Rabu, 30 November 2011

“ KASUS PENELANTARAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF KRIMINOLOGI”

Latar Belakang Masalah
Perceraian sangat identik dengan penelantaran, namun tidak berarti keluarga yang masih utuh tidak bisa melakukan penelantaran, banyak kasus di masyarakat terjadi penelantaran dalam keluarga yang utuh akibat orang tua tidak bertanggung jawab, Desember lalu tahun 2009 terungkap kasus penelantaran anak di Tangerang. latar belakang kasusnya hampir sama, persoalan ekonomi.[1]
Penelantaran juga dapat terjadi bila orang tua tidak bertanggung jawab kepada keluarga karena menjadi pemabok, penjudi dan mempunyai wanita lain, sehingga anak dan isterinya ditelantarkan, padahal sebagai ayah dia berkewajiban menafkahi keluarga.
Menelantarkan rumah tangga termasuk tindakan yang tidak baik dan tercela, dalam pandangan masyarakat umum orang menelantarkan keluarga dinilai telah melakukan tindakan tidak terpuji dan secara sosial akan mendapatkan sanksi berupa cap tercela pada pelaku penelantaran. Dalam hukum positif, penelantaran dalam rumah tangga dapat digolongkan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) dan merupakan strafbaar feit dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.[2]
Berdasarkan hukum positif, Kategori peristiwa pidana ada yang disebut komisionis, omisionis dan komisionis peromisionim, komisionis adalah terjadinya delik karena melanggar larangan sedangkan omisionis adalah terjadinya delik karena seseorang melalaikan suruhan/tidak berbuat, sedangkan komisionis peromisionim yaitu tindak pidana yang pada umumnya dilaksanakan dengan perbuatan, namun mungkin terjadi tindakan tidak berbuat.[3]
Di Amerika, Mengabaikan anak adalah bentuk paling umum penganiayaan anak di Amerika Serikat. Menurut Penyalahgunaan Anak Nasional dan Abaikan Data System (NCANDS), dari sekitar 899.000 anak di Amerika Serikat yang menjadi korban kekerasan dan penelantaran pada tahun 2005, 62,8 persen (564.765 anak) menderita dari kelalaian saja, termasuk penelantaran medis (USDHHS, 2007). Menurut NCANDS, 42,2 persen dari kematian penganiayaan anak di Amerika Serikat pada tahun 2005 terjadi sebagai akibat dari kelalaian saja, 24,1 persen sebagai akibat dari kekerasan fisik dan penelantaran, dan 27,3 persen sebagai hasil dari beberapa jenis penganiayaan (USDHHS, 2007) . Dalam sebuah studi independen, Mencegah Anak Penyalahgunaan Amerika memperkirakan bahwa 1.291 anak di Amerika Serikat meninggal pada tahun 2000 sebagai akibat dari penganiayaan, dan bahwa 45 persen dari kematian anak yang disebabkan penganiayaan mengabaikan (Peddle dkk., 2002). NCANDS dilaporkan meningkat sekitar 20.000 korban antara 2004 dan 2005. Hal ini terutama disebabkan masuknya data dari Alaska dan Puerto Rico dalam dataset 2005 (USDHHS, 2007). Mengabaikan Fisik umumnya melibatkan orang tua atau pengasuh tidak memberikan anak dengan kebutuhan dasar (misalnya, makanan pakaian, dan tempat tinggal yang memadai). Kegagalan atau penolakan untuk menyediakan kebutuhan membahayakan kesehatan fisik anak, kesejahteraan, pertumbuhan dan perkembangan psikologis. Mengabaikan fisik juga termasuk anak-anak ditinggalkan, pengawasan tidak memadai, penolakan terhadap anak yang mengarah ke pengusiran dari rumah dan kegagalan untuk secara memadai menyediakan keselamatan anak dan kebutuhan fisik dan emosional. Mengabaikan Fisik  dapat berdampak perkembangan anak dengan menyebabkan gagal tumbuh, malnutrisi, penyakit serius, kerusakan fisik dalam bentuk pemotongan, memar, luka bakar atau cedera lainnya karena kurangnya pengawasan, dan seumur hidup rendah diri. Menurut NCANDS, pada tahun 2005, 2 persen anak-anak (17.637 anak) di Amerika Serikat menjadi korban kelalaian medis (USDHHS, 2007). Kepedulian dijamin tidak hanya ketika orangtua menolak perawatan medis untuk anak dalam keadaan darurat atau untuk penyakit akut, tetapi juga ketika orangtua mengabaikan rekomendasi medis untuk anak dengan penyakit kronis dapat diobati atau cacat, sehingga rawat inap sering atau kerusakan yang signifikan
Di Australia, Persyaratan hukum untuk melaporkan kasus dugaan pelecehan dan penelantaran anak dikenal sebagai pelaporan wajib. Semua yurisdiksi memiliki persyaratan pelaporan wajib. Namun, orang mandat untuk laporan dan jenis pelecehan yang itu adalah wajib untuk melaporkan bervariasi di seluruh negara bagian dan teritori Australia. Peraturan di Australian Capital Territory, New South Wales, Queensland, Australia Selatan, Tasmania, Victoria dan Australia Barat berisi daftar pekerjaan tertentu yang dimandatkan untuk melaporkan. Beberapa negara memiliki sejumlah pekerjaan yang terdaftar, seperti Queensland (dokter, petugas departemen, dan karyawan berlisensi layanan perawatan perumahan) dan Victoria (polisi, dokter, perawat dan guru). Yurisdiksi lain memiliki daftar lebih luas (Capital Territory Australia, Australia Selatan, Tasmania) atau menggunakan deskripsi umum seperti "profesional yang bekerja dengan anak-anak".
 Di Kanada, Ada empat jenis utama dari hukum yang digunakan di Kanada untuk melindungi orang dewasa dari penyalahgunaan dan penelantaran. Ini adalah
a.      kekerasan dalam keluarga hukum,
b.      hukum pidana,
c.       dewasa perlindungan hukum, dan
d.      Hukum perwalian dewasa.
Quebec memiliki ketentuan khusus dalam undang-undang hak provinsi yang manusia dapat digunakan sebagai cara lain untuk membantu orang dewasa yang lebih tua disalahgunakan dalam beberapa kasus. Di Kanada, hukum yang berbeda akan diterapkan dalam berbagai jenis situasi pelecehan, tergantung sebagian pada kemampuan mental dewasa yang lebih tua. Bawah ini, adalah deskripsi singkat dari setiap jenis hukum. segala bentuk penyalahgunaan atau penelantaran adalah kejahatan tindakan ditutupi oleh KUHP Kanada. Ini termasuk serangan fisik atau seksual, intimidasi dan pelecehan, serta kejahatan seperti pencurian properti, penipuan, atau pencurian dengan kuasa. Namun, hukum pidana tidak digunakan sangat sering untuk mengatasi penyalahgunaan dan penelantaran di kemudian hari. Dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga untuk kelompok usia lainnya, ada tuntutan pidana karena melanggar meletakkan sedikit wanita yang lebih tua dan laki-laki tua, dan dapat sulit untuk mendapatkan penuntutan. Orang dewasa yang lebih tua mungkin enggan untuk memiliki biaya meletakkan atau bekerjasama dengan penuntutan pidana jika mereka percaya kerabat dekat (yang sering anak dewasa) akan dihukum dan dihukum. Dalam beberapa kasus pidana, kesehatan senior dapat memburuk dalam waktu antara muatan dan kasus pengadilan, membuat mereka tersedia sebagai saksi. Dalam kasus lain, saksi utama (korban) mungkin mengalami ketidakmampuan mental.
Melihat fenomena seperti ini, tujuan utama penegakan hukum terhadap tindakan penelantaran yang terjadi dalam rumah tangga merupakan hal yang sangat penting. Upaya hukum secara perdata dan pidana dapat dilakukan terkait dengan tindak penelantaran ini, secara perdata karena ada hak-hak keperdataan yang dilanggar, secara pidana karena telah terjadi tindak pidana berupa tindakan kekerasan dalam rumah tangga dalam wujud penelantaran.
Dalam kasus kekerasan rumah tangga seperti tindakan penelantaran, memang yang paling rentan untuk menjadi korban adalah wanita/isteri dan anak. Salah satu penyebabnya karena berbagai keterbatasan natural yang dimiliki wanita/isteri serta anak dibandingkan kaum pria, baik secara fisik maupun psikis.
Hal ini terbukti banyaknya gugatan perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama di daerah Ibu Kota Jakarta karena faktor penelantaran oleh suami tersebut. Artinya banyaknya kasus penelantaran yang dilakukan suami terhadap rumah tangganya. Adapun penelantaran yang biasa dilakukan oleh suami terhadap rumah tangganya adalah suami pergi meninggalkan isteri lebih dari dua tahun berturut-turut tanpa kabar dan pemberitahuan terlebih dahulu dan tidak diketahui keberadaannya sehingga dengan kabur suaminya tersebut, perekonomian rumah tangga menjadi goyang sehingga isteri dan anak menjadi korbannya, apalagi kalau si isteri tersebut tidak bekerja. Kemudian penelantaran mengenai nafkah. Suami tidak mau  memberikan nafkah lahir dan bathin terhadap isterinya baik karena faktor ekonomi maupun sang suami memiliki tabiat yang burut seperti suami berselingkuh dengan wanita lain, pemabuk, penjudi sehingga isteri dan anaknya menjadi terlantar.
Beberapa korban yang mengalami penelantaran dalam rumah tangga ini kerap kali takut untuk melaporkan kejadian yang dialaminya, terlebih wanita yang dikarenakan mendapat tekanan atau ancaman dari pihak laki-laki, namun sekarang bukanlah saatnya wanita harus diam setiap mengalami penelantaran dalam rumah tangga.
Kondisi tersebut diperburuk dengan persepsi sebagian masyarakat. Bahwa peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun penelantaran masih dianggap persoalan dalam rana domestik, yang tidak perlu orang luar mengetahui dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal kekeluargaan. Dengan keluarnya Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang penyelesaiaannya cukup secara kekeluargaan, namun domestic violence telah merangkap rana pidana.
Penelantaran yang dimaksud penulis di sini adalah penelantaran menurut pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi
“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan kepada orang tersebut”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya.[4]
Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 di atas, juga dapat disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga.[5]
Sebutan tindakan penelantaran tidak hanya berlaku saat masih menjadi pasangan utuh dalam rumah tangga, penelantaran pun dapat terjadi pada pasangan suami isteri yang telah bercerai, ayah sebagaimana dalam Undang-Undang ditunjuk sebagai yang menanggung biaya anak bila mampu. Dikatakan melakukan tindakan penelantaran bila anak yang masih di bawah tanggung jawabnya tidak diperhatikan hak-hak dan kepentingannya.
Tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga bila dikaitkan dengan ketiga kategori di atas, berdasarkan sifatnya, penelantaran dapat digolongkan pada kategori omisionis, karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya adalah merupakan perintah Undang-Undang, sehingga bila ia tidak memberikan sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia telah melalaikan suruhan.
Mengingat terjadinya tindakan penelantaran keluarga khususnya anak dalam masyarakat, maka fenomena tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan peningkatan dalam penegakan hukum.
Para pihak yang dirugikan dapat melaporkan tindakan penelantaran ini kepada pihak kepolisian. dari beberapa pasal dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 yang memberikan ancaman pidana hanya beberapa saja yang merupakan delik aduan, sementara kebanyakan yang lainnya adalah delik biasa, disini kemudian dituntut peran aktif dari penegak hukum, khususnya parata kepolisian untuk proaktif dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.[6]
Tujuan lahirnya Undang-Undang No 23 tahun 2004 adalah untuk mengatur tindakan – tindakan kekerasan dalam rumah tangga sehingga dapat diminimalisir dengan cara diberikan sanksi bagi pihak yang melakukannya. Undang-Undang tersebut mengatur agar pasangan suami isteri itu hidup rukun, harmonis dan tidak merugikan satu dengan yang lainnya[7]
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah studi kriminologi terhadap kasus kasus penelantaran keluarga berupa seseorang yang melalaikan kewajibannya sehingga anggota kelurga menjadi korbannya. Ada 3 hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini yaitu pertama, tentang fenomena kasus-kasus penelantaran dalam rumah tangga di Ibu Kota Jakarta, kedua fenomena penelantaran dalam rumah tangga ditinjau dari aspek kriminologi, ketiga perspektif masyarakat kota Jakarta terhadap fenomena kasus penelantaran dalam rumah tangga dan pola penyelesaiannya.

Teori Kriminologi
Pertama-tama perlu digariskan bahwa kajian ini merupakan kajian kriminologi. Karena kajian kriminologi, maka kriminologi akan mendominasi pemaparan selanjutnya. Ini dimaksudkan agar ada batasan yang jelas mengenai kajian tersebut.
Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. semakin menggejala dan frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini
Menurut Stanford berkata:
“All types of illegal behavior, either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of an individual”(semua bentuk perilaku illegal, termasuk yang mengancam atau merugikan secara nyata atau menghancurkan harta benda atau fisik atau menyebabkan kematian).
Definisi ini menunjukkan bahwa kekerasan atau violence harus terkait dengan pelanggaran terhadap undang-undang, dan akibat dari perilaku kekerasan itu menyebabkan kerugian nyata, fisik bahkan kematian. Maknanya jelas bahwa kekerasan harus berdampak pada kerugian pada pihak tertentu baik orang maupun barang. Tampak pula bahwa kekerasan menurut konsep Sanford, lebih melihat akibat yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku kekerasan atau penelantaran tersebut.
Barda Nawawi Arief[8], menegaskan bahwa salah satu aspek kebijakan sosial yang mestinya mendapat perhatian adalah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat maupun (social higyne), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya. Penggarapan masalah “mental health”, “national menthal health” dan “child welfare” ini pun dikemukakan dalam skema Hoefnagels sebagai salah satu jalur “prevention without punishment” (jalur non penal).
Menurut Bassiouni[9]  bahwa tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan itu, menurutnya ialah :
1.     pemeliharaan tertib masyarakat
2. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
3.      memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
4.  memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Kesimpulan
            Bahwa suatu perbuatan penelantaran keluarga dapat dikategorikan sebuah tindak pidana (delik) jika memang terbukti memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana tersebut. Untuk meminimalisir kasus penelantaran kelurarga perlu adanya upaya konkrit para penegak hukum dalam menghadapi kasus yang berdampak sistemik ini yang memberikan efek negatif kepada kondisi sosial masyarakat. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah merevisi  ulang substansi dari sebuah hukum yang berlaku baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau yang lainnya, yang pada dasarnya memberikan efek jera terhadap para pelanggar tersebut. Selain itu, dibutuhkan para penegak hukum  yakni polisi, jaksa, hakim dalam menyelesaikan kasus penelantaran keluarga, serta adanya pembinaaan dan bimbingan terhadap pola perilaku masyarakat yang harus diberitahukan tentang hukum positif itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Arris, Myra, Legal research Fun damental Principles, (New Jersey: Prentice-Hall, 1997)

Clark Kelso, J, Studying Law: an Introduction to legal research, (Lexis Publishing,1999), H. 58 artikel The Restatement of Law

Steven J Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods, (Canada: John willey & sdns, Inc, 1998),

L Cohen, Morris, Legal research, (Virginia)

L Tanya, Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta, 1983)
Muhtar, Kamal, asas-asas hukum Islam tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Nawawi Arief, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1996),
Sianturi, sr, Tindak Pidana KUHP berikut uraiannya, (Jakarta: PTHAM, 1983
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, 1981)
W Creswell, Jhon, Research Design Qualitative & Quantitative Approaches, (London; SAGE Publications, 1994



[1] Kamal muhtar, asas-asas hukum Islam tentang perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), H. 9

[2] Lihat penjelasan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

[3] Sr Sianturi, Tindak Pidana KUHP berikut uraiannya, (Jakarta: PTHAM, 1983), H. 571

[4] Lihat Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

[5] Jurnal Varia Peradilan edisi Agustus 2011, H. 57

[6] Jurnal Varia Peradilan, edisi Agustus 2011, H. 56

[7]Bernard L Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta, 1983),  H. 171

[8] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 1996), H. 54

[9] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung, 1981), H. 39-40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ahmad syahrus sikti blog, Tulisan aru, makalah aru