenai relevan atau tidaknya taklik talak adalah tergantung dari personalnya. Yaitu dari kedua pasangan tersebut. Artinya sangat kondisional. Kemudian mengenai konsep dari perjanjian perkawinan dan taklik talak itu terdapat beberapa perbedaan seperti kalau yang disebut dengan perjanjian itu orang yang mengucapkan itu lansung terikat dengan apa yang ia janjikan tersebut dan sifatnya langsung. Sedangkan kalau taklik talak itu hanya menggantungkan talak dan bukan perjanjian. Hal ini diperjelas dengan kata kata “sewaktu Waktu”. Ternyata meskipun perkara taklik talak tersebut masih dibaca, tetapi prosedur pengadilannya sama saja dengan perkara cerai gugat, jadi kenapa tidak mencukupkan saja dengan perkara cerai gugat.
    Mengenai iwadh apakah iwadl yang termaktub di dalam klausul sighat taklik talak masih relevan pada jaman sekarang ini? Tentunya tidak. Di dalam klausul disebutkan isteri kemudian membayarkan uang iwadh sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Pada zaman sekarang, dimana perekonomian bangsa Indonesia mengalami kanaikan yang cukup baik tentunya hal ini mengakibatkan akan terjadinya inflasi di mana mata uang rupiah semakin hari semakin kecil nilainya. Mengenai besar uang iwadl Rp 10.000 sudah tidak relevan pada saat sekarang ini sebab nominalnya sudah tidak memiliki nilai dan seharusnya dirubah nominal nya sesuai dengan inflasi atau kurs dollar ataupun harga emas.
    Di dalam poin taklik talak yang 4 itu masih terdapat kekurangan di mana 4 poin tersebut sudah di akomodir oleh UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengenai alasan alasan perceraian. Agar taklik talak yang masih saja dibaca dikalangan masyarakat mempunyai efek yang lebih baik  lagi dalam melindungi hak hak isteri seyogyanya pemerintah ataupun pejabat yang berwenang menerbitkan peraturan organik yang menambahkan poin poin di dalam sighat taklik talak tersebut. Seperti pada poin tentang KDRT. Seharusnya untuk kondisi sekarang ini di mana KDRT banyak terjadi di lingkungan masyarakat agar hal tersebut diminimalisir dengan cara perbuatan KDRT tersebut dapat dipidanakan karena memenuhi unsur unsur delik pidana. Selain KDRT, poin membiarkan atau mengacuhkan isteri selama enam bulan lamanya yang tidak jelas statusnya apakah masih bersama atau sudah cerai seharusnya klausul tersebut ditambah dapat dituntutnya pihak yang membiarkan tersebut dalam hal ini suami ke ranah perdata. Artinya nafkah nafkah yang tidak diberikan oleh suami menjadi hutang baginya dan dapat dituntut secara perdata perbuatan tersebut.
    Sehingga dapat disimpulkan bahwa taklik talak tidak memiliki urgensi apa apa, sebab selain landasan hukumnya yang tidak jelas, juga ternyata perkara taklik talak dipersamakan prosedurnya dengan cerai gugat. Kondisi dewasa ini membuktikan bahwa taklik talak sudah tidak relevan  karena para isteri sekarang ini sudah mengerti akan hak-hak mereka dan mereka pun dapat melakukan perbuatan hukum sendiri. Tanpa taklik talak pun mereka dapat mengajukan cerai gugat ke Pengadilan secara pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru